HUBUNGAN BID’AH DAN MASLAHAT MURSALAH
A. Kesamaan Antara Bid’ah Dan Mashlahat Mursalah
[1]. Kedua-duanya (baik bid’ah ataupun maslahat mursalah) merupakan bagian dari hal-hal yang belum pernah terjadi pada masa nabi –apalagi maslahat mursalah-. Kejadian seperti ini umumnya berupa bid’ah-bid’ah –dan ini sangat sedikit- pada zaman Nabi, seperti dalam kisah tiga orang yang bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2]. Sesungguhnya masing-masing bid’ah –biasanya- dan maslahat mursalah keduanya luput dari dalil yang spesifik, karena dalil-dalil umum yang muthlaq-lah yang paling mungkin untuk dijadikan sebagai dalil kedua hal itu.
B. Sisi Perbedaan Antara Bid’ah Dengan Mashlahat Mursalah
[1]. Bid’ah mempunyai cirri khusus yaitu bahwa bid’ah tidak terjadi, kecuali dalam hal-hal yang sifatnya ibadah (ta’abbudiyyah) dan hal-hal yang digolongkan ibadah dalam masalah agama. Berbeda dengan mashlahat mursalah, karena mashlahat mursalah adalah hal-hal yang dipahami makan (tujuannya) secara akal, dan seandainya disodorkan pada akal tentu akal akan menerimanya, ia juga sama sekali tidak ada hubungannya dengan ta’abbud (masalah yang sifatnya ibadah) atau dengan hal-hal yang sejalan dengan ta’abud dalam syariat.
[2]. Bid’ah mempunyai cirri khusus yaitu merupakan sesuatu yang dimaksud sejak awal oleh pelakunya. Mereka –biasanya- taqarrub kepada Allah dengan mengamalkan bid’ah itu dan mereka tidak berpaling darinya. Sangat jauh kemungkinan –bagi ahli bid’ah- untuk menghilangkan amalannya, karena mereka menganggap bid’ahnya itu menang di atas segala yang menentangnya. Sedangkan mashlahat musrshalah merupakan maksud yang kedua bukan yang pertama dan masuk dalam cakupan sarana pendukung (wasa’il), karena sebenarnya mashlahat murshalah ini disyariatkan sebagai sarana pendukung dalam merealisasikan tujuan syariat-syariat yang ada. Sebagai bukti hal itu, mashlahat murshalah bisa gugur bila berhadapan dengan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Maka sangat tidak mungkin untuk mendatangkan bid’ah melalui jalur mashlahat mursalah.
[3]. Bid’ah juga mempunyai ciri khusus yaitu bahwa keberadaannya membawa hal yang memberatkan mukallafun (orang-orang yang dibebani untuk melaksanakan syariat) dan menambah kesusahan mereka. Sedangkan mashlahat murshalah sesungguhnya mendatangkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan mukallafun atau membantu dalam menjaga hal-hal yang sangat penting bagi mereka.
[4]. Bid’ah juga mempunyai kekhususan bahwa keberadaannya bertentangan dengan maqashidusysyarii’ah dan meruntuhkannya. Berbeda dengan mashlahat murshalah yang –agar diakui keberadaannya secara syariat- harus masuk di dalam maqashidusysyariah dan membantu pelaksanaannya. Jika tidak , maka ia tidak diakui.
[5]. Mashlahat murshalah juga memiliki ciri khusus, yaitu tidak pernah ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan tidak ada faktor pendorong utnuk melakukannya atau sekalipun faktor itu ada, tapi ada hal yang menghalanginya. Sedangkan bid’ah yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya memiliki faktor pendorong dan tuntunan yang banyak, dan tidak ada yang menghalanginya. (Ini berarti bid’ah itu tidak benar, -pent).
Jadi mashlahat murshalah itu jika dipengaruhi syaratnya, maka sangat bertentangan dan bersebarangan dengan bid’ah, sehingga tidak mungkin bid’ah bisa masuk melalui jalan mashlahat murshalah, karena jika hal ini terjadi gugurlah keabasahan maslahat tersebut dan tidak dinamakan mashlahat mursalah, tapi dinamakan mashlahat mulghah (yang dibatalkan) atau mafsadah (yang dirusak).
[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juli 2001]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar