Senin, 29 Oktober 2012

Memahami Ibadah, Rukun-rukun dan Syarat-syaratnya



Oleh: Abu Ammar al-Ghoyami

Telah kita pahami bersama bahwa ibadah itu mencakup semua amalan hati, amalan jawarih (anggota badan) maupun ucapan-ucapan lisan yang dicintai dan diridhoi Alloh subhanahu wata’ala, sebab ibadah itu merupakan puncak kecintaan bagi Alloh subhanahu wata’ala, bahkan oleh sebab hikmah ibadah ini pula Alloh azza wajalla menciptakan jin dan manusia.

Kita bisa mengetahui sesuatu itu dicintai dan diridhoi oleh Alloh subhanahu wata’ala adalah dari disyari’atkannya amalan tersebut oleh Alloh azza wajalla maupun oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Bila suatu amalan disyari’atkan oleh Alloh subhanahu wata’ala atau oleh Rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan amalan tersebut dicintai dan diridhoi oleh-Nya. Sebaliknya bila tidak disyari’atkan maka berarti amalan tersebut pun tidak dicintai dan tidak pula diridhoi.[1] Jadi ibadah itu hanya kita ketahui ketetapannya dari adanya dalil-dalil yang mensyari’atkannya. Demikian pula tentang tatacara praktik ibadah pun tidak diketahui dengan baik selain dengan memahami dalil-dalil yang menerangkannya. Oleh sebab itulah para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bahwa ibadah itu bersifat tauqifiyah.


Syaikh DR. Sholih bin Fauzan al-Fauzan mengatakan:


“Ibadah itu tauqifiyah, maknanya ia tidak disyari’atkan sedikit pun kecuali dengan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah. Dan apa pun yang tidak disyari’atkan dianggap bid’ah yang tertolak, sebagaimana sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak.” Maknanya, amalan tersebut ditolak dan tidak diterima bahkan ia berdosa karenanya, sebab amalan (yang tidak diperintahkan) tersebut termasuk kemaksiatan, bukan ketaatan.”[2]


Dari sini kita pahami bahwa untuk menetapkan suatu amalan tertentu sebagai sebuah ibadah atau bukan, harus berdasarkan dalil bukan dengan perasaan hati, akal atau ilham, bukan pula dengan kira-kira maupun prasangka belaka.


Sebagian Contoh Macam-macam Ibadah


Misalnya sholat, zakat, puasa, dan haji, semuanya ditetapkan sebagai ibadah karena jelas perintahnya dan jelas pula syari’atnya, sebagaimana banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang shohih. Begitu juga berdo’a adalah ibadah, sebab ia disyari’atkan,[3] khouf (takut dan gundah akan terjatuh pada hal yang menggangu, atau menyakitkan atau membinasakan berupa adzab dunia maupun adzab akhirat) juga termasuk ibadah[4], roja’ (berharap)[5], tawakkal (berserah diri)[6], isti’anah (memohon pertolongan)[7], isti’adzah (memohon perlindungan)[8], istighotsah (memohon keselamatan dari kesusahan, marabahaya dan kebinasaan)[9], menyembelih binatang[10], nadzar[11], berdzikir[12], jihad[13], amar ma’ruf nahi munkar[14] dan masih banyak lagi yang lainnya yang berdasarkan dalil-dalil yang ada, semuanya ditetapkan termasuk ibadah.[15]


Rukun-rukun Ibadah


Berdasarkan dalil-dalil yang ada baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah ibadah memiliki rukun-rukun yang ia terbangun di atasnya. Tidaklah suatu amalan yang diperintahkan menjadi sebuah ibadah bila ia tidak dibangun di atas rukun-rukunnya. Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada tiga, yaitu:


1. Al-Hubb (cinta)


Ibadah dari asal maknanya bisa berarti menghinakan diri. Dan ia selain mengandung makna penghinaan diri di hadapan Alloh azza wajalla juga mengandung al-Hubb (cinta) yang tinggi kepada-Nya azza wajalla. Dengan kecintaan yang tinggi disertai penghinaan yang sempurna kepada Alloh subhanahu wata’ala, seorang hamba akan sampai pada penghambaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala, sebab puncak dari al-Hubb adalah at-Tatayyum (penghambaan). Sehingga tidak akan terbangun penghambaan diri kepada Alloh azza wajalla kecuali dengan terkumpulnya keduanya sekaligus, yaitu cinta dan penghinaan diri.


Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala mengatakan: “Dan peribadahan kepada Alloh subhanahu wata’ala itu terbangun atas dua hal; puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Pada kecintaan terdapat tuntutan dan pencarian, sedangkan pada penghinaan dan perendahan diri terdapat rasa takut dan al-Harob (lari menjauhi hal yang ditakuti).”[16]


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala mengatakan: “Dan siapa saja yang tunduk dan merendahkan diri kepada seseorang, tetapi disertai kebencian kepadanya maka ia tidak dikatakan telah menghambakan diri kepada orang tersebut. Seandainya seseorang mencintai sesuatu, tetapi tidak ada ketundukan dan penghinaan diri kepadanya ia juga tidak disebut menghambakan diri kepada sesuatu tersebut. Hal ini sama seperti seseorang yang mencintai anak atau temannya. Oleh sebab itu tidaklah mencukupi bila hanya salah satunya saja yang ada dalam sebuah peribadahan, namun yang seharusnya lebih dicintai oleh hamba ialah Alloh subhanahu wata’ala dibanding kecintaan kepada selain-Nya, dan Alloh azza wajalla harus lebih ia agungkan dari selain-Nya, dan tidak ada yang berhak atas kecintaan yang tinggi serta penghinaan dan ketundukannya yang sempurna selain Alloh azza wajalla….”.[17]


2. Al-Khouf (takut)


Ia merupakan peribadahan hati dan rukun ibadah yang agung yang mana keikhlasan seseorang dalam beragama bagi Alloh subhanahu wata’ala -sebagaimana yang Dia azza wajalla perintahkan kepada hamba-Nya- tidak akan lurus kecuali dengannya. Khouf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang tidak disuka berupa hukuman dan adzab Alloh azza wajalla yang menimbulkan sikap penghambaan dan ketundukan seorang hamba kepada-Nya azza wajalla.[18]


3. Ar-Roja’ (berharap).


Ia juga termasuk peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat agung. Ialah harapan yang kuat atas rohmat dan balasan berupa pahala dari Alloh subhanahu wata’ala yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya subhanahu wata’ala.


Maka, ibadah yang telah Alloh azza wajalla fardhukan kepada hamba-Nya harus terdapat tiga rukun tersebut padanya dengan sempurna. Peribadahan kepada Alloh azza wajalla harus disertai ketundukan dan kecintaan yang sempurna serta rasa takut dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat dalam sebuah amalan maka ia benar-benar bermakna ibadah.


Di dalam al-Qur’an Alloh azza wajalla menyebutkan rukun-rukun ibadah itu ketika menyifati peribadahan para anbiya’ (nabi-nabi) alaihimus salam dengan firman-Nya (yang artinya):


….. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap (atas rohmat Alloh) dan cemas (akan adzab-Nya). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami. (QS. al-Anbiya’ [21]: 90)


Syaikh DR. Sholih al-Fauzan alaihimus salam mengatakan: “Sesungguhnya ibadah itu tegak di atas tiga rukun; yaitu cinta, takut serta harapan. Kecintaan harus ada bersama penghinaan diri dan ketundukan, sedangkan takut harus ada bersama harapan. Dan dalam sebuah ibadah harus terdapat tiga perkara tersebut (sekaligus).”[19]


Sebagian ulama salaf (ulama terdahulu) mengatakan: “Siapa saja yang beribadah kepada Alloh subhanahu wata’ala hanya dengan cinta maka ia seorang zindiq, dan siapa saja yang beribadah kepada-Nya hanya dengan harapan semata maka ia seorang murji’ah, dan siapa saja yang beribadah kepada-Nya hanya dengan takut semata maka ia seorang haruri yaitu khowarij, sedangkan seorang yang beribadah kepada Alloh azza wajalla dengan kecintaan, rasa takut serta harapannya maka ia seorang mu’min muwahhid (yang meng-Esa-kan Alloh) .”[20]


Syarat-syarat Diterimanya Ibadah


Setelah kita memahami rukun-rukun ibadah, kita munculkan pertanyaan untuk menggugah perhatian kita. Apakah ibadah yang dilakuan dengan memenuhi rukun-rukunnya itu sudah cukup bisa diterima oleh Alloh subhanahu wata’ala? Atau ada syarat-syarat tertentu agar ibadah diterima oleh Alloh azza wajalla?


