Selasa, 31 Januari 2012

ADAP BERDEBAT DAN BERDIALOG

ADAB BERDEBAT DAN BERDIALOG

Debat dan dialog adalah diskusi antara dua orang atau lebih untuk menyelesaikan permasalahan atau perselisihan yang timbul. Pada umumnya semua perlakuan dan acara dalam hidup ini perlu mempunyai etika untuk dipegang sebagai perkara dasar dalam gerakan kita. Selari dengan itu etika untuk berdebat dan berdialog perlu diketahui dan dipatuhi supaya tidak terjadi perselisihan dalam menyelesaikan masalah yang ada. Etika ini perlu kita hormati agar kita dapat menghormati orang yang kita lawan bicara dan khalayak ramai yang ada. Tidak kurang pentingnya kita perlu mematuhi etika ini agar orang lain akan menghormati kita sebagai insan yang profesional, sabar dan rasional.

Allah berfirman didalam kitabNya :

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’, 4:59)

Abu Umamah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Aku menjamin sebuah rumah di pinggiran syurga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, dan sebuah rumah di tengah syurga bagi orang yang meninggalkan dusta, dan sebuah rumah di puncak syurga bagi orang yang memperelokkan akhlaknya.” (H.R. Abu Dawud, Hasan)

Menurut Islam debat dan berdialog terbahagi kepada dua:

1. Debat & dialog yang disyariatkan – Iaitu yang bertujuan mencari dan menjunjung kebenaran, yang dilandasi adab dan dalil sehingga dapat menjadi sarana penyampaian dakwah. Dialog dan debat seperti ini lebih fokus kepada saling menepatkan dalil masing - masing kepada qur an dan hadis mengikut paham para sahabat Nabi saw.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

( فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ )

Maksudnya : “ Sesungguhnya, orang yang hidup di antara kalian selepasku akan melihat banyak perselisihan yang timbul ; maka tetaplah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa al-Mahdiyyin al-Rashidiin, berpeganglah dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham …“. [HR Abu Daud : 4607, al-Tirmidzi : no.2676]


2. Debat yang tercela – Yakni yg bertujuan hanya ingin menang, membela diri atau kelompoknya, tak ada niat untuk mencari kebenaran. Jauh dari pada adab dan tidak bersandarkan kepada dalil, lebih fokus kepada menjatuhkan seseorang bukan melemahkan argumentasi.

ADAB BERBICARA

1. Semua pembicaraan harus kebaikan, (QS 4/114, dan QS 23/3), dalam hadits nabi SAW disebutkan:

“Barangsiapa yang beriman pada ALLAH dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim)

2. Berbicara harus jelas dan benar, sebagaimana dalam hadits Aisyah ra:

“Bahwasanya perkataan rasuluLLAH SAW itu selalu jelas sehingga bias difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud)

3. Seimbang dan menjauhi bertele-tele, berdasarkan sabda nabi SAW:

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak omong dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai rasuluLLAH kami telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab nabi SAW: “Orang2 yang sombong.” (HR Tirmidzi dan dihasankannya)

4. Menghindari banyak berbicara, karena kuatir membosankan yang mendengar, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Wa’il:

Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai abu AbduRRAHMAN (gelar Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku kuatir membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada nabi SAW dan beliau menjawab kuatir membosankan kami (HR Muttafaq ‘alaih)

5. Mengulangi kata-kata yang penting jika dibutuhkan,

dari Anas ra bahwa adalah nabi SAW jika berbicara maka beliau SAW mengulanginya 3 kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi faham, dan apabila beliau SAW mendatangi rumah seseorang maka beliau SAW pun mengucapkan salam 3 kali. (HR Bukhari)

6. Menghindari mengucapkan yang bathil, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai ALLAH SWT yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh ALLAH SWT keridhoan-NYA bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai ALLAH SWT yang tidak dikiranya akan demikian, maka ALLAH SWT mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

7. Menjauhi perdebatan sengit, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Dan dalam hadits lain disebutkan sabda nabi SAW:

“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR Abu Daud)

8. Menjauhi kata-kata keji, mencela, melaknat, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Bukanlah seorang mu’min jika suka mencela, mela’nat dan berkata-kata keji.” (HR Tirmidzi dengan sanad shahih)

9. Menghindari banyak canda, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi ALLAH SWT di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (HR Bukhari)

10. Menghindari menceritakan aib orang dan saling memanggil dengan gelar yang buruk, berdasarkan QS 49/11, juga dalam hadits nabi SAW:

“Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya)

11. Menghindari dusta, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR Bukhari)

12. Menghindari ghibah dan mengadu domba, berdasarkan hadits nabi SAW:

“Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba ALLAH yang bersaudara.” (HR Muttafaq ‘alaih)

13. Berhati-hati dan adil dalam memuji, berdasarkan hadits nabi SAW dari Abdurrahman bin abi Bakrah dari bapaknya berkata:

Ada seorang yang memuji orang lain di depan orang tersebut, maka kata nabi SAW: “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” (2 kali), lalu kata beliau SAW: “Jika ada seseorang ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah: Cukuplah si fulan, semoga ALLAH mencukupkannya, kami tidak mensucikan seorangpun disisi ALLAH, lalu barulah katakan sesuai kenyataannya.” (HR Muttafaq ‘alaih dan ini adalah lafzh Muslim)

Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata: Nabi SAW memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji. (HR Muslim)

ADAB MENDENGAR

1. Diam dan memperhatikan (QS 50/37)
2. Tidak memotong/memutus pembicaraan
3. Menghadapkan wajah pada pembicara dan tidak memalingkan wajah darinya sepanjang sesuai dengan syariat (bukan berbicara dengan lawan jenis)
4. Tidak menyela pembicaraan saudaranya walaupun ia sudah tahu, sepanjang bukan perkataan dosa.
5. Tidak merasa dalam hatinya bahwa ia lebih tahu dari yang berbicara

ADAB MENOLAK / TIDAK SETUJU

1. Ikhlas dan menghindari sifat senang menjadi pusat perhatian
2. Menjauhi ingin tersohor dan terkenal
3. Penolakan harus tetap menghormati dan lembut serta tidak meninggikan suara
4. Penolakan harus penuh dengan dalil dan taujih
5. Menghindari terjadinya perdebatan sengit
6. Hendaknya dimulai dengan menyampaikan sisi benarnya lebih dulu sebelum mengomentari yang salah
7. Penolakan tidak bertentangan dengan syariat
8. Hal yang dibicarakan hendaknya merupakan hal yang penting dan dapat dilaksanakan dan bukan sesuatu yang belum terjadi
9. Ketika menolak hendaknya dengan memperhatikan tingkat ilmu lawan bicara, tidak berbicara di luar kemampuan lawan bicara yang dikuatirkan menjadi fitnah bagi diri dan agamanya
10. Saat menolak hendaknya menjaga hati dalam keadaan bersih, dan menghindari kebencian serta penyakit hati.

Diantara pandangan para ulama tentang debat dan dialog adalah :

Telah berkata Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah didalam kitab beliau Al-Faqih wal-Mutafaqqih :

ينبغي للمجادلِ، أن يُقَدّم على جدَالهِ تقوى اللهِ تعالى، لقول سبحانه : (فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ)، ولقوله : (إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ).
ويُخْلِصُ النِّية في جداله، بأنْ ينبغي به وجه الله تعالى. وليكن قصده في نظره إيضاح الحق، وتثبيته دون المغالبة للخصم..

“Menjadi satu keharusan bagi orang yang berdebat untuk mengutamakan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dalam perdebatannya, sebagaimana firman Allah subhaanahu (wa ta’ala) : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16]. Dan juga firman-Nya : “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” [QS. An-Nahl : 128].

Orang yang berdebat harus mengikhlashkan niat dalam perdebatannya tersebut semata-mata hanya mengharap wajah Allah ta’ala. Kemudian tujuan yang ia harapkan adalah untuk menunjukkan dan mengokohkan kebenaran (al-haq), tanpa harus mengalahkan lawan debatnya.

قال الشافعي : ما كلمتُ أحدًا قط إلا أحببتُ أن يُوفقَ ويسدد ويعانَ، ويكونَ عليه رعايةٌ من اللهِ وحفظٌ، وما كلمتُ أحدًا قط إلا ولم أبالِ بيين اللهُ الحقَّ على لساني أو لسانه

Telah berkata Asy-Syafi’iy : ‘Aku tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku berharap agar ia ditetapkan dan ditolong dalam kebenaran, serta menjadikan pembicaraanku tadi sebagai petunjuk dan bimbingan Allah kepadanya. Dan aku tidaklah peduli – saat berbicara pada seseorang – apakah Allah akan memberikan kebenaran melalui lisanku atau lisan orang lain” (Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 91)

ويبني أَمْرُهُ على النصيحة لدين الله، وللذي ويُجادله، لأَنَّهُ أخوهُ في الدين، مع أنَّ النصيحةَ واجبةٌ لجميع المسلمين

Dan agar ia melandasi semua tindakannya di atas nasihat kepada agama Allah dan kepada orang yang didebatnya. Tidak lain adalah karena ia merupakan saudaranya seagama, dan juga bahwasannya nasihat itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi seluruh kaum muslimin”.


http://abul-jauzaa.blogspot.com

awas bahaya RUWAIBIDHAH

AWAS, BAHAYA RUWAIBIDHAH...

Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).

Hadits yang agung ini menerangkan kepada kita:

1. Peringatan akan bahaya berbicara tanpa landasan ilmu. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hai umat manusia, makanlah sebagian yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya dia hanya akan menyuruh kalian kepada perbuatan dosa dan kekejian, dan agar kalian berkata-kata atas nama Allah dalam sesuatu yang tidak kalian ketahui ilmunya.” (QS. al-Baqarah : 168-169). Maka barangsiapa yang gemar berbicara mengatasnamakan agama tanpa ilmu, sesungguhnya dia adalah antek-antek Syaitan, bukan Hizbullah dan bukan pula pembela keadilan atau penegak Syari’at Islam!

2. Hadits ini menunjukkan pentingnya kejujuran dan mengandung peringatan dari bahaya kedustaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas kalian untuk bersikap jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berjuang keras untuk senantiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang shiddiq. Dan jauhilah kedustaan, karena kedustaan itu akan menyeret kepada kefajiran, dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu).

3. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya menjaga amanah dan memperingatkan dari bahaya mengkhianati amanah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”. Maka beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidak lengkap iman pada diri orang yang tidak memiliki sifat amanah.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dihasankan al-Albani dalam Takhrij Misykat al-Mashabih [35] as-Syamilah)

4. Hadits ini menunjukkan bahwa jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu adalah dengan kembali kepada ilmu dan ulama. Yang dimaksud ilmu adalah al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Dan yang dimaksud ulama adalah ahli ilmu yang mengikuti perjalanan Nabi dan para sahabat dalam hal ilmu, amal, dakwah, maupun jihad.


http://abu0mushlih.wordpress.com/

APA SEBENARNYA TUJUAN DIDIRIKAN NU

APA SEBENARNYA TUJUAN DIDIRIKANNYA NU?

بسم الله الرحمن الرحيم

Ketahuilah Wahai Ikhwani Fillaah Para Teman Seaqidah ,

Untuk apa dan kenapa NU didirikan?.

Masalah ini sering jadi bahan pertanyaan bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang janggal ataupun mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau dilakukan oleh orang-orang NU.
Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun elitnya pun perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk menjawab ataupun menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU didirikan. Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk menangkis sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.

Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dalam menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada gilirannya ditampilkan penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.

Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut:

Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan khalifah di Turki[1] Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam[2] tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi di Saudi Arabia.

Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas.

Menurut kelompok lainnya, dia tidak dikirim karena dia akan membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasai Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur[3]

Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: “Abdul Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad.

Memang, tiga tahun kemudian Wahab Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab Syafi’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami keinginan NU tersebut.”[4]

Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda, ternyata persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis:

“Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.”[5]

Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan diri ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU bukan wadah bagi kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya di Situbondo Jawa Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara eksplisit menyebut NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.

Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima asas tunggal Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti meninggalkan kegiatan politik praktis.[6]

Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU yang lain tetap bertahan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999, Abdurrahman Wahid lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama 15 tahun. Kepemimpinan beralih dari ‘duet’ KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman Wahid ke tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU).[7]

Musykilat seputar berdirinya NU

Kembali pada persoalan awal, Untuk melacak lebih cermat tentang sebenarnya untuk apa didirikannya NU, perlu disimak apa yang ditulis oleh Dr Deliar Noer. Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru.

Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah.

Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.

Tetapi kongres di Kairo itu ditunda[8], sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.[9]

Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.

Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti dalail al-khairat[10], ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah. Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati.

Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.[11]

Deliar Noer menjelaskan suara Kaum Tua (NU, organisasi baru muncul) sebagai berikut:

Bani Sa’ud An-Nadjdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menurut kitab-kitab tarikh... Belum lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut Raja Sa’ud sekarang (masih Wahabi atau bermazhab empat), tetapi khabar mutawatir menyebutkan mereka merusak pada qubah-qubah, melarang Dalail al-Khairat dan sebagainya.

...Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada mempunyai hak yang berhubungan dengan tanah (suci) dalam hal agama, karena di situ ada Qiblat dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas Nabi kita bahkan quburannya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakkad ziarah di mana qubur tersebut.[12]

Organiasi baru ini (NU) menekankan keterikatannya pada mazhab Syafi’i dan memutuskan untuk berusaha sungguh-sungguh guna menjaga langsungnya kebiasaan bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Sebaliknya dikatakan bahwa tidak terkandung maskud apapun untuk menghalangi mereka yang tidak mau mengikuti mazhab Syafi’i.

Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:

... tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab Syafi’i.

...melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.

...menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.

...tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.

... memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.

...jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada...dan qubahnya aulia atau ulama...

...mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah terus Madinah...

...melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos...., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite pengurus haji di Mekkah).[13]

Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang Hijaz.

Tidak ada jawaban terhadap permintaan ini. Dalam pada itu Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa kongres Islam di Mekkah tahun 1926 yang dihadiri oleh Tjokroaminoto dan Mansur sebagai suatu “kegagalan” oleh sebab itu tidak ada sebuah pun masalah agama dibicarakan.

Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September 1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU) malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.[14]

Tetapi pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni 1928 mereka diterima oleh Raja. Pada kesempatan ini kedua utusan tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz. Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.

Dalam jawabannya, berupa surat, Raja mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat.[15]

Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU
Untuk menghindari berbagai interpretasi dari berita-berita yang berkembang tentang isi surat Raja Ibn Sa’ud, baik dari kalangan NU maupun non NU, maka di sini dikutip secara utuh surat resmi Raja Saudi kepada NU:

بسم الله الرحمن الرحيم

KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA


Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H.


Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman Al-Faisal
Kepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di JawaSyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh Alawi bin Abdul Aziz ( semoga Allah melindungi mereka).

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Surat saudara tertanggal 5 Syawwal 1346H telah sampai kepada kami. Apa yang saudara sebutkan telah kami fahami dengan baik, terutama tentang rasa iba saudara terhadap urusan ummat Islam yang menjadi perhatian suadara, dan delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul Wahab, Sekretaris I PBNU, dan Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir, Penasihat PBNU telah kami terima dengan membawa pesan-pesan dari saudara.

Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam.

Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta.

Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab.Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Tanda tangan dan stempel[16]

Demikianlah surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah 1346H.Masalah Kitab Dalail al-Khairat

Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab Dalail al-Khairat. “Perjuangan” mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu.

Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia tidak menggubris upaya-upaya kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi tidak menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.

Untuk memudahkan pembaca, maka di sini diturunkan fatwa tentang boleh tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail al-Khairat itu dari Lajnah Daimah kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada pula jawabannya, dikutip sebagai berikut:


Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:

Soal 5:
Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?.



Jawab 5:

Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash (teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib, dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.


Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk meninggalkannya, karena di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang ada di dalam Kitab Dalail Al-Khairat itu).
Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi washohbihi wasallam.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:
Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota Abdullah bin Qu’ud.[17]


Dalam Kitab Dalail al-Khairat di antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:

اللهم صل على محمد حتى لايبقى من الصلاة شيء وارحم محمدا حتى لايبقى من الرحمة شيء .


“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa sedikitpun dari rahmat.”

Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail Al-Khairat di atas menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Ucapan mereka itu telah terbantah oleh firman Allah (yang artinya):

“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahfi: 109).[18]

Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia yang ingin agar tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan fatwa ulama resmi Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk dilestarikan dan dilindungi.

Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut syaikh pun digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar sedemikian rupa, sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya seperti tercantum di atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.

Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH Saifuddin Zuhri sebagai berikut:

“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan. Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di manapun di seluruh daerah kerajaan".[19]

Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri.

Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat. Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya.

Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan secara resmi NU punya lembaga bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan 10 Oktober 1957 sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar NU 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU.[20]

Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula hingga langkah-langkah selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan –dalam hal ini didirikannya NU itu untuk apa-- itu sebenarnya adalah untuk melestarikan dan melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu ataupun Muslimin yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tanpa adanya organisasi yang menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama secara maju bersama, maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para pembaharu yang memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan bahkan kemusyrikan itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan Animisme yang sulit dikembang suburkan lagi.

Menyadari akan sulitnya dan terancamnya posisi mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama ancaman dari Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa aman untuk bergandeng tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI (Komunis) dan anak cucunya, serta musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan Munafiqin serta kelompok nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun kelompok kiri anti Islam.

Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan, sepanjang data dan fakta yang bisa dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti hanya untuk itu saja. Bagaimana pula kalau ini justru dijadikan alat oleh musuh Islam untuk kepentingan mereka?.


* SEMOGA MENJADI RENUNGAN BAGI PARA IKHWAN *


* والله أعلم,وهو المستعان,وبه التوفيق *


--------------------------------------------------------------------------------

Referensi / Maraaji' :

[1] Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki, namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri. (lihat Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, jilid 2, halaman 733).

[2] Muktamar Dunia Islam itu disebut Kongres Khilafah yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925. Kongres luar biasa di Surabaya (Desember 1924, yang diikuti Wahab Hasbullah tersebut di atas, pen) membicarakan perutusan Indonesia ke Kongres Khilafah di Kairo. Lalu dalam bulan Agustus 1925 diadakan kongres bersama SI (Sarikat Islam) – Al-Islam di Yogyakarta. Cokroaminoto (dari CSI) dan KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite Kongres Al-Islam yang akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa Raja Ibn Sa’ud. Soal pemerintahan di Makkah dan Madinah akan menjadi acara. (Lihat Leksikon Islam, 1, halaman 340).

[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 67, merujuk pula pada Sekaly, Les deux congres generaux de 1926. Pada saat itu gelar Wahabi diberikan kepada semua kamum ”modernis”, yang tidak lagi mau terikat kepada mazhab tertentu. Orang Syafi’i takut, bahwa maqam Imam Syafi’i akan dibongkar dan bahwa ajarannya tidak lagi boleh diajarkan di Mekkah, padahal Mekkah untuk kelompok tradisional pada waktu itu tetap merupakan perguruan yang paling disukai.

[4] Steenbrink, ibid, halaman 68.

[5] H Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 263- 264.

[6] Leksikon Islam, 2, halaman 520.

[7] M Said Budairy, 75 Tahun NU, Ujian Berat Khittah, Republika, Rabu 31 Januari 2001, halaman 6.

[8] Deliar Noer mengutip Bendera Islam, 22 Januari 1925. Konferensi tersebut ditunda oleh karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.

[9] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, cetakan ketiga, 1985, halaman 242-243.

[10] Menurut catatan Deliar Noer, ini merupakan koleksi do’a yang berasal dari seorang mistikus Afrika Utara di abad ke-15, Al-Jazuli. Taha Husein, seorang pengarang terkenal di Mesir dan pernah menjadi menteri pendidikan negeri tersebut, ketika masa mudanya menjadi murid Muhammad Abduh di Al-Azhar, pernah mengecam ayahnya membaca Dalail al-Khairat. Katanya ini menyebabkan “waktu terbuang secara bodoh”. Lihat Taha Husein, Al-Ayyam, II (Kairo: Dar al-Maarif, tiada tanggal), hal. 123. Lihat pula masalah Dalail al-Khairat pada buku yang Anda baca ini selanjutnya.

[11] Deliar Noer, ibid, halaman 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.

[12] Deliar, ibid hal 244, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, ibid, hal 9.

[13] Deliar, ibid, hal 244.

[14] Deliar Noer, ibid, halaman 245

[15] Surat ini bertanggal 24 Zulhijjah 1346 H (13 Juni 1928), No 2082, Lihat Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun 1, No 1, dikutip Deliar Noer, halaman 246.

[16] Al-Arkhabil, Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta, halaman 22.

[17] Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321.

[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah an-Najiyah wat Thaifah al-Manshuroh, diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cetakan I, 1419H, 171-172.

[19] KH Saifuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan ketiga, 1981, halaman 611.

[20] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan tasawuf, Gus Dur Wali? , Darul Falah, Jakarta, cetakan kedua, 1420H/ 2000M, halaman 121.

Riyadh,.,07-03-1433 H,.,al Muwafiq ,.,30-01-2012 M,.

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini usul dan saran sangat di harapkan untuk perbaikan demi kebaikan akidah dan agama kita

Share It

Tampilan slide

Kamis, 26 Januari 2012

PENJELASAN TENTANG HABIB DAN SIKAP KITA TERHADAPNYA

Penjelasan Tentang Habib Dan Sikap Kita Terhadapnya

Posted by Elhijrah

Ustadzuna dzulqornain ana ingin menyakan beberapa hal tentang habib::

1. bagaimana pandangan Quran dan Sunnah tentang kehabiban… sedangkan yg ana tau dalam hadits.. bahwa berlebihan dalam nasab tdk boleh akan tetapi menjelek2kan nasab seseorang jg tdk boleh.. jadi “BAGAIMANA SIKAP KITA AHLUSSUNNAH JIKA BERJUMPA DENGAN HABIB”

2. Lalu.. antum sudah lama di Yaman tentunya.. ana mau bertanya tentang kondisi Habib Umar bin Hafidz apakah beliau lurus manhajnya ataukah menyimpang dari kaidah ahlussunnah wal jama’ah.. dan bagaimana dengan Ma’had Habib tersebut di Yaman.. apa nasehat antum??

itu saja dulu ustadz.. semoga Allah ta’ala memberikan kesehatan buat antum untuk selalu mendakwahkan Al Haq

Jazakumullah khoiron katsirn.. Barokallahufiikum

Pertanyaan di atas dijawab oleh Al ustad Abu Muhammad dzulqarnain (makassar) 14-1-2011 di milis nashihah



Bismillah,

Pertama,
Habib secara bahasa adalah orang yang dicinta. Bentuk fa’il bermakna maf’ul.

Kedua,
cinta kepada orang-orang yang Shalih adalah hal yang baik, berdasarkan firman Allah, “Orang-orang yang saling mencintai pada hari itu, sebagian mereka adalah musuh bagi sebagian yang lainnya kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)

Ayat di atas menunjukkan bahwa kecintaan antara sesama orang yang bertakwa itulah yang bermanfaat pada hari kiamat.
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang bersama yang dia cintai (pada hari kiamat).” (Muttafaqun ‘alaihi dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu)

Ketiga,
istilah Habib sudah menjadi istilah khusus di kalangan orang-orang shufi yang cenderung berlebihan sehingga membawa mereka kepada bid’ah, bahkan kepada kesyirikan.

Empat,
nama yang disebut dalam pertanyaan adalah salah satu pentolan kaum shufi, siapa yang menghendaki ilmu syariat tidak mengambil ilmu dari orang yang tidak dipercaya keilmuan dan agamanya.

Lima,
orang dicintai oleh Allah tidaklah terbatas pada golongan tertentu, juga bukan kavlingan pihak khusus. Kecintaan Allah kepada hamba tidak diperoleh dengan sekadar angan-angan, nasab, kedudukan dan semisalnya, namun kecintaan Allah kepada hamba akan terwujud dengan melaksanakan ketentuan Allah untuk mereka yang dimuliakan dengan kecintaan-Nya. Banyak amalan dalam A-Quran dan hadits yang menjadikan seorang sebagian kecintaan Allah, seperti, ketakwaan, keimanan, kesabaran, banyak bersabar, berbuat Ihsan, banyak bertambah.

Wallahualam

Dzulqarnain M. Sunusi

Sumber: muwahiid.wordpress.com

SESATKAH JAMA'AH TABLIGH?


Sesatkah Jamaah Tabligh?


Al Ustadz Muhammad Ali Ismah Al Medani
Bagi seorang yang ingin mengetahui kesesatan sebuah paham atau kelompok hendaknya dia mengetahui terlebih dahulu mana pemahaman yang benar dan mana pemahaman yang salah. Banyak kita saksikan seseorang kebingungan bila dia mendengar atau membaca pernyataan bahwa : Ini adalah pemahaman yang sesat dan itu adalah pemahaman yang menyeleweng! Mengapa dia bingung. Hal itu terjadi tidak lain karena dia belum mengetahui perkara yang benar dan yang salah. Kebingungan ini tidak hanya melanda orang awam saja. Akan tetapi para pelajar, mahasiswa, dan kalangan intelek pun mengalami hal yang sama. Untuk itu sudah seharusnya seorang itu terlebih dahulu mengetahui kebenaran sehingga bila diajak berbicara tentang firqah-firqah sesat semacam syi’ah, mu’tazilah, jahmiyah, dan lain-lainnya tidak akan merasa heran. Begitu juga berkaitan dengan tema yang akan kita angkat kali ini tentang jamaah tabligh. Sudah semestinya seorang Muslim mempelajari kebenaran yang terdapat pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bagaimana sikapnya terhadap jamaah ini.
 