Untuk menjawab pertanyaan hamba yang peduli dengan peribadahan yang ia lakukan kepada Penciptanya azza wajalla ini, kita harus memahami satu hal bahwa ibadah itu memiliki dua pondasi pokok. Pertama, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh subhanahu wata’ala. Kedua, seorang hamba tidak boleh beribadah kepada Alloh azza wajalla selain dengan perkara yang diperintahkan dan disyari’atkan. Dua pokok ibadah ini -yang menjadi dua syarat diterimanya ibadah- sesungguhnya ialah hakikat dua kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh setiap muslim.[21]


Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala tatkala menjelaskan rukun Islam yang pertama mengatakan: “Persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Alloh azza wajalla dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Alloh, itu merupakan satu rukun. Ia merupakan satu rukun meski ia tersusun dari dua bagian. Sebab peribadahan-peribadahan itu hanya terbangun di atas penerapan keduanya sekaligus, yaitu bahwa ibadah itu tidak akan diterima keculai dengan keikhlasan kepada Alloh azza wajalla, dan ini merupakan kandungan dari persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh, dan dengan Ittiba’ (mengikuti) syari’at Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini merupakan kandungan persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam utusan Alloh.”[22]


Jadi syarat diterimanya ibadah itu ada dua:


1. Ikhlas untuk Alloh azza wajalla semata.


Ikhlas maknanya ialah seseorang dalam beribadah hanya bermaksud mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wata’ala dan sampai di kampung kemulian-Nya. Ini mengharuskan bersihnya peribadahan dari kesyirikan, yaitu tidak sedikitpun diperuntukkan kepada selain Alloh subhanahu wata’ala atau mengharap selain wajah-Nya azza wajalla misalnya berupa riya’ (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar-dengarkan) atau pujian dari manusia. [23]


2. Ittiba’ kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam.


Artinya ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan apa yang diteladankan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam.


Tentang dua syarat diterimanya ibadah ini Alloh azza wajalla berfirman (yang artinya):


…… barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Robbnya. (QS. al-Kahfi [18]: 110)


Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan: “Inilah dua rukun amalan yang diterima, ia harus ikhlas hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala dan tepat di atas syari’at Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan telah diriwayatkan seperti perkataan ini dari al-Qodhi Iyadh rahimahullahu ta’ala dan yang lainnya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir).


Sehingga amalan ibadah apapun yang tidak dibangun di atas kedua syarat tersebut sekaligus, tidak akan diterima oleh Alloh subhanahu wata’ala meski siapa pun dan bagaimana pun serta sebanyak apa pun seseorang telah payah melakukannya. Fudhoil bin Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya sebuah amalan itu bila dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak tepat maka tidak akan diterima. Begitu pula bila ia dilakukan dengan tepat tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas maka tidak akan diterima juga, sehingga amalan (yang akan diterima) itu harus ikhlas dan tepat, ikhlas ialah hanya bagi Alloh sedangkan tepat ialah sesuai dengan sunnah (Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam).[24]


___________________________________________________


[1] Baca kembali pembahasan makna ibadah di artikel berjudul Keutamaan dan Makna Ibadah.


[2] Lihat Aqidatut Tauhid oleh Syaikh DR. Sholih bin Fauzan al-Fauzan hlm. 54


[3] Lihat QS. al-Jin [72]: 18, QS. al-Mu’minun [23]: 117, QS. Ghofir[40]: 60, dll.


[4] Lihat QS. Ali Imron[3]: 175


[5] Lihat QS. al-Kahfi [18]: 110


[6] Lihat QS. al-Maidah[5]: 23 dan QS. ath-Tholaq [65]: 3


[7] Lihat QS. al-Fatihah [1]: 5


[8] Lihat QS. al-Falaq dan QS. an-Nas


[9] Lihat QS. al-Anfal [8]: 9


[10] Lihat QS. al-’An’am [6]: 162-163


[11] Lihat QS. al-Insan [76]: 7


[12] Lihat QS. al-Baqoroh [2]: 152


[13] Lihat QS. al-Baqoroh [2]: 218, QS. al-Maidah [5]: 35 dan QS. al-Anfal [8]: 72


[14] Lihat QS. Luqman [31]: 17


[15] Lihat al-’Ubudiyah dengan syarahnya oleh Abdul Aziz bin Abdulloh ar-Rojihi hlm 6, dan Syarah Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala hlm 53-68


[16] Syarah Tsalatsatul Ushul, hlm 120


[17] Lihat al-Ubudiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala hlm 8 dan syarahnya hlm 18


[18] Lihat Hasyiyatul Ushulits Tsalatsah oleh Syaikh Abdurrohman bin Muhammad bin Qosim rahimahullahu ta’ala hlm 50 dan Syarah Tsalatsatil Ushul hlm 56-57


[19] Lihat Kitabut Tauhid hlm 56


[20] Lihat Kitabut Tauhid hlm 56


[21] Tentang hakikat dua kalimat syahadat bisa disimak kembali pada edisi 09 dan 10 yang lalu


[22] Syarah Tsalatsatul Ushul hlm 70


[23] Majmu’ Fatawa wa Rosail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin: 1/22, Syarah Tsalatsatul Ushul, hlm 120


[24] Al-Ubudiyah, hlm 20


Awas ! Jangan remehkan perkara dalam Islam



Dalam masalah penerapan sunnah sering dilontarkan syubhat-syubhat dari ahlul bid’ah yang menyebabkan umat enggan dan tidak bersemangat untuk mengamalkannya.
Diantaranya syubhat-syubhat yang dipropagandakan oleh para politikus yang berbaju da’i. Mereka selalu meremehkan masalah fiqih dan hukum-hukum syari’at dan menganggapnya sebagai perkara remeh dan sepele. Mereka menganggap pelajaran-pelajaran seperti tauhid uluhiyah, fiqih syari’ah dan lain-lainnya sebagai kulit (qusyur) dan bukan inti (lubab) dari ajaran agama ini. Atau mereka menganggapnya sebagai furu’ (cabang) dan bukan perkara ushul (pokok).
Perhatikan perkataan Abdurrahman Abdul Khaliq ketika mengkampanyekan pentingnya mengenali situasi politik (shifatul ashr) dalam kasetnya sebagai berikut: “Sayang sekali pada hari ini kita memiliki syaikh-syaikh para ulama yang hanya mengerti qusyur (kulit Islam) yang sudah lewat masanya…..”
Para ulama yang tidak mengetahui shifatul ashr dianggap sebagai orang-orang yang jumud dan hanya mengerti qusyur atau kulit Islam saja. Ini merupakan bentuk pelecehan dan meremehkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dibawa oleh para ulama tersebut.
Di tempat lain ia menyatakan bahwa para ulama dikatakan sebagai mumi yang badannya hidup di zaman kita, sedangkan akal dan pikiran mereka ada di masa lalu. Atau dengan istilah dia yang lain ‘cetakan lama’, ‘ulama haid dan nifas’, dan seterusnya.
Ucapan-ucapan ini sama dengan ucapan seluruh ahlul bid’ah sejak dahulu, apakah dari kalangan mu’tazilah ataupun yang lainnya. Seperti apa yang diucapkan oleh ‘Amr bin Ubaid: “Ilmunya imam Syafi’i tidak keluar dari celana dalam perempuan”. Atau istilah-istilah lain yang lebih mengerikan dari ini.
Semua perkataan itu bertujuan sama, yaitu merendahkan ilmu-ilmu fiqih seperti hukum haid, nifas, thaharah, mandi junub, dan segala hukum-hukum yang berkaitan dengan fiqih. Mereka menganggap bahwa perkara itu sangat rendah yang seharusnya kita lebih mementingkan perkara yang lebih besar, yaitu wawasan politik, mengenal situasi politik (shifatul ‘ashr), atau menurut istilah Ikhwanul Muslimin tsaqafah islamiyah, atau fiqhul waqi’ menurut istilah sururiyyin, dan sistem kepartaian dan demokrasi serta berbagai macam perkara yang mereka anggap bisa memenangkan mereka dalam percaturan politik dan mencapai puncak kekuasaan yang mereka inginkan.
Para ulama membantah syubhat mereka ini dari beberapa sisi:
1. Jika pembagian tersebut bertujuan hanya untuk mementingkan yang ushul dan meremehkan yang furu’, maka ini adalah pembagian yang batil.
Kita katakan kepada mereka: ”Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh” seperti dikatakan oleh Imam Malik. Pada suatu saat Imam Malik pernah ditanya dengan satu pertanyaan, kemudian beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Mendengar jawaban ini si penanya terheran-heran dan berkata: “Sesungguhnya ini adalah masalah yang sepele, dan aku bertanya tentang hal ini semata-mata karena ingin memberi tahu kepada sang amir (penguasa)”. Melihat hal ini, Imam Malik marah seraya berkata: “Kau katakan ini masalah sepele dan remeh? Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh! Tidaklah kau mendengar ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. (al-Muzammil: 5)
Oleh karena itu seluruh ilmu agama ini semuanya berat, khususnya karena akan dipertanyakan pada hari kiamat (Tartibul Madariq, Qadli ‘Iyadl 1/184; Lihat Dlarurarul Ihtimam bis Sunnatin Nabawiyyah, hal. 118)
Perhatikanlah ucapan Imam Malik di atas, bahwasanya perkara agama ini semuanya penting dan berat karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Ucapan itu cukup sebagai bantahan terhadap syubhat dari ahlul bid’ah yang membagi-bagi agama ini menjadi Qusyur wa Lubab (kulit dan inti), kemudian mereka meremehkan perkara yang mereka anggap qusyur. Demikian pula sebagian yang lain yang membagi agama ini menjadi Ushul wal Furu’ (Pokok dan Cabang), dan menganggap remeh masalah furu’ dengan kalimat-kalimat yang banyak diucapkan seperti: “Inikan masalah furu’, kenapa harus diajarkan?” atau kalimat: “Janganlah kalian disibukkan dengan masalah furu’” dan lain-lainnya.
Ahlul bid’ah selalu sinis terhadap ahlus sunnah yang senantiasa mengkaji, mempelajari, menulis masalah-masalah fiqih seperti gerakan-gerakan shalat atau masalah-masalah fiqih lainnya dan mencemoohkan mereka dengan kalimat-kalimat di atas.
2. Pembagian ini merupakan pembagian bid’ah yang tidak ada asalnya.