Sesatkah Jamaah Tabligh?Tidak diragukan lagi bahwa jamaah tabligh adalah suatu kelompok dakwah yang telah menyebar kemana-mana. Tapi sebenarnya bagaimana jamaah ini bila dilihat dengan kacamata ajaran Islam. Kalau kita menengok sejarahnya, jamaah ini dirintis oleh Muhammad Ilyas Ad Diyobandi Al Jisti Al Kandahlawi kemudian Ad Dahlawi. Dia adalah pendiri jamaah tabligh di India. Dia pula yang merancang dan merumuskan ushulus sittah (enam dasar) ajaran jamaah tabligh. Ini dengan isyarat gurunya, Rasyid Ahmad Kankuhi Ad Diobandi Al Jisti An Naqsyabandi dan Asyraf Ali At Tanuhi Ad Diobandi Al Jisti. (Lihat Al Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh oleh Syaikh Hamud At Tuwaijiri halaman 24).
 
Kemudian dilanjutkan gerakan ini oleh anaknya, Yusuf. Dan pimpinan mereka sekarang adalah In’amul Hasan. (Halaman 7) Jamaah ini dibangun di atas empat jenis tarekat sufi : Jistiyah, Qadiriyah, Sahrawardiyah, dan Naqsyabandiyah. Di atas empat tarekat sufi inilah In’amul Hasan membaiat para pengikutnya yang telah dianggap pantas untuk dibaiat. (Halaman 7-8). Dari sini telah nampak jamaah tabligh tidaklah mendasarkan pemahamannya kepada pemahaman Salaf Shalih sebagai dasar pemahamannya pasti sesat. Dan berikut ini kita akan mendapatkan bukti nyata kesesatan mereka. Penampilan zuhud jamaah tabligh telah menipu sebagian besar kaum Muslimin sehingga ketika ada orang yang menyatakan bahwa mereka adalah kelompok yang sesat tiba-tiba terkejut sambil berkata : “Apakah orang-orang yang zuhud seperti itu sesat dan salah.!” Rupanya, orang-orang seperti ini tidak paham pokok dan dasar Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam menilai sesat atau tidaknya suatu kelompok tertentu. Mereka mengukur baik dan buruk hanya dari segi penampilan luar tanpa melihat bagaimana keadaan dalamnya.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang yang arif dan bijaksana. Mereka menghukumi kelompok atau perorangan tidaklah berdasarkan hawa nafsu atau karena sakit hati tetapi dengan ilmu dan bukti-bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan semua makhluk. Berapa banyak orang-orang sufi yang berpenampilan sederhana dan zuhud tidak luput dari kritikan dan kecaman pedas dari para ulama. Mereka bisa menipu orang awam tapi jangan harap bisa menipu ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ahli Tarikh Islam, Al Imam Al Hafidh Adz Dzahabi mengomentari tertipunya Al Manshur, seorang khalifah Bani Abbasiyah karena ulah seorang tokoh mu’tazilah, ‘Amr bin ‘Ubaid. Khalifah bersyair :
Semua kalian berjalan dengan perlahan-lahan
Semua kalian memburu buruannya
Kecuali ‘Amr bin ‘Ubaid
 
Imam Adz Dzahabi berkata : “Dia (Manshur) tertipu dengan kezuhudan dan lagak keikhlasannya hingga dia melupakan kebid’ahannya.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala 6/105 dan Naqdur Rijal karya Syaikh Rabi’ halaman 12)
 
Ushulus Sittah “Jamaah ini memiliki manhaj yang dijadikan dasar sebagai tempat rujukan yang dinamakan Ushulus Sittah (enam dasar), Ushulus Sittah tersebut berisi :
1. Merealisasikan kalimat thayibah Laa Ilaha Illallah Muhammadar Rasulullah.
2. Shalat dengan khusyu’ dan khudhu’ (penuh ketundukan).
3. Ilmu dan dzikir.
4. Memuliakan kaum Muslimin.
5. Memperbaiki niat dan mengikhlaskannya.
6. Keluar (khuruj) di jalan Allah.
 
Perhatikanlah wahai para pembaca yang budiman terhadap Ushulus Sittah ini. Kemudian kita lihat apakah mereka berada di atas manhaj yang benar dalam memahami, mempraktikkan, dan mendakwahkan dasar-dasar ini. Sebelum kita membicarakannya, Anda harus mengetahui terlebih dahulu bahwa Ushulus Sittah ini memiliki Kalimat Rahasia. Jika Anda telah mengenalinya akan bisa –dengan ijin Allah– memahami semua pendapat dan gerakan jamaah ini dengan mengembalikan semua ucapan dan perbuatan tersebut kepada Kalimat Rahasia ini. Kalimat Rahasia itu adalah segala sesuatu yang menyebabkan lari atau berselisih antara dua orang maka harus diputus dan dilenyapkan dari manhaj jamaah ini.

Sekarang mari bersama saya membahas dasar yang pertama jamaah ini, yaitu merealisasikan dua kalimat syahadat. Apakah Anda telah mengetahui cara merealisasikan dua kalimat syahadat di atas.
 
Realisasi dua kalimat syahadat itu adalah dengan cara mewujudkan tiga jenis tauhid, Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma’ was Sifat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus Syaikh rahmatullah ‘alaihi mengatakan dalam Kitab Fathul Majid halaman 84 :

“Ucapan beliau, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab : ‘Bab Siapa Yang Merealisasikan Tauhid Akan Masuk Surga Tanpa Dihisab. Yaitu tanpa diadzab.’ Saya (Syaikh Abdurrahman) katakan : Merealisasikannya adalah (dengan cara) memurnikan dan membersihkannya dari noda-noda syirik, kebid’ahan, dan kemaksiatan.” Setelah kita memahami makna kalimat tauhid di atas dan Kalimat Rahasia yang ada pada mereka baiklah sekarang kita lihat realisasinya pada jamaah ini. Mereka merealisasikan kalimat ini dengan hanya berbicara sekitar tauhid Rububiyah saja. Mengapa demikian. Karena hal itu tidak sampai menyebabkan terjadinya perpecahan, membuat orang lari, dan berselisih antara dua orang Muslim.

Adapun kalau berbicara tentang tauhid Al Asma’ was Shifat maka akan menyebabkan terjadinya perpecahan, membuat orang lari, dan perselisihan karena di sana ada kelompok asy’ariyah, maturidiyah, jahmiyah, hululiyah, ittihadiyah, dan Salafiyah. Mereka semua berbeda dalam masalah ini. Dan dasar yang dijalani oleh jamaah tabligh dalam Kalimat Rahasia ini bahwa sesuatu yang akan menyebabkan orang lari, perselisihan, dan perpecahan antara dua orang maka harus dibuang dan ditiadakan dari manhaj jamaah ini.

Demikian juga jenis ketiga dari bagian tauhid, yaitu tauhid Uluhiyah maka pembicaraan dalam masalah ini diputus dan ditiadakan karena akan menyebabkan terjadinya perpecahan dan perselisihan karena nanti ada yang Salafi dan ada yang khalafi quburi. Yang pertama (Salafi, pent.) tidak membolehkan seseorang bepergian ke kuburan, shalat di sisinya, (shalat) ke arahnya, thawaf di situ, tawassul dengan orang-orang shalih, istighatsah kepada mereka, dan seterusnya. Berbeda dengan yang kedua (khalafi quburi, pent.), semua hal tadi boleh bahkan yang kita sebutkan tadi adalah intisari agama mereka.

Oleh karena itu wahai saudaraku yang mulia, jika ada di antara mereka yang menerangkan dasar ini tidaklah mereka mengatakan kecuali segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kepada kita, memberi nikmat kepada kita, dan seterusnya yang berkaitan dengan tauhid Rububiyah saja. Kita telah mengetahui bahwa yang namanya ilmu adalah firman Allah, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, serta ucapan para shahabat, apakah dalam bidang aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, dan yang lainnya. Mereka menyatakan ilmu itu ada dua, ilmu fadha’il yang berasal dari mereka dan ilmu masa’il yang berasal dari para ulama yang berada di setiap negeri. Setiap orang yang khuruj (keluar berdakwah) bersama mereka hendaknya mengambil (ilmu masa’il) tersebut dari para ulama di negeri masing-masing.

Apakah Anda telah memperhatikan pembagian ini. Dan mengapa mereka membolehkan seseorang berbicara tentang ilmu fadha’il dan melarang berbicara ilmu masa’il bahkan menganjurkan orang yang khuruj bersama mereka untuk mengambil ilmu tersebut dari para ulama di negeri masing-masing. Karena ilmu yang pertama (fadha’il) tidak menimbulkan perpecahan dan perselisihan, berbeda dengan yang kedua yang akan menimbulkan perpecahan.

Dalam perkara amar ma’ruf nahi munkar mereka juga menggunakan senjata Kalimat Rahasia ini. Mestinya amar ma’ruf nahi munkar itu diterapkan dalam semua perkara akan tetapi mereka menerapkannya dalam perkara yang sekiranya tidak menimbulkan perpecahan. Lalu bagaimana mereka mempraktikkannya. Maka jawabnya dengan cara pemaparan, yaitu mereka memaparkan hadits-hadits dan ayat-ayat yang berisi anjuran untuk melaksanakan perbuatan itu atau meninggalkan perbuatan yang dilakukannya tanpa menembus sisi aqidah. Mereka akan mengatakan kepada orang yang meninggalkan shalat –misalnya– :[ “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mukminun : 12) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam besabda : “Tidaklah setiap hamba Muslim shalat untuk Allah di setiap harinya dua belas rakaat tathawwu’ bukan fardlu kecuali Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di Surga.” Ini keutamaan shalat yang sunnah maka bagaimana dengan yang fardlu. ]
 
Oleh karena itu bila ada orang yang bermaksiat ikut khuruj (keluar) bersama mereka ingin merokok maka mereka membolehkannya bahkan membelikan rokok untuknya. Demikian juga peminum arak mereka akan membawakan botolnya. Dan kalau orang itu ingin mencukur jenggotnya mereka akan berikan pisau cukur untuknya atau mereka akan membawanya ke tukang cukur. Mungkin Anda akan berkata : “Ini hanyalah hal-hal yang dilebih-lebihkan saja.” Maka saya katakan : “Semoga Allah memberi hidayah kepadaku dan kepada Anda.” Cerita tidak sama dengan orang yang menyaksikan. Lihatlah buku-buku yang mengkritik mereka, Anda akan dapati perkara yang lebih aneh lagi.
 
Ketahuilah, mereka memiliki dua pertemuan rutin di malam Selasa dan Rabu. Pertemuan pertama untuk orang-orang yang pulang dari khuruj. Pada pertemuan pertama dihadirkan di hadapan mereka orang-orang yang ingin diberi semangat untuk khuruj bersama mereka atau untuk mempengaruhi mereka. Pertemuan kedua untuk menata khuruj pada waktu Ashar di hari Rabu. Amir pertemuan berkata kepada salah seorang yang telah khuruj –agar yang baru dan para pendengar mengetahui– : “Berapa hari Anda khuruj.” Yang khuruj menjawab: “Saya khuruj selama 4 bulan di jalan Allah.” Sang amir berkata : “Masya Allah! Di mana Anda habiskan semua waktu Anda itu.” Yang khuruj menjawab : “10 hari di negeri-negeri Teluk, 20 hari di belantara Afrika, 1 bulan di Eropa, 1 bulan di Amerika Selatan, 1 bulan di Asia Timur, India, dan Pakistan.” Maka sang amir pertemuan berkata (perhatikan ucapannya) : “Masya Allah! Anda adalah dai dan ketahuilah dai itu seperti awan yang datang ke bumi turun berupa air hujan kemudian menyirami mereka. Berbeda dengan ulama, mereka itu ibarat sumur, jika Anda merasa haus Anda harus menempuh perjalanan sejauh 1 mil untuk mendatangi sumur itu maka Anda akan mati dulu sebelum sampai ke sumur tersebut. Bahkan mungkin Anda tidak bisa minum karena timba yang digunakan untuk mengambilnya tidak ada. Dan kalau Anda ingin minum maka Anda harus datang ke pinggir sumur kemudian menimba dulu baru engkau bisa minum.”