Dalam hal ini kita dengarkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Adapun pembagian agama ini dengan istilah masalah ushul dan furu’ adalah pembagian yang tidak ada dasarnya (tidak ada asalnya). Pembagian itu tidak berasal dari para shahabat, para tabi’in maupun yang mengikuti mereka dengan ihsan, dan tidak pula dari para imam kaum muslimin. Istilah ini sesungguhnya diambil dari kaum mu’tazilah dan yang sejenis dengan mereka dari ahlul bid’ah. Kemudian istilah tersebut dipakai oleh sebagian ahlu fiqih dalam kitab-kitab mereka, padahal pembagian ini sangat kontradiktif”. (Masail Maridiniyah, hal. 788; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 111)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika membicarakan pembagian agama menjadi ushul dan furu’: “Semua pembagian yang tidak dapat dibuktikan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta prinsip-prinsip syariat, hal itu adalah pembagian yang batil dan harus dibuang. Karena pembagian seperti ini adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan umat”. (Mukhtashar ash-Shawaiqul Mursalah, 2/415)
3. Tidak ada definisi yang disepakati oleh mereka sendiri, manakah yang dimaksud ushul dan mana yang dianggap furu’.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas, pembagian ini sangat kontradiktif. Ketika kita tanyakan kepada mereka apakah yang kalian anggap sebagai ushul ternyata mereka sendiri berselisih pendapat.
Sebagian mereka menganggap masalah keyakinan (aqidah) sebagai ushul dan masalah amaliyah (ibadah) sebagai furu’. Kalau demikian apakah mereka menganggap bahwa shalat sebagai furu’, padahal seluruh umat Islam mengerti bahwa shalat adalah merupakan salah satu prinsip pokok ajaran Islam?
Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang merupakan ushul adalah perkara-perkara yang meyakinkan (mutawatir), sedangkan yang tidak mutawatir dianggap sebagai perkara furu’ yang meragukan. Ini pun terbantah karena masalah keyakinan itu berkaitan dengan ilmu, sehingga berbeda-beda pada tiap orang. Bagi para ulama yang mengerti ilmu hadits, mereka sangat yakin terhadap seluruh hadits shahih, apakah ia mutawatir ataupun tidak.
Sebagian yang lain menyatakan bahwa perkara ushul adalah perkara-perkara yang wajib, sedangkan perkara-perkara yang tidak wajib dianggap furu’. Kalau begitu apakah boleh kita meremehkan perkara yang tidak wajib?
Sebagian lagi menyatakan bahwa yang merupakan perkara ushul adalah masalah yang disepakati oleh para ulama, sedangkan masalah furu’ adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Bahkan sebagian lainnya menyatakan bahwa seluruh perkara, baik aqidah, ibadah, maupun hukum adalah furu’, sedangkan intinya adalah bersikap baik terhadap sesama manusia (akhlaq kemanusiaan).
Ada pula yang menyatakan seperti apa yang banyak diucapkan akhir-akhir ini bahwa masalah yang merupakan pokok agama ini adalah berjuang mencapai kekuasaan melalui sistem demokrasi, walaupun harus mengorbankan prinsip aqidah, ibadah dan akhlaq, karena mereka anggap sebagai furu’.
Akhirnya setiap aliran sesat yang ingin membuang atau meremehkan suatu masalah akan mengatakan masalah itu adalah furu’.
4. Jika pembagian ini dilakukan bertujuan untuk meremehkan perkara-perkara yang mereka anggap sebagai furu’, maka ini adalah sebesar-besar kebatilan, karena Allah memerintahkan kita untuk memeluk agama ini secara keseluruhan.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (alBaqarah: 208)
Menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas t berkata: “As-Silmi adalah Islam, sedangkan Kaaffah maknanya adalah keseluruhan”. Berkata Mujahid: “Amalkanlah seluruh amalan dan seluruh kebaikan”. Juga berkata Ibnu Katsir: “Allah memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan yang membenarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam agar mengambil seluruh syariat-syariat Islam, mengamalkan seluruh perintah-perintahnya dan meninggalkan seluruh yang dilarangnya”.
Demikianlah para ulama menafsirkan ayat di atas, yakni ambillah dari syariat Islam ini secara keseluruhan. Jangan memilih-milih atau mengambil sebagian dan meremehkan sebagian lainnya. Para ulama tidak membedakan mana yang ushul dan mana yang furu’. Mereka tidak pula membedakan mana yang Qusyur dan mana yang Lubab. Kita wajib mengambilnya secara keseluruhan sebagai agama Allah yang mulia dan kita wajib menghormatinya. Jika hal itu perkara wajib, maka kita harus mengamalkannya. Dan jika hal itu adalah perkara yang mustahab, maka kita dianjurkan untuk mengamalkannya. Kalaupun kita tidak mengamalkannya (karena bukan wajib), kita tetap tidak boleh merendahkannya dan menganggapnya sebagai perkara yang sepele dengan menyebutkan sebagai perkara furu’, qusyur, juziyyat dan istilah-istilah yang lainnya.
4. Kerasnya para shahabat kepada orang-orang yang meremehkan sunnah, walaupun pada perkara-perkara yang dianggap furu’.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar raidyallahu ‘anhu, ketika beliau berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Janganlah kamu cegah perempuan-perempuan kalian (untuk) mendatangi masjid.” (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian berkatalah anaknya: “Demi Allah, aku akan melarang mereka ke masjid”. Mendengar ucapan tersebut Ibnu Umar marah dan memaki anaknya dengan caci makian yang tidak pernah diucapkan sebelumnya, seraya berkata: “Saya katakan ‘Rasulullah berkata’, kemudian kamu mengatakan: “Demi Allah akan saya larang?!”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar bahwasanya ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

Izinkanlah oleh kalian wanita-wanita pergi ke masjid”.
Maka berkatalah anaknya: “Kalau begitu mereka akan mengambilnya sebagai permainan”. Maka Ibnu Umar pun memukul dadanya seraya berkata: “Aku sampaikan kepadamu dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam , kamudian kamu mengatakan: “Tidak?!!””
Berkata Imam Nawawi (mengomentari riwayat di atas): “Padanya ada dalil untuk menghukum orang yang menentang sunnah dan yang membantah dengan akal pikirannya”.
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari Buletin Dakwah MANHAJ SALAF, Edisi: 21/Th. I tgl 20 Muharram 1425 H/12 Maret 2004 M, judul asli “Tidak ada masalah sepele dalam agama ini”, penulis ustadz Muhammad Umar as Sewed,

Belajar Mengucapkan "SAYA TIDAK TAHU"



Oleh : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Di samping golongan para pengingkar sunnah yang menolak hadits-hadits shahih dengan akal dan hawa nafsunya, ada pula golongan yang "sok tahu". Mereka berbicara sesuatu tanpa ilmu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Dajjal itu akan keluar dari segitiga bermuda, Dajjal adalah Amerika karena memandang dengan sebelah mata yaitu mata dunia, Ya'juj wa ma'juj adalah pasukan mongol dan lain-lain.
Maka pada kesempatan kali ini akan kami bawakan beberapa dalil dan ucapan para shahabat dan ulama yang membimbing kita untuk bejalar mengatakan "tidak tahu" terhadap hal-hal yang memang tidak diketahui, apalagi pada perkara-perkara ghaib yang tidak ada perincian dan penjelasannya dari al-Qur'an dan as-Sunnah.
Allah Subhanahu Wara'ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً. (الإسراء: 36)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan ten-tangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabannya. (al-Israa': 36)

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wata'ala mengajarkan kepada kita agar tidak berbicara tentang sesuatu, kecuali dengan ilmu. Apalagi jika masalah itu berkaitan dengan perkara-perkara ghaib, apakah yang berkaitan dengan dzat Allah, perbuatan Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, atau pun perkara-perkara yang belum terjadi dan akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan, hisab, surga dan neraka atau pun yang selainnya.
Dalam masalah-masalah tersebut, kita tidak mungkin bisa mengetahuinya dengan panca indera atau akal kita. Kita hanya mengetahui sebatas apa yang diberitakan dalam al-Qur'an dan hadits yang shahih sesai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat Radhiallahu 'anhum

Mu'adz bin Jabbal Radhiallahu 'anhu ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka beliau menjawab allahu wa rasuluhu a'lam. Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayat-kan dari Mu'adz bin Jabbal Radhiallahu 'anhu Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam berkata kepada Mu'adz:

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ؟

Ya Mu'adz tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?
Mu'adz Radhiallahu 'anhu menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.

Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam bersabda:

أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ وَلاَ يُشْرَكَ بِهِ شَيْئًا.

Hak Allah atas hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam bertanya lagi:

أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟

Tahukah engkau apa hak mereka jika telah menunaikannya?
Mu'adz menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.

Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan adab seorang shahabat ketika ditanya dengan sesuatu yang tidak dia ketahui, mereka mengatakan: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu"1).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam sendiri pun diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala untuk menjawab "allahu 'alam" ketika ditanya tentang ruh, karena itu adalah urusan Allah.
Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً. (الإسراء: 85)

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urus-an Rabb-ku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit". (al-Isra': 85)

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam tidak malu untuk mengatakan "tidak tahu" pada perkara-perkara yang memang Allah tidak turunkan ilmu kepadanya. Atau beliau menunda jawabannya hingga turun jawaban dari Allah Subhanahu Wata'ala.
Hikmah dari jawaban-jawaban beliau Shalallahu 'alaihi wasalam ini adalah: kaum Yahudi dan Musyrikin mengetahui betul bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam tidak mengucapkan dari hawa nafsunya, melainkan wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Jika ada keterangan wahyu dari Allah beliau jawab, dan jika tidak, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam menundanya.

Imam asy-Sya'bi Rahimahullah pernah ditanya tentang satu masalah, beliau menjawab: "Saya tidak tahu". Maka si penanya heran dan berkata: "Apakah engkau tidak malu mengatakan 'tidak tahu', padahal engkau adalah ahlul fiqh negeri Iraq?" Beliau menjawab: "Tidak, karena para malaikat sekalipun tidak malu mengatakan 'tidak tahu' ketika Allah tanya:

أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. (البقرة: 31)

"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar!". (al-Baqarah: 31)

Maka para malaikat menjawab:

قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ. (البقرة: 32)

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Baqarah: 32)
(Lihat ucapan asy-Sya'bi dalam Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadllihi (2/51) melalui Hilyatul 'Alimi al-Mu'alim karya Salim bin 'Ied al-Hilali).

Dakwah ini adalah menyampaikan apa yang Allah turunkan dan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam jelaskan. Bukan buatan sendiri, berpikir sendiri, atau memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada ilmu padanya.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ (86) إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ (87) وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ. (ص: 86-88)

Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri)." Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan mengetahui (kebenaran) berita al-Qur'an setelah beberapa waktu lagi. (Shaad: 86-88

Karena ayat inilah Ibnu Mas'ud Radhiallahu 'anhu marah ketika ada seseorang yang berbicara tentang tanda-tanda hari kiamat dengan tanpa ilmu. Beliau Radhiallahu 'anhu berkata:

مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمُ فَلْيَقُلْ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ عِلْمُ فَلْيُقُلْ: اللهُ أَعْلَمُ، فَإِنَّ اللهَ قَالَ لِنَبِيِّهِ عَلَيْهِ وَسَلاَّمَ: ((قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
)).

"Barangsiapa yang memiliki ilmu maka katakanlah! Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu maka katakanlah: 'Allahu a'lam!" Karena sesungguhnya Allah telah mengatakan kepada nabi-Nya: (("Kata-kanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (me-maksakan diri"))".
(Atsar riwayat ad-Darimi juz 1/62; Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayaanil Ilmi, juz 2/51; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 797; al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul Alimi al-Mu'allim, hal. 59)

Demikian pula Abu Bakar Shiddiq radhiallahu 'anhu ketika ditanya tentang tafsir suatu ayat yang tidak beliau ketahui, beliau menjawab: "Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana yang akan menaungiku, mau lari ke mana aku atau apa yang akan aku perbuat kalau aku mengatakan tentang ayat Allah tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki". (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayanil 'Ilmi, juz 2/52; Bai-haqi dalam al-Madkhal, no. 792. Lihat Hilyatul 'Alimi al-Mu'allim, hal. 60)