Apakah Anda merasa tergugah –seperti tergugahnya para pendengar cerita itu– yang lebih memuliakan dai dari orang yang alim! Maka akibat dari cerita ini jika salah seorang di antara mereka ingin duduk menuntut ilmu, diceritakanlah kisah ini maka akhirnya diapun ingin menjadi awan saja daripada menjadi sumur! Agar Anda tidak kebingungan setelah membaca kisah ini maka harus diterangkan di sini kekeliruannya. Saya katakan –dengan mengharapkan bimbingan Allah– : Ketahuilah –semoga Allah membimbing kita kepada jalan-jalan kebaikan– bahwa awan yang turun berupa hujan tidaklah menumbuhkan kecuali rerumputan untuk pakan ternak pada umumnya dan hanya menumbuhkan rumput yang bersifat musiman. Bahkan kalau hujan itu turunnya di bumi yang gersang atau tidak pada musimnya, tidak bermanfaat. Dan kadang-kadang awan itu membawa kerusakan dan menimbulkan kehancuran. Berbeda halnya dengan air sumur, dia bisa dijadikan air minunm dan untuk bercocok tanam. Dan biasanya daerah yang ada sumurnya kehidupan di sana lebih bertahan lama karena penduduknya bisa bercocok tanam, minum, memanen hasil tanamannya, dan seterusnya. Dan keberadaan sumur bisa memberi manfaat bagi orang yang tinggal di situ dan bagi orang yang lewat apakah untuk diri mereka, tunggangan mereka, untuk tanaman mereka, dan perbekalan mereka dengan cara disimpan dalam bejana-bejana. Sumur, setiap saat airnya bersih, jernih, dan harum, apakah Anda berpikir untuk meninggalkannya.
 
Ada kisah lain, mudah-mudahan semakin memperjelas kesesatan jamaah ini. Diceritakan di hadapan para pemula yang ingin menuntut ilmu syar’i bahwa salah seorang di antara mereka berkata : [ “Kemana Anda akan pergi wahai fulan.” Maka yang lain akan menjawab : “Aku akan pergi belajar.” Kemudian orang yang pertama tadi berkata : “Untuk apa.” Yang lain berkata : “Agar aku mengetahui perkara yang halal dan haram.” Yang pertama berkata : “Subhanallah, Anda tidak tahu perkara yang halal dan haram.! Apakah anda tidak mendengar bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Mintalah fatwa kepada hatimu meskipun banyak orang yang memberi fatwa kepadamu.’  Subhanallah, sampai sekarang engkau tidak mengetahui perkara yang halal dan yang haram padahal banyak binatang yang mengerti tentang itu. Apakah Anda tidak melihat kucing ketika Anda letakkan makanan di suatu tempat kemudian Anda pergi dan kembali lagi sebentar setelah itu maka Anda akan lihat dia memakannya dan ketika melihatmu dia akan lari. Berbeda dengan kalau Anda duduk di atas kursi makanmu kemudian Anda letakkan di sebelahmu sesuatu makanan maka dia akan makan dengan tenang di sebelahmu. Pada kasus yang pertama kucing itu tahu bahwa dia terjatuh ke dalam perbuatan yang haram oleh karena itu dia lari. Dan pada kasus yang kedua, dia tahu bahwa makanan yang didapatkannya halal oleh karena itu dia makan bersamamu dengan tenang. Wahai saudaraku, akal kaum Mukminin bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram! Oleh karena itu mintalah fatwa kepada hatimu walau banyak orang yang memberi fatwa kepadamu.!” ]

Maka wahai saudaraku, apakah Anda setuju dengan permisalan seperti itu. Tentunya bagi seorang Muslim dalam menentukan perkara halal/haram dan perkara lain dalam urusan agama ini harus bersandar kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Sebab kalau masing-masing orang diberikan kebebasan menentukan urusan agama ini sekehendaknya sendiri niscaya akan rusak agama yang mulia ini. Adapun perkara minta
fatwa kepada hati dalam menentukan suatu permasalahan, hal ini kadang-kadang bisa diterapkan dalam hal-hal yang memang belum jelas urusannya dalam agama ini. Dan tentunya syaratnya dia harus seorang rasikh (mendalam) ilmunya dalam Dien ini dan tidak dikhawatirkan hawa nafsu mempengaruhinya. Diceritakan bahwa salah seorang tabligh berbicara memberikan semangat kepada para pendengarnya untuk khuruj bersama mereka dengan meninggalkan anak, istri, keluarga, harta, negeri, dan lain-lainnya : “Wahai saudaraku, jika Anda meletakkan gula ke dalam gelas teh kemudian Anda tuangkan air dan Anda minum tanpa mengaduk gulanya maka Anda tidak akan merasakan manisnya gula. Dan jika Anda aduk maka akan merasakan manisnya gula. Demikian halnya dengan iman di dalam hati setiap manusia. Iman itu ada dan tidak akan bisa dirasakan manisnya oleh pemiliknya kecuali setelah mengaduknya dengan bergabung dan khuruj bersama jamaah ini.” Saya beranggapan, Anda akan segera membantah kisah ini dengan berkata : “Subhanallah! Jadi iman itu ada di setiap hati manusia.! Hingga di hati-hati orang munafik, kafir, dan murtad!” Dan barangkali Anda akan berkata pula : “Subhanallah! Jadi para ulama, penuntut ilmu, dai, orang awam dari kalangan pria dan wanita tidak akan merasakan manisnya iman bila tidak ikut khuruj dengan kalian.!” Mungkin Anda akan juga berkata : “Subhanallah! Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Tiga perkara, barangsiapa ada pada dirinya tiga perkara itu akan merasakan manisnya iman : Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya, dia mencintai seseorang karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekufuran setelah dia diselamatkan Allah darinya sebagaimana dia benci kalau dilemparkan ke dalam neraka.’ (HR. Muslim 1/66)

Terakhir akan saya tutup dengan sebuah kisah bagaimana mereka mempermainkan syariat dan akal para pendengarnya. Amir khuruj membagi kelompoknya pada hari Kamis pagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama, tinggal di masjid membuat halaqah dzikir yang terus berkelanjutan hingga semua kelompok pulang. Kelompok kedua menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3 orang lebih. Tugasnya mengetuk pintu-pintu rumah yang berdekatan dengan masjid dan mengajak mereka untuk hadir dan bergabung dalam kegiatan jamaah ini dan agar mereka menghadiri bayan (penjelasan) yang diadakan setelah Maghrib sampai Isya’. Dan sebelum semuanya berpencar sang amir menceritakan kepada mereka kisah-kisah untuk memberi pelajaran kepada mereka maka dia berkata : “Pernah pada suatu saat sebuah kelompok ke suatu daerah. Setelah mereka dibagi menjadi 2 kelompok berdiamlah kelompok pertama dalam masjid. Dan kelompok kedua keluar mengetuk pintu-pintu rumah. Setiap kali mereka mengetuk pintu, mereka tidak mendapati jawaban yang menyenangkan dan sambutan yang baik. Tetapi mereka terus mengetuk pintu-pintu rumah dan tetap saja tidak disambut dengan baik. Maka ada di antara mereka yang berkata : ‘Periksalah iman kalian, wahai teman-teman!’ Maka merekapun memeriksa iman mereka tapi mereka tidak mendapati cacat (!). Maka salah seorang mereka berkata : ‘Mungkin teman-teman kita yang kita tinggalkan di masjid lalai berdzikir kepada Allah.’ Maka mereka berkata : ‘Marilah kita lihat mereka!’ Maka ternyata mereka dapati teman-teman mereka yang ada di masjid lalai berdzikir kepada Allah. Saudaraku, apa yang terasa di dalam dirimu kalau engkau khuruj bersama mereka kemudian mereka menjadikanmu di halaqah masjid apakah Anda ketika mendengar kisah ini akan lalai dari dzikir kepada Allah. Atau engkau akan berusaha dengan keras agar Allah memberi taufiq kepada teman-temanmu yang di luar hingga mereka membawa hasil.”

Tidak diragukan lagi, inilah terjadi. Terlebih lagi jika si tablighi tadi menyandarkan perbuatannya itu dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa : [ “Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah dari beberapa rumah Allah (masjid), membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka kecuali akan turun sakinah (ketenangan) kepada mereka. Dan mereka akan diliputi rahmat, dinaungi
malaikat, dan disebut-sebut Allah pada hamba-hamba yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim 4/2074)

Maka menurut mereka, penghuni masjid seperti sumber listrik dan kelompok kedua seperti lampu. Bila bergerak sumber listrik mereka akan hidup. Dan kalau tidak bergerak lampunya akan mati. ] Apakah Anda pernah mendengar permisalan seperti ini dan apakah Anda pernah melihat cara berdalil seperti ini! (Quthbiyah oleh Abu Ibrahim halaman 4-12)
 
Kitab Rujukan Jamaah Tabligh Syaikh Tuwaijiri berkata : “Kitab yang paling top di kalangan tabligh adalah kitab Tablighin Nishshab yang dikarang oleh salah seorang tokoh mereka yang bernama Muhammad Zakaria Al Kandahlawi. Mereka sangat mengagungkan kitab ini sebagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah mengagungkan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab hadits lain.

Para tablighi (orang tabligh) menjadikan kitab ini sebagai rujukan dan pegangan bagi orang India dan Ajam yang mengikuti mereka. Di dalam kitab ini (Tablighin Nishshab) berisi kesyirikan-kesyirikan, bid’ah-bid’ah, khurafat-khurafat, dan hadits-hadits yang palsu dan lemah yang banyak sekali. Kitab ini sebenarnya adalah kitab yang jelek dan jahat serta sarat dengan fitnah dan kesesatan. Orang-orang tabligh menjadikannya sebagai rujukan untuk menyebarkan kebid’ahan-kebid’ahan dan kesesatan mereka, melariskannya, dan memperindahnya kepada orang-orang yang bodoh yang mereka (orang-orang tabligh -red) lebih sesat dari binatang ternak … .

Dan termasuk juga yang mereka perindah adalah dengan mewajibkan ziarah ke kubur Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah haji. Padahal dalam perkara itu hanya bersandar dengan hadits-hadits yang palsu. Dan orang tabligh memiliki kitab lain yang mereka jadikan sebagai pegangan dan rujukan para pengikut mereka dari kalangan Ajam, India, dan selainnya yaitu kitab yang bernama Hayatush Shahabah karya Muhammad Yusuf Al Kandahlawi. Kitab ini juga sarat dengan hadits-hadits yang palsu dan lemah. Dan ini termasuk kitab yang jahat, sesat, dan berisi fitnah.” (Lihat Al Qaulul Baligh halaman 11-12)

Sumber: assunnah.cjb.net

Minggu, 22 Januari 2012

SHOLAWAT YANG BUKAN SHOLAWAT

Sholawat Yang Bukan Sholawat

 0 00ShareNew

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Sholawat adalah Ibadah, karena merupakan perintah secara langsung dari Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Ahzaab (33) ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
Artinya:
Sesungguhnya Allooh dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi*]. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya**].”

*] Arti Sholawat:
- Allooh سبحانه وتعالى bersholawat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم, berarti Allooh سبحانه وتعالى memuji, menyanjung dan melimpahkan rahmat serta kasih sayang-Nya kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
- Malaikat bersholawat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم, berarti Malaikat mendo’akan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم agar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم diberi rahmat, ampunan dan kasih sayang Allooh سبحانه وتعالى.
- Orang-orang mukmin bersholawat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم, berarti Orang-orang mukmin mendo’akan agar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم diagungkan, dimuliakan serta ditinggikan derajatnya oleh Allooh سبحانه وتعالى.

**] Salam penghormatan : adalah dengan mengucapkan perkataan antara lain seperi “Assalamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warohmatulloohi wabarokaatuh(Selamat untukmu, Wahai Nabi, juga kasih-sayang dan berkah-Nya).

Maka Sholawat itu adalah Ibadah, dan karena merupakan Ibadah maka landasannya adalah terpaku pada Wahyu, harus berdasarkan dalil, tidak boleh mengarang sendiri.

Islam itu adalah sudah baku
. Kalau Islam tidak baku sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 3, maka bisa jadi setiap orang punya kreasi masing-masing, dimana hal ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap Syari’at Islam dari zaman ke zaman, akibat dari penambahan dan pengurangan disana-sini terhadap Syari’at Islam tersebut oleh para pelaku Bid’ah; sehingga Islam yang seyogyanya merupakan ajaran yang “mudah” menjadi dipersulit oleh para pelaku Bid’ah dengan berbagai kreasi penambahan dan pengurangan ataupun penggantian disana-sini oleh mereka itu tadi. Contohnya: Redaksi Sholawat yang sesuai tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang semula berkisar antara 3 baris kalimat saja, lalu ditambah-tambah dan diganti-ganti oleh para pelaku Bid’ah tersebut sehingga menjadi berpuluh-puluh kalimat.

Padahal Islam adalah ajaran yang mudah dan terpaku pada Wahyu. Jadi harus berdasarkan pada apa yang telah diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yang telah diberi izin dan diutus ke dunia oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk menyampaikan dan mengajarkan Risalah dari Alloohسبحانه وتعالى.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 3 :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
Artinya:
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu dien-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi dien bagimu…”

Imaam Maalik رحمه الله menjelaskan berkaitan dengan ayat tersebut adalah berikut ini:
مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول  اليوم أكملت لكم دينكم  فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
Artinya:
Barangsiapa yang mengada-ada suatu ke-Bid’ahan didalam Al Islam yang dianggapnya baik, maka sungguh dia telah mengklaim bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم telah mengkhianati Risaalah. Karena Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Maa’idah ayat 3, “Hari ini Aku telah sempurnakan dien untuk kalian.” Maka apa saja yang pada saat beliau hidup tidak menjadi ajaran dien, maka hari ini TIDAK BOLEH DIANGGAP DIEN.” (Lihat kitab Al-I’tishoom karya Imaam Al Syaatiby Jilid 1/149).

Oleh karena itu, dengan tegas pula Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa barangsiapa yang beramal dengan tidak berlandaskan pada Syari’at Islam, maka amalannya itu tertolak. Perhatikanlah Hadits Shohiih Riwayat Imaam Muslim no: 4590, ‘Aa’isyah رضي الله عنها bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:
Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan dien kami ini yang bukan termasuk darinya, maka ia (‘amalan itu) tertolak.”
Jadi sebenarnya demikian mudah kita memahami dienul Islam ini, karena semuanya sudah baku, sudah lengkap dan berpatokan kepada Wahyu. Tidak boleh ada orang yang mengatakan bahwa karena dirinya pandai, lantas ia boleh dengan seenak hatinya menambah-nambahkan sesuatu kepada Islam. Tidak boleh !

Maka, Sholawat pun demikian pula. Sholawat yang kita pelajari adalah bukan wewenang kita untuk mengarang-ngarang sendiri Redaksi / Kalimat Sholawat tersebut, melainkan itu merupakan wewenang Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang telah mencontohkan Redaksi / Kalimat Sholawat itu kepada ummatnya berdasarkan Wahyu dari Allooh سبحانه وتعالى. Kita sebagai kaum Muslimin, tinggal mengikuti saja apa yang sudah dicontohkan dan dituntunkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dari Redaksi / Kalimat Sholawat yang telah dituntunkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم saja, kita kaum Muslimin tidak semua hafal akan redaksi-redaksi yang ada. Lalu, mengapa kita harus melirik kepada Sholawat yang bukan berasal dari ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم?

Ada beberapa jenis Sholawat-Sholawat yang Bukan dari Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم, tetapi merupakan karangan orang, namun telah tersebar secara meluas di kalangan masyarakat, yang hendaknya kita ketahui untuk kita waspadai. Dan apabila ada diantara kaum Muslimin yang membacanya, maka hendaknya tinggalkanlah Sholawat-Sholawat yang bukan berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu. Dan hendaknya kaum Muslimin mencukupkan diri untuk hanya ber-Sholawat sesuai dengan Redaksi / Kalimat Sholawat sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم saja.
Dalam kajian kita kali ini insya Allooh akan dibahas antara lain 4 Sholawat yang BUKAN berasal dari Rosuulullooh صلىالله عليه وسلم, tetapi telah tersebar luas di kalangan masyarakat, yakni:
1.      Sholawat Nariyah
2.      Sholawat Al Fatih
3.      Sholawat Basyisiyah
4.      Sholawat Badriyah

Dalam Kitab berjudul Manhaju Al Firqotin Najiyyah karya Syaikh Jamiil Zainu, dikatakan bahwa:
Kita seringkali mendengar dari ucapan kalimat Sholawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم yang baru (Mubtada’ah, Bid’ah) yang tidak pernah kita dengar dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, tidak pula kita dengar dari Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, tidak kita dengar dari Taabi’iin, bahkan tidak kita dengar dari para Imaam yang Mujtahidiin sekalipun ucapan dan bacaan Sholawat seperti itu. Redaksi (Kalimat) Sholawat itu adalah hasil buatan dan karangan syaikh-syaikh / orang yang hidup di akhir zaman ini, namun telah tersebar dan masyhur diantara orang-orang awam dan bahkan ahlil ‘ilmu. Mereka membaca dan mengulang-ngulang sholawat seperti itu lebih sering daripada mereka membaca Sholawat yang teriwayatkan secara Shohiih dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Bahkan bisa jadi mereka itu meninggalkan riwayat tentang Sholawat yang Shohiih, namun justru menyebarkan sholawat-sholawat yang dinisbatkan kepada syaikh-syaikh mereka. Kalau saja kita hayati dan renungkan sholawat-sholawat tadi, maka akan kita dapati bahwa didalamnya (– didalam redaksi sholawat tersebut – pent.) adalah merupakan bentuk penyelisihan terhadap Petunjuk dan Pedoman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.”

Namun demikianlah kenyataan yang harus kita analisa keberadaannya, yakni bahwa Sholawat yang diriwayatkan secara Shohiih berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم justru ditinggalkan dan tidak dipelajari; sementara sholawat buatan syaikh-syaikh muta’akhiriin (zaman sekarang) justru malah dimasyhurkan, dilazimkan, dan diwiridkan dalam kesehariannya. Padahal Ibadah itu adalah sebagaimana yang Imaam Maalik رحمه الله jelaskan diatas, bahwa sesuatu yang bukan merupakan dien pada zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka sampai kapan pun juga tidak boleh kita anggap atau kita sebut sebagai dien.
Contoh Redaksi / Kalimat Sholawat yang TIDAK diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم antara lain:
اللهم صلِّ على محمد طِبِّ القلوب ودوائها ، وعافية الأبدان وشفائها ، ونور الأبصار وضيائها، وعلى آله وسلم
Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin, tibbil quluubi wadawaa-uhaa wa’afiat al abdan wa syifaa-uha, wan nuur al abshor wadhiyaa-iha wa’ala alihi wassallam.”

Artinya:
Ya Allooh, kasih-sayangilah atas Muhammad, dia adalah dokter dan obat hati, penyembuh badan dan obat badan, dan cahaya serta sinar pandangan, dan keselamatan atas keluarganya.”
Kalimat Sholawat diatas bukan berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, melainkan hasil karangan orang. Maka bila kita pelajari, makna dari Redaksi / Kalimat sholawat itu adalah MENYELISIHI firman Allooh سبحانه وتعالى. Karena sesungguhnya yang menjadi obat penyembuh, dan pembebas dari penyakit hati dan badan kita itu adalah Allooh سبحانه وتعالى; bukan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم! Karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak punya kemampuan untuk memberi manfaat pada diri beliau sendiri, apalagi pada orang lain; sebagaimana hal tersebut telah Allooh سبحانه وتعالى firmankan dalam QS. Yunus (10) ayat 49 :
قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرّاً وَلاَ نَفْعاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya:
Katakanlah (Muhammad): “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfa`atan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allooh.” Tiap-tiap ummat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan-(nya).”
Demikianlah firman Allooh سبحانه وتعالى yang menjelaskan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat ataupun menghilangkan madhorot / bahaya, baik pada diri Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri, apalagi terhadap orang lain. Lalu mengapa dikatakan dalam redaksi sholawat tersebut bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah merupakan obat penyembuh bagi hati, badan serta cahaya pandangan dan sebagainya itu?
Maka jelaslah bahwa Redaksi/ Kalimat Sholawat karangan orang tersebut telah menyelisihi firman Allooh سبحانه وتعالى, karena bersifat Kultus (Ghuluw), penyanjungan yang berlebih-lebihan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sehingga menempatkan Rosuulullooh diatas derajat yang semestinya yakni menyetarakan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dengan Allooh سبحانه وتعالى.  Na’uudzu billaahi min dzaalik.

Itulah Ghuluw, penyebab kebinasaan sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadits Riwayat Imaam Ibnu Maajah no: 3029, di-shohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari ‘Abdullooh bin ‘Abbaas رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
يا أيها الناس إياكم والغلو في الدين فإنه أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
Artinya:
Wahai manusia, Hindarilah oleh kalian sifat Ghuluw (kultus) dalam perkara dien. Binasanya orang-orang terdahulu sebelum kalian adalah karena Ghuluw.”

Juga dalam Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 3445, dari ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Artinya:
Janganlah kalian berlebihan terhadapku, sebagaimana orang Nashoro mengkultuskan ‘Isa Ibnu Maryam. Aku ini hanyalah hamba Allooh. Maka katakanlah untukku: ‘Hamba Allooh dan Rosuul-Nya’.”

Dari Hadits diatas, dapat diambil pelajaran bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri melarang ummatnya untuk mengkultuskan beliau صلى الله عليه وسلم. Bahkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم meng-haromkan kultus tersebut, karena hal itu menyerupai perilaku orang-orang Nashrani. Lalu bagaimana sebagian kaum Muslimin mengaku-ngaku dirinya mencintai Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tetapi malah mengerjakan pekerjaan yang justru bertentangan bahkan dibenci oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Sungguh ironis kenyataan ini.

Perhatikanlah betapa, redaksi/ kalimat sholawat karangan orang tersebut justru telah melanggar paling tidak 2 perkara besar, yakni:

-  Mengucapkan redaksi/ kalimat sholawat yang tidak diajarkan oleh Rosuululloohصلى الله عليه وسلم, berarti berbuat ke-Bid’ahan

- Mengarang redaksi/ kalimat sholawat yang justru bertentangan dengan Risaalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى.

Kemudian Syaikh Jamiil Zainu mengatakan, “Aku melihat suatu Kitab tentang keutamaan sholawat atas Rosuul, yang ditulis oleh seorang Sufi terkenal dari Libanon, dimana redaksi sholawatnya adalah sebagai berikut:
اللهم صلِّ على محمد حتى تجعلَ منه الأحدِيَّة والقيُّومية
Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin, hatta taja’ala min hul ahadiyyata wal qoyyumiyyah.”

Artinya:
Ya Allooh, limpahkanlah sholawat atas Nabi Muhammad, sehingga Engkau jadikan dari Muhammad ini ke-Esa-an, sehingga Muhammad itu berdiri sendiri.”

Kalimat/ Redaksi Sholawat itu jelas-jelas menyelisihi firman Allooh سبحانه وتعالى. Karena ke-Esa-an itu hanyalah milik Allooh سبحانه وتعالى (QS. Al Ikhlas (112) ayat 1). “Al Qoyyum” (berdiri sendiri) adalah merupakan sifat Allooh سبحانه وتعالى. Mengapa apa yang menjadi sifat Allooh سبحانه وتعالى, dijadikan sifat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم? Bukankah Allooh سبحانه وتعالى tidak bisa dan tidak boleh disetarakan dengan makhluk-Nya? Bukankah hal ini jelas-jelas pula bertentangan dengan petunjuk Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri, yang telah melarang ummatnya untuk mengkultuskan dirinya?
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Ikhlas (112) ayat 1:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Artinya:
Katakanlah (Muhammad): “Dia-lah Allooh, Yang Maha Esa.”
Juga firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 255 :
اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Artinya:
Allooh, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi (berdiri sendiri) terus menerus mengurus makhluk-Nya…”

Kemudian ada pula suatu do’a pagi dan petang karya seorang syaikh yang terkenal di Syria, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Ad’iyaatush shobaahi wal masaa’i, dimana redaksi/ kalimat do’a tersebut adalah sebagai berikut:
اللهم صلِّ على محمد الذي خَلقتَ من نوره كل شيء
Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin alladzi kholaqta minnuurihi kulla syai’.”

Artinya:
Ya Allooh, limpahkanlah sholawat atas Muhammad, yang Engkau ciptakan dari cahaya Muhammad itu segala sesuatu.”