Diriwayatkan ucapan yang semakna dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'anhu dan juga dinukilkan dari para shahabat oleh para ulama setelahnya seperti Maimun bin Mihran, Amir asy-Sya' bi, Ibnu Abi Mali-kah dan lain-lain. (Lihat sumber yang sa-ma hal. 60)
Pernah Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu ditanya tentang satu masalah, kemudian beliau menjawab: "Aku tidak mempunyai ilmu tentangnya", (padahal pada saat itu beliau sebagai khalifah –pent.). Beliau berkata setelah itu: "Duhai dinginnya hatiku (3x)". Maka para penanya berkata kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, apa maksudmu?" Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu menjawab: "Yakni dinginnya hati seseorang ketika ditanya tentang sesuatu yang dia tidak ketahui, kemudian ia menjawab: "Wallahu a'lam"". (Riwayat ad-Darimi 1/ 62-63; al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal. 171; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 794 dari jalan yang banyak. Lihat Hilyatul 'Alimi al-Mu'alim hal. 60)

Kejadian yang sama juga terjadi pada Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma , ketika beliau ditanya: "Apakah bibi mendapatkan warisan?" Be-liau menjawab: "Saya tidak tahu". Kemudian si penanya berkata: "Engkau tidak tahu dan kami pun tidak tahu, lantas…?" Maka Ibnu UmarRadhiallahu 'anhuma berkata: "Pergilah kepada para ulama di Madinah, dan tanyalah kepada mereka". Maka ketika dia berpaling, dia berkata: "Sungguh mengagumkan, seorang Abu Abdirrahman (Yakni Ibnu Umar radhiallahu 'anhum) ditanya sesuatu yang beliau tidak tahu, beliau katakan: "Saya tidak tahu". (Riwayat ad-Darimi 1/63; Ibnu Abdi Barr dalam Jami' Bayanil 'Ilmi, al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal. 171-172; al-Baihaqi dalam al-Madkhal, 796. Lihat Hilyatul 'Alimi al-Mu'alim hal. 61)

Datang seseorang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah bertanya tentang satu masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan selalu mengatakan: "Saya tidak tahu". Sampai kemudian orang itu datang dan berkata: "Wahai Abu Abdillah, aku akan keluar kota dan aku sudah sering pulang pergi ke tempatmu (yakni meminta jawaban)". Maka Imam Malik menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian mengangat kepalanya dan berkata: "Masya Allah Ya hadza, aku berbicara adalah untuk mengharapkan pahala. Namun, aku betul-betul tidak mengetahui apa yang kamu tanyakan." (Riwayat Abu Nu'aim dalam al-Hilya, 6/323; Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil Ilmi, 2/53; Baihaqi dalam al-Madhkal no. 816; al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, 2/174; Lihat Hilyatul 'Alimi al-Mu'alim, hal. 63).

Dari beberapa ucapan di atas, kita diperintahkan untuk menyampaikan apa yang kita ketahui dari al-Qur'an dan as-Sunnah, dan dilarang untuk berbicara pada sesuatu yang tidak kita ketahui.

Sebagai penutup kita dengarkan nasehat seorang ulama sebagai berikut:
"Belajarlah engkau untuk mengucapkan 'saya tidak tahu'. Dan janganlah belajar mengatakan 'saya tahu' (pada apa yang kamu tidak tahu –pent.), karena sesungguh-nya jika engkau mengucapkan 'saya tidak tahu' mereka akan mengajarimu sampai engkau tahu. tetapi jika engkau mengatakan 'tahu', maka mereka akan menghujanimu dengan pertanyaan hingga kamu tidak tahu". (Jami' Bayanil 'Ilmi, 2/55 melalui nukilan Hilyatul 'Alim al-Mu'alim, Salim bin 'Ied al-Hilaly, hal. 66)

Perhatikanlah pula ucapan Imam asy-Sya'bi rahimahullah : "Kalimat 'saya tidak tahu' adalah setengah ilmu". (Riwayat ad-Darimi 1/ 63; al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2/173; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 810. Lihat Hilyatul 'Alimi al-Mu'alim hal. 65)
Maka kalau seseorang 'sok tahu' tentang sesuatu yang tidak ada ilmu padanya, berarti bodoh di atas kebodohan. Yakni bodoh tentang ilmunya dan bodoh tentang dirinya (Tidak menyadari kebodohannya).


Catatan Kaki:
1) Jawaban di atas diucapkan jika pertanyaannya berkaitan dengan masalah syari'at. Namun, jika perta-nyaannya berkaitan dengan masalah takdir dan sejenisnya, jawabannya cukup dengan "wallahu a'lam", karena Rasulullah shallallahu'alaihi wasalam sendiri pun tidak mengetahuinya. (Demikianlah yang kami dapatkan dari Syaikh 'Utsaimin dalam majlisnya).


Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 74/Th. II 07 Rajab 1426 H/12 Agustus 2005 M