Maksudnya, dari Nur Muhammad itu diciptakan segala sesuatu. Syaikh Jamiil Zainu membantah sholawat karangan orang Syria tersebut dengan penjelasannya sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan segala sesuatu itu bisa meliputi Adam عليه السلام, Iblis, kera, babi dan seterusnya. Apakah mungkin ada orang yang berakal sehat mengatakan bahwa itu semua diciptakan dari Nur Muhammad صلى الله عليه وسلم? Syaithoon telah mengetahui tentang penciptaannya dan penciptaan Adam عليه السلام, ketika Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Al Qur’an Al-A’roof (7) ayat 12 :
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
Artinya:
Allooh berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku (Allooh) menyuruhmu?”
Menjawab iblis “Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah.”
Maka jelaslah bahwa sholawat karangan syaikh orang Suriah tersebut tertolak dan tidak dibenarkan karena kalimatnya adalah bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى dan menunjukkan kebathiilan.
Adapun kalimat sholawat berikut ini yang juga merupakan hasil karangan orang dan tidak sesuai dengan tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah :
الصلاة السلام عليكم يا رسول الله ضاقت حيلتي فأدركني يا حبيب الله
Ashsholaatu wassallamu ‘alaikum ya Rosuulullooh,dhooqot hiilatii fa adriknii habiballooh.”

Artinya:
Sholawat dan salam untukmu ya Rosuulullooh, menyempit seluruh daya-upayaku, karena itu wahai Kekasih Allooh, berikan kepadaku kemampuan untuk mengatasinya.”
Redaksi/ Kalimat Sholawat tersebut mengandung kesyirikan, karena telah menyelisihi firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. An Naml (27) ayat 62:
أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاء الْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَّعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
Artinya:
Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allooh ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).

Maka, kalau diyakini oleh orang yang membaca sholawat yang seperti itu, bahwa ada seseorang (bahkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sekalipun) yang bisa memperkenankan do’a dan bisa menghilangkan kesusahan selain daripada Allooh سبحانه وتعالى; maka orang tersebut berarti telah jatuh pada kesyirikan.

Juga redaksi sholawat seperti itu telah bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al An’aam (6) ayat 17 :
وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدُيرٌ
Artinya:
Jika Allooh menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”
Jadi, kalau diyakini bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bisa memberikan kemampuan berupaya bagi manusia, maka jelas telah bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى diatas, dan redaksi sholawat seperti itu mengandung kesyirikan, dan hendaknya dijauhi sikap ghuluw atau sanjungan yang berlebih-lebihan pada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tersebut.
Bahkan dalam Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 3524, dari Anas bin Maalik رضي الله عنه. Imaam At Turmudzy رحمه الله berkata Hadits ini Ghorib, dan Hadits ini di-Hasankan oleh Syaikh Nashirudddin Al Albaany dalam Kitab At Tawassul hal: 31, dijelaskan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri, apabila beliau صلى الله عليه وسلم ditimpa kegelisahan dan kegundahan maka beliau berdo’a:
يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث
Ya Hayyu, ya Qoyyum, birohmatika astaghits.”
(Ya Allooh Yang Maha Hidup, dan Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan segala kasih-sayang-Mu aku memohon pertolongan-Mu).”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri meminta kepada Allooh سبحانه وتعالى. Maka sungguh aneh apabila ada orang yang meminta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم untuk dihindarkan dari bahaya/ kesulitan.
Hal ini menunjukkan bahwa sholawat yang demikian itu tidak benar, bukan saja mengada-ada, tetapi malah mengandung kesyirikan.
Dalam Kitab berjudul Dalaa’ilul Khoiroot (Petunjuk-Petunjuk Kebaikan), Kitab ini judulnya kelihatannya bagus, tetapi sungguh sayang isi Kitab tersebut mengandung kesyirikan, dimana didalam Kitab tersebut antara lain diajarkan sholawat seperti ini:
اللهم صلّ على محمد ما سجعتِ الحمائم وفعت التمائم
Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin maa saja’atil hamaa-im wafa’atit tamaa-im.”

Artinya:
“Ya Allooh, sampaikanlah sholawat atas Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, selama merpati bersiul dan tamiimah bergantung.”
Tamaa-im” adalah Tamiimah, yakni semacam jimat berupa bungkusan kain yang dijahit, yang didalamnya berisi tulisan-tulisan / isim-isim dari seorang Kyai atau Ajeungan, yang lalu dikalungkan di leher seseorang (biasanya anak kecil), dan dipercayai oleh mereka sebagai penangkal bagi yang memakainya dari berbagai penyakit dan sebagainya.
Ketahuilah wahai kaum Muslimin, kalung jimat yang seperti itu adalah tidak ada manfaat bagi yang mengalungkannya ataupun bagi yang memakai kalung tersebut. Bahkan itu adalah amalan yang dikerjakan oleh orang-orang musyrikin.

Dalam Hadits Shohiih Riwayat Imaam Ahmad no: 17241, dari ‘Uqbah bin ‘Aamir Al JuHaaniy رضي الله عنه, dan Syaikh Syu’aib Al Arnaa’uth mengatakan sanadnya Kuat dan Syaikh Nashiruddin Al Albaany men-shohiihkannya dalam Silsilah Hadiits Shohiih no: 492, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
Artinya:
Barangsiapa yang menggantungkan (berkalung) tamiimah, maka ia telah musyrik.”

Banyak pula kita dapati di kalangan sebagian masyarakat di Indonesia, yang mereka itu masih saja memiliki suatu kepercayaan bahwa wanita yang hamil hendaknya menggantungkan gunting kecil, peniti dan sejenisnya di tubuhnya ketika ia hendak keluar rumah; apalagi pada kehamilan di bulan ke tujuh dan sebagainya. Maka sesungguhnya itu adalah kesyirikan. Demikian pula, para pedagang yang suka menyelipkan bungkusan kertas atau kain di pecinya sebagai suatu jimat, maka itupun juga tergolong kesyirikan. Ada lagi yang menaruh lipatan isim di laci uangnya dengan niatan sebagai penglaris atau agar aman dan sebagainya. Semua itu merupakan Tamiimah dan itu adalah Syirik.

Lalu ada pula orang yang memakai akar bahar di lengannya, dengan meyakini bahwa akar bahar itu bisa menolak bala’, maka itupun termasuk Tamiimah, dan orangnya adalah tergolong musyrik. Oleh karena itu hendaknya kaum Muslimin berhati-hati. Apabila sudah menyangkut perkara ‘Aqiidah, hendaknya kita tidak boleh berbasa-basi dalam urusan ini.

Demikian pula dalam mengucapkan kalimat / redaksi sholawat. Betapa banyak kaum Muslimin yang mengucapkan kalimat sholawat tanpa mengetahui artinya, hanya karena ikut-ikutan saja, padahal bisa jadi kalimat-kalimat sholawat karangan manusia yang banyak beredar di masyarakat tersebut tidak lepas dari unsur kesyirikan, ke-Bid’ahan maupun kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Kemudian Syaikh Jamiil Zainu menjelaskan bahwa didalam Kitab Dalaa’ilul Khoiroot tersebut, terdapat pula sholawat-sholawat yang menyelisihi Hadits dan mengandung kesyirikan, antara lain adalah:
اللهم صل على محمد حتى لا يبقى من الصلاة شيء وارحم محمدا حتى لا يبقى من الرحمة شيء
Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin hatta laa yabqo minashsholaati syai’un wa arham Muhammadan hatta layabqo minarrohmati syai’un.”

Artinya:
Ya Allooh, limpahkanlah sholawat atas Muhammad, sehingga tidak tersisa sholawat sedikit pun dan kasih-sayangilah Muhammad sehingga tidak tersisa kasih-sayang itu sesuatupun sedikitpun.”

Redaksi Sholawat yang seperti ini pun tidak benar, karena menjadikan sholawat dan rohmah berakhir dan habis. Jelas hal itu bertentangan dengan Sifat dan Ilmu Allooh سبحانه وتعالى yang tidak akan pernah habis, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Kahfi (18) ayat 109 :
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
Artinya:
Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Robb-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Robb-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

Jadi redaksi sholawat itu bersifat ghuluw (berlebih-lebihan) dan melampaui batas, karena mengatakan bahwa sholawat dan rohmah (kasih sayang) itu berakhir dan habis, yang jelas menyelisihi QS. Al Kahfi (18) ayat 109 diatas.
Sholawat Basyisyiyah” yang mengandung ke-baathilan :
Sholawat ini dibuat oleh Ibnu Basyis, dan redaksinya berbunyi:
اللهم انشلني من أوحال التوحيد وأغرقني في بحر الوحدة وزُجَّ بي في الأحدية حتى لا أرى ولا أسمع ولا أحس إلا بها
Alloohumma ansyulnii min auhaalittauhiid wa aghriqnii fi bahril wihdati wasujjabii fil ahadi yati hatta la a’ro walaa asma’u walaa uhissu illaa biHaa.”

Artinya:
Ya Allooh, belenggulah aku dalam ikatan tauhiid dan tenggelamkan aku dalam lautan kesendirian dan sembunyikanlah aku dalam ke-Esaan, sehingga aku tidak melihat, tidak mendengar dan tidak merasa kecuali dengannya.”

Redaksi sholawat tersebut juga termasuk kultus, sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Syaikh Jamil Zainu sebagai berikut:
Orang yang mengarang sholawat tersebut termasuk orang yang meyakini adanya Wihdatul Wujud bahwa Allooh سبحانه وتعالى dan Mahkhluk bersatu dalam satu nyawa. Keyakinan itu adalah kotor (baathil) (– kita berdo’a pada Allooh agar terhindar darinya –) karena meminta untuk ditenggelamkan dalam lautan Wihdatul Wujud, yakni agar melihat Tuhannya dalam segala sesuatu.

Orang-orang Wihdatul Wujud (mereka bukan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah), meyakini bahwa anjing dan babi itu adalah jelmaan tuhan. Allooh سبحانه وتعالى itu yang menjadi Rahib didalam gereja, sedangkan anjing dan babi adalah tuhan juga. Orang-orang Nasrani menjadikan itu adalah ‘Isa dan mereka menjadikan segala sesuatu sebagai sekutu bagi Allooh سبحانه وتعالى.

Syaikh Jamiil Zainu
mengingatkan agar kaum Muslimin berhati-hati dan jangan menggunakan sholawat-sholawat yang baathil seperti telah dijelaskan diatas.

Sholawat Al Fatih” yang Bid’ah
:
Sholawat ini juga sering digunakan orang dan sudah tersebar luas di masyarakat, padahal redaksi/ kalimatnya adalah tidak sesuai dengan tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.  Perhatikanlah redaksi sholawat Al Fatih berikut ini, yang hendaknya kaum Muslimin mewaspadainya dan menjauhinya :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَااُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَ نَاصِرِالْحَقِّ ‍ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلَى صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ
(Alloohumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadinil faatihi lima ughliqo wal khootimi lima sabaqo naashiril haqqi bil haqqi wal Haadi ilaa shiroothikal mustaqiimi wa ‘alaa alihi haqqo qodrihi wa miqdaarihil ‘adziimi)

Artinya:
Ya Allooh, limpahkanlah sholawat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pembuka sesuatu yang tertutup, dan penutup segala sesuatu sebelumnya (pamungkas), penolong kebenaran dengan kebenaran, pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada keluarganya yaitu rahmat yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.”
Sholawat Al Fatih ini telah tersebar di masyarakat dan biasa dipakai oleh Imaam-Imaam sebelum sholat di masjid-masjid dan didzikirkan dengan suara keras bersama-sama (koor).

Menurut Syaikh Jamiil Zainu, bahwa Sholawat Al Fatih ini adalah diantara Dzikir yang Bid’ah, dipakai sebagai ibadah kepada Allooh سبحانه وتعالى oleh pengikut-pengikut daripada Thoriqoh Tijaniyyah. Thoriqoh Tijaniyyah tersebut bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Perlu diketahui, bahwa Sufi bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Walaupun Sufi itu banyak sekte-nya tetapi mereka itu bukan tergolong Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, meskipun mereka itu mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Mereka itu sebenarnya adalah pengikut Tijaniyyah.

Lalu, kata Syaikh Jamiil Zainu, “Adapun ucapan sholawat bersama-sama dalam satu suara (serempak) dengan suara yang nyaring, maka itu termasuk Bid’ah. Tidak ada contoh dari Nabi صلى الله عليه وسلم maupun Shohabat. Kita ketahui bersama bahwa Ibadah itu adalah dibangun diatas apa yang berasal dari Syari’at yang bijak dari Muhammad صلى الله عليه وسلم. Maka, Wajib bagi kita untuk mengikuti Pendahulu kita dari kalangan orang-orang yang shoolih dengan amalan mereka yang mereka kerjakan, dan menghentikan diri dari apa yang mereka tinggalkan. Benarlah orang yang mengatakan bahwa segala kebaikan berada dalam mengikuti Pendahulu Ummat yang shoolih, dan segala kejahatan adalah didalam ber-Bid’ah terhadap orang-orang belakang (– orang-orang zaman sekarang / muta’akhiriin –).”

Keutamaan Sholawat Al Fatih, yang diyakini oleh para pengikutnya (sebagaimana dinukil dari “Ensiklopedi tentang Agama, Sekte dan Pemikiran-Pemikiran masa Kini”, yang ditulis oleh Organisasi Pemuda Islam Internasional), adalah sebagai berikut:

1. Menurut kata mereka, sholawat tersebut diperoleh melalui mimpi dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memberitahu bahwa barangsiapa yang membaca Sholawat Al Fatih satu kali maka sama dengan membaca Al Qur’an enam kali khatam.

2. Menurut kata mereka, (lagi-lagi kata mereka adalah melalui mimpi), bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memberitahukan untuk kedua kalinya bahwa membaca Sholawat Al Fatih satu kali adalah sama dengan membaca Al Qur’an enam ribu kali khatam.

Ahmad At Tiijaanii
, seorang dari Al Jazair yang merupakan perintis Thoriqoh Tiijaaniiyyah, mengatakan bahwa dirinya telah bertemu dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam mimpinya, lalu Rosuulullooh mengajarkan hal tersebut diatas padanya.
(– Memang Jin dan Syaithoon dapat memberikan talbis (tipuan) terhadap manusia dengan cara seperti itu –)

3.   Kalau orang ingin mendapatkan keutamaan dan fadhilah yang sedemikian besarnya tersebut  (sampai 6000 kali khatam bacaan Al Qur’an), maka harus pernah belajar dari seorang Sufi Tiijaanii, karena orang tersebut mendapatkan dari gurunya, dan gurunya juga mendapatkan dari guru sebelumnya dan seterusnya, sampai kepada Ahmad At Tiijaanii. Kalau hanya belajar sendiri (autodidak), maka orang tersebut tidak akan mendapatkan keutamaan seperti ini, demikian menurut mereka. Dan hal ini merupakan politis daripada Thoriqoh Tiijaaniiyyah, dimana orang diharuskan untuk terikat kepada Thoriqoh mereka.

4.   Menurut mereka, Sholawat Al Fatih tersebut adalah bagian dari Firman Allooh سبحانه وتعالى, yang sama statusnya dengan Hadits Qudsi. Lihat hal ini dalam Kitab mereka yakni Ad Durah Al Fariidah.

5.   Menurut mereka, siapa yang membaca Sholawat Al Fatih sepuluh kali, maka ia akan mendapat pahala lebih banyak dibandingkan orang yang tahu tentang Allooh سبحانه وتعالى seribu-ribu kali (satu juta kali).

6.   Menurut mereka, siapa yang membaca Sholawat Al Fatih satu kali, maka dosa-dosanya akan dihapus dan kebaikannya akan ditimbang sama dengan timbangan enam ribu kali tasbih, do’a dan dzikir yang terjadi di alam semesta ini.

Walaupun demikian dahsyatnya keutamaan Sholawat Al Fatih yang digembar-gemborkan oleh Thoriqoh Sufi Tiijaaniiyyah, hendaknya kaum Muslimin tidak terkecoh oleh janji-janji muluk-muluk tersebut, yang tidak ada landasannya secara Shohiih dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Karena hendaknya diingat kaidah yang telah disampaikan dalam Hadits melalui ‘Aa’isyah رضي الله عنها diatas, bahwa “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan dien kami ini yang bukan termasuk darinya, maka ia (‘amalan itu) tertolak.”
Jadi, walaupun seindah dan sedahsyat apa pun janji-janji keutamaan Sholawat Al Fatih, amalan tersebut tetap saja tertolak karena tidak berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم secara shohiih.

Berikut ini, disampaikan Fatwa dari Lajnah Ad Daa’imah, Majlis Ulama Saudi Arabia berkenaan dengan sesatnya Sufi Tijaniyyah (– lihat Fatwa-Fatwa Lajnah Daa’imah terlampir –), bahkan terhukumi Kufur dan Sesat, adalah karena beberapa perkara:

1. Tijaaniiyyah adalah Thoriqoh Sufiyyah yang munkar yang tidak sesuai dengan petunjuk Al Islam. Banyak kesyirikan yang mereka yakini dan keluar dari ajaran Islam. Ahmad bin Muhammad At Tiijaanii pendiri Thoriqoh Sufiyyah ini telah berlaku kultus terhadap anak buah dan pengikutnya, terutama dalam perkara-perkara yang berkenaan dengan karakteristik Risaalah ini, bahkan meng-klaim sebagai Tuhan dan diikuti oleh para pendukungnya (– Ini adalah Ghuluw –)

2. Dia meyakini adanya Wihdatul Wujud dan mengatakan bahwa Allooh سبحانه وتعالى memberikan pemberian yang besar kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم lalu diberikan kepada para nabi dan lalu kepadanya (Ahmad Tijaani).

3. Thoriiqoh At Tijaani mempunyai Kitab yang berjudul Jawaahirul Ma’ani, yang memuat hadits-haditsnya Ahmad Tiijaanii, yang dihimpun oleh muridnya yang bernama Ali Kharazin dalam Kitabnya yang berjudul Rimaahizbi Ar Rohiim.

4. Ahmad Tiijaanii nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Al Muhtar bin Ahmad bin Muhammad Salim At Tiijaanii. Hidup di tahun 1737 – 1815 Masehi (abad ke-19 masehi). Jadi baru kira-kira 115 tahun yang lalu, dan dia adalah seorang Al Jazair.
Jadi, Sholawat Al Fatih (Sholawat Tiijaaniiyyah) adalah sholawat hasil karangan orang abad ke-19 Masehi. Tidak layak bagi kaum Muslimin untuk mengikuti ajarannya, baik thoriqot-nya maupun sholawat-nya karena sholawat tersebut memang bukan berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan banyaknya penyimpangan serta kesesatan dalam Thoriiqot tersebut.

Sholawat Nariyyah” yang mengandung kesyirikan
:

Redaksi Sholawat Nariyyah yang berbunyi:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتتفرج به الكرب وتقضى به الحوائج ، وتنال به الرغائب ، وحسن الخواتيم ، ويستسقى الغمام بوجهه الكريم ، وعلى آله وصحبه في كل لمحة ونفس بعدد كل معلوم لك
Allohumma sholli ’sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taaamman ‘ala sayyidina Muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil kurobu wa tuqdhoo bihil hawaaiju wa tunaalu bihir roghooibu wa husnul khowaatimu wa yustasqol ghomaamu biwajhihil kariem wa ‘ala aalihi wa shohbihi fie kulli lamhatin wa nafasim bi’adadi kulli ma’lumin laka.”

Artinya:
Ya Allooh, berilah sholawat dengan sholawat yang sempurna dan berilah salam dengan salam yang sempurna atas penghulu kami Muhammad yang dengannya terlepas segala ikatan masalah, lenyap segala kesedihan, terpenuhi segala kebutuhan, tercapai segala kesenangan, pemberi husnul khootimah, pemberi awan hujan dengan wajahnya yang mulia, juga atas keluarga dan sahabat-sahabatnya dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas sebanyak hitungan segala yang ada dalam pengetahuan-Mu.”
Itulah redaksi/ kalimat Sholawat Nariyyah yang juga sudah tersebar di masyarakat Indonesia. Di India, sholawat Nariyyah ini dibaca orang sebanyak 4.444 (empat ribu empat ratus empat puluh empat) kali, apabila terjadi musibah atau kesulitan di suatu rumah. Dan menurut kepercayaan mereka, bahwa orang yang membacanya akan mendapatkan sejenis karomah.
Hendaknya kaum Muslimin tidak terkecoh dengan janji-janji keutamaan Sholawat Nariyyah sebagaimana yang mereka katakan itu. Dan perhatikanlah bahwa diantara kalimat/ redaksi Sholawat Nariyyah itu justru terdapat unsur kesyirikan, oleh karena itu sangat berbahaya bila diamalkan oleh kaum Muslimin.

Berikut ini adalah Fatwa dari Para Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang melarang kaum Muslimin untuk membaca sholawat Nariyyah tersebut, antara lain:

1. 
Kalimat yang tercantum dalam Sholawat Nariyyah tersebut jelas merupakan Bid’ah dan Syirik: “….penghulu kami Muhammad yang dengannya terlepas segala ikatan masalah, lenyap segala kesedihan, terpenuhi segala kebutuhan, tercapai segala kesenangan, pemberi husnul khootimah, pemberi awan hujan dengan wajahnya yang mulia…”
Padahal sebagaimana yang telah dijelaskan dalam banyak firman Allooh سبحانه وتعالى diatas antara lain dalam QS. Yunus (10) ayat 49 dan QS. Al An’aam (6) ayat 17, bahwa yang dapat melepaskan manusia dari berbagai masalah adalah Allooh سبحانه وتعالى, dan bukan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu redaksi Sholawat Nariyyah adalah tidak sesuai dengan ‘Aqiidah, dan bahkan orang yang mengamalkan sholawat Nariyyah tersebut lalu ia meyakini bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lah yang dapat memberikan maslahat dan menghilangkan madhorot bagi dirinya, maka ia telah jatuh pada kesyirikan.
Dengan demikian, pembaca sholawat Nariyyah akan melakukan berbagai kebaathilan, yakni di satu sisi adalah menyalahi / menyelisihi Syar’i, dan disisi lain adalah melakukan kesyirikan serta kultus terhadap Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

2. Dinukil dari perkataan Ibnu Rojab Al Hanbali رحمه الله, kata beliau bahwa Hadits “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan dien kami ini yang bukan termasuk darinya, maka ia (‘amalan itu) tertolak.” – adalah termasuk pokok-pokok Islam didalamnya, dan sebagai suatu standar bahwa amalan apapun dari seseorang itu haruslah dengan niat karena Allooh سبحانه وتعالى. Jadi orang yang beramal itu tidak akan mendapatkan pahala, kalau ia tidak meniatkannya hanya semata-mata untuk mendapatkan pahala dari Allooh سبحانه وتعالى. Sebagaimana akan gagal pula amalannya, jika amalannya tersebut tidak bersumber dari tuntunan / ajaran Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Maka kata beliau رحمه الله bahwa setiap yang baru dalam dien dan tidak diizinkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم maka ia bukanlah bagian dari dien.

3. Demikian pula Imaam  An Nawawy رحمه الله mengatakan bahwa dalam Hadits “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan dien kami ini yang bukan termasuk darinya, maka ia (‘amalan itu) tertolak” – terdapat suatu kaidah yang besar dari kaidah-kaidah Islam. Dan ia merupakan kalimat yang sederhana / simpel dan jelas dari Rosuululloohصلى الله عليه وسلم yang merupakan penolakan terhadap Bid’ah dan perkara-perkara baru dalam dien. Sedangkan orang yang membangkang dengan melakukan amalan-amalan yang Bid’ah, maka akan berakibat pada tertolaknya amalan-amalannya tersebut.

4. Fatwa dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz رحمه الله menyatakan bahwa, “Sholawat Nariyyah bukan berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.”
Bahkan dikatakan bahwa, Sholawat Nariyyah adalah termasuk do’a-do’a dari orang-orang Sufi, bukan bagian dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, oleh karena itu sholawat tersebut termasuk yang menyesatkan kaum Mu’miniin, dan hendaknya kita hindari.

5. Fatwa dari Syaikh ‘Abdurrohmaan bin Nashir Al Barrok, “Orang yang berdo’a dengan bertawassul dengan sholawat tersebut (sholawat Nariyyah), maka hukumnya Harom, karena lafadznya antara Syirik dan Bid’ah.”

Jadi, sholawat Nariyyah yang didalamnya mengandung kesyirikan dank ke-Bid’ahan adalah Harom. Orang-orang Sufi yang terkenal suka mengada-ada atau berbuat Bid’ah, menjadikan seakan-akan sholawat tersebut memiliki keutamaan-keutamaan yang Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم tidak pernah menjelaskan atau mengajarkannya seperti itu. Oleh karena itu, terhitung sebagai perkara yang munkar. Bahkan namanya saja adalah Sholawat Nariyyah, yang artinya adalah Sholawat Neraka.

Sholawat Badriyyah” yang mengandung kebaathilan
:

Adapun Sholawat Badriyyah adalah sholawat lokal, karangan kyai Indonesia, tidak dikenal di dunia Internasional; karena ia dibuat oleh Kyai Ali Mansyur yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur di era tahun 1960-an.

Di tahun 1960-an, kaum Muslimin di Indonesia mengalami kegelapan akibat pengaruh dan fitnah dari Partai Komunis Indonesia (PKI), maka Kyai Ali Mansyur (– ia lulusan Pesantren Lirboyo, Kediri –) yang dikala itu menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, Jawa Timur dan sebagai Pengurus Cabang NU Banyuwangi, menyusun syair Sholawat Badriyyah, yang kemudian beredar luas di masyarakat Indonesia sampai sekarang.

Berdasarkan cerita, suatu pagi orang-orang yang ada di sekitar rumahnya berdatangan ke rumah Kyai Ali Mansyur dengan membawa beras. Katanya, mereka bermimpi untuk membantu Kyai Ali Mansyur karena ia sedang mendapatkan “sesuatu”, yang mana Kyai Ali Mansyur bermimpi didatangi orang-orang berjubah putih. Kemudian pada siang harinya Kyai Ali Mansyur langsung pergi menemui Habib Hadi Al Haddar Banyuwangi dan menceritakan kisah mimpinya itu. Habib Hadi menyatakan bahwa orang-orang yang berjubah putih itu adalah ruh para pejuang Badar. Katanya, mereka adalah arwah Shohabat yang ikut dalam perang Badar. Sehingga kemudian sholawatnya disebut dengan Sholawat Badar atau Sholawat Badriyyah.
Bahkan ada cerita lagi sesudahnya, bahwa ada seorang Habib yang datang dari Jakarta, yakni Habib Ali (dari Kwitang), padahal ketika itu Sholawat Badar belum dipublikasikan, akan tetapi Habib Ali sudah mengetahuinya. Habib Ali Kwitang lalu meminta agar Kyai Ali Mansyur membacakan syair Sholawat Badriyyah itu. Semua yang hadir terharu dan menangis ketika mendengar syair sholawat tersebut dibacakan.

Selanjutnya tidak berselang lama dari kejadian tersebut, Habib Ali mengundang para Kyai dan Habaib ke Kwitang, Jakarta untuk suatu pertemuan. Salah satu yang diundang adalah Kyai Ali Mansyur. Lalu dalam pertemuan tersebut, sekali lagi Kyai Ali Mansyur diminta untuk membacakan syair Sholawat Badriyyah hasil gubahannya itu. Maka kemudian Sholawat Badriyyah pun dikenal secara meluas oleh masyarakat.

Demikianlah sekelumit sejarah Sholawat Badriyyah, yang sebenarnya merupakan sholawat lokal (hanya di Indonesia), yang mendapatkan dukungan dari para Habaib. Dan kisah ini dimuat dalam buku Antologi NU Sejarah Istilah Amaliyah Uswah, karangan Haji Sulaiman Fadeli.

Adapun naskah redaksi Sholawat Badriyyah adalah sebagai berikut:

Sholaatullooh Salaamullooh ‘Alaa Thooha Rosuulillaah
Sholaatullooh Salaamullooh ‘Alaa Yaa Siin Habiibillaah
Tawassalnaa bi Bismillaah Wa bil Haadi Rosuulillaah
Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
llaahi Sallimil Ummah Minal Aafaati Wanniqmah
Wamin Hammin Wamin Ghummah Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
Ilaahi Najjinaa Waksyif Jamii’a Adziyyatin Washrif
Makaa idal ‘idaa wal thuf Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
llaahi Naffisil Kurbaa Minal ‘Aashiina Wal ‘Athbaa
Wakulli Baliyyatin Wawabaa Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
Wakam Min Rohmatin  Hasholat Wakam Min Dzillatin Fasholat
Wakam Min Ni’matin Washolat Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
Wakam Aghnaita Dzal ‘Umri Wakam Aulaita Dzal Faqri
Wakam’Aafaita Dzal Wizri Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
Laqad Dhooqot ‘Alal Qolbi Jamii’ul Ardhi Ma’ Rohbi
Fa Anji Minal Balaash Sho’bi  Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
Atainaa Thoolibir Rifdi Wajullil Khoiri Was Sa’di
Fawassi’ Minhatal Aidii Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
Falaa Tardud Ma ‘al Khoibah Balij ‘Alnaa’Alath Thoibah
Ayaa Dzal ‘izzi Wal Haibah Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
 Wa in Tardud Faman Ya-Tii Binaili Jamii’i Haajaati
Ayaa jalail mulimmaati Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
llaahighfir Wa Akrimnaa Binaili Mathoolibin Minnaa
Wadaf’ i Masaa-Atin ‘Annaa Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
llaahii Anta Dzuu Luthfin Wadzuu Fadh-lin Wadzuu ‘Athfin
Wakam Min Kurbatin Tanfii Bi Ahlil Badri Yaa Allooh
Washolli ‘Alan Nabil Barri Bilaa ‘Addin Walaa Hashri
Wa Aali Saadatin Ghurri Bi Ahlil Badri Yaa Allooh.”

Artinya:
Rahmat dan keselamatan Allooh,
Semoga tetap untuk Nabi Thooha utusan Allooh,
Rahmat dan keselamatan Allooh,
Semoga tetap untuk Nabi Yasin kekasih Allooh.
Kami berwasilah dengan berkah “Basmalah”,
Dan dengan Nabi yang menunjukkan lagi utusan Allooh,
Dan seluruh orang yang berjuang karena Allooh,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Ya Allooh, semoga Engkau menyelamatkan ummat,
Dari bencana dan siksa,
Dan dari susah dan kesempitan,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badri ya Allooh.
Ya Allooh semoga Engkau selamatkan kami dari semua yang menyakitkan,
Dan semoga Engkau (Allooh) meniauhkan tipu dan daya musuh-musuh,
Dan semoga Engkau mengasihi kami,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badar Ya Allooh.
Ya Allooh, semoga Engkau menghilangkan beberapa kesusahan,
Dari orang-orang yang berma’siat dan semua kerusakan,
Dan semoga Engkau hilangkan semua bencana dan wabah penyakit,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Maka sudah beberapa rahmat yang telah berhasil,
Dan sudah beberapa dari kehinaan yang dihilangkan,
Dan sudah banyak dari ni’mat yang telah sampai,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Sudah berapa kali Engkau (Allooh) memberi kekayaan orang yang makmur,
Dan berapa kali Engkau (Allooh) memberi nikmat kepada orang yang fakir,
Dan berapa kali Engkau (Allooh) mengampuni orang yang berdosa,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Sungguh hati manusia merasa sempit di atas tanah yang luas ini,
karena banyakhnya marabahaya yang mengerikan,
Dan malapetaka yang menghancurkan,
semoga Allooh menyelamatkan kami dari bencana yang mengerikan,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Kami datang dengan memohon pemberian/ pertolongan,
Dan memohon agungnya kebaikan dan keuntungan,
Semoga Allooh meluaskan anugerah (keni’matan) yang melimpah-limpah,
Dari sebab berkahnya ahli Badar ya Allooh.
Maka janganlah Engkau (Allooh) menolak kami menjadi rugi besar,
Bahkan jadikanlah diri kami dapat beramal baik, dan selalu bersuka ria.
Wahai Dzat yang punya keagungan (kemenangan) dan prabowo,
Dengan sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Jika Engkau (Allooh) terpaksa menolak hamba, maka kepada siapakah
kami akan datang mohon dengan mendapat semua hajat kami,
Wahai Dzat yang menghilangkan beberapa bencana dunia dan akhirat,
hilangkan bencana-bencana hamba,
lantaran berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Ya Allooh, semoga Engkau mengampuni kami dan memuliakan diri kami,
dengan mendapat hasil beberapa permohonan kami,
Dan menolak keburukan-keburukan dari kami,
Dengan mendapat berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Ya Allooh, Engkau lah yang punya belas kasihan,
dan punya keutamaan (anugerah) lagi kasih sayang,
Sudah banyaklah kesusahan yang hilang,
Dari sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.
Dan semoga Engkau (Allooh) melimpahkan rahmat kepada Nabi yang senantiasa berbakti kepada-Nya,
dengan limpahan rahmat dan keselamatan yang tak terbilang dan tak terhitung,
Dan semoga tetap atas para keluarga Nabi dan para Sayyid yang bersinar nur cahayanya,
Sebab berkahnya shohabat Ahli Badar ya Allooh.

Dari redaksi sholawat Badriyyah tersebut, terdapat kalimat “…Wa bil Haadi Rosuulillaah…” (Dan ber-Tawassul dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم), dimana hal ini adalah merupakan suatu Bid’ah karena tidak ada ajarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pun tidak melakukannya, demikian pula para Imaam yang mu’tabar (valid) seperti Imaam Asy Syafi’i, Imaam Maalik, Imaam Ahmad bin Hanbal رحمهم الله, dll mereka juga tidak pernah melakukannya. Apalagi bila sampai orang yang membaca sholawat tersebut lalu mempunyai keyakinan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan Ahlul Badar lah yang bisa memberikan manfaat ataupun menghilangkan madhorot bagi dirinya, maka ia telah jatuh pada kesyirikan; karena seyogyanya yang dapat memberikan manfaat ataupun menghilangkan madhorot hanyalah Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak ayat-ayat Al Qur’an diatas.

Setelah Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم wafat, maka ber-tawassul itu hanyalah dibolehkan dengan cara bertawassul menggunakan Nama-Nama Allooh سبحانه وتعالى, bertawassul dengan menggunakan amalan-amalan kita yang shoolih, ataupun bertawassul dengan do’a orang shoolih yang masih hidup (maksudnya, kita meminta supaya orang shoolih yang masih hidup tersebut mendo’akan kita kepada Allooh سبحانه وتعالى, agar Allooh سبحانه وتعالى menolong kita).
Jadi bertawassul dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang telah wafat saja adalah terlarang, apalagi bertawassul dengan para Mujahid (Ahlul Badar), sebagaimana redaksi “…Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allooh…” dalam sholawat Badriyyah diatas?

Wahai kaum Muslimin, hendaknya kalian mewaspadai hal ini. Karena ber-tawassul kepada orang yang sudah meninggal itulah yang tergolong perkara yang Harom (tidak diperbolehkan).

Disisi lain, Sholawat Badar tersebut adalah sholawat karangan orang, bahkan baru dibuat pada tahun 1960-an (jadi baru sekitar 50-an tahun yang lalu). Bandingkanlah dengan Sholawat yang jelas-jelas shohiih-nya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yang telah disampaikan kepada kita sejak sekitar 1432 tahun yang lalu. Mengapa sebagian dikalangan kaum Muslimin malah meninggalkan Sholawat yang Shohiih dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, lalu mengamalkan sholawat karangan orang yang kebanyakan tidak luput dari ghuluw, Bid’ah atau Syirik? Hendaknya kaum Muslimin kembali kepada Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Hadits itu ada yang Hadits Marfuu’ (مرفوع = yaitu Hadits yang sanadnya tersambung sampai kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم).
Ada pula Hadits Mauquuf  (موقوف = yaitu Hadits yang sanadnya tersambung sampai kepada Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم).
Lalu ada pula Hadits Maqtu’ (yaitu Hadits yang sanadnya tersambung, paling tinggi hanya sampai kepada para Taabi’iin atau para Imaam yang Mujtahidiin).
Sholawat Badriyyah itu apa sebutannya? Sholawat Badriyyah itu tidak Marfu’, tidak Mauquuf, tidak pula Maqtu’; karena ia hasil karangan orang di zaman sekarang tetapi digembar-gemborkan bahwa “fadhilah-nya mantap”, sehingga sebagian kaum Muslimin terkecoh, bahkan melalaikan Sholawat yang berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم (sebagaimana yang kita baca pada Tasyahhud Akhir) yang sesungguhnya merupakan sholawat yang afdhol (utama) untuk diamalkan oleh kaum Muslimin.

Jangankan Maqtu’, sedangkan yang Mauquuf saja tidak bisa dijadikan Hujjah. Karena Hujjah itu haruslah berdasarkan Hadits yang Marfu’. Apalagi bagi Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, maka dalil itu haruslah Marfu’, dan Marfu’ yang shohiih. Kalau Marfu’-nya tidak shohiih (lemah/ palsu) pun, maka juga tidak bisa dijadikan sebagai daliil.

Maka, bagaimana mungkin menyatakan bahwa Sholawat Badriyyah itu memiliki fadhillah sampai 8 macam, padahal seyogyanya itu bukan dalil?
Sholawat itu adalah Ibadah, dan Ibadah itu haruslah terpaku pada contoh dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sholawat Badriyyah itu bukan dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahkan didalamnya terkandung unsur Bid’ah atau kesyirikan. Di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tidak ada tawassul kecuali dengan apa yang beliau صلى الله عليه وسلم lakukan untuk beliau صلى الله عليه وسلم sendiri. Setelah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم wafat, para Shohabat pun tidak pernah ada yang bertawassul kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, apalagi dengan memegang-megang kuburan beliau صلى الله عليه وسلم dan sebagainya, sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin di zaman sekarang yang sudah merupakan perkara kesyirikan.

Hendaknya kaum Muslimin puas dengan apa yang berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم saja, dan tidak menggunakan selain dari ajaran Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Di zaman sekarang, banyak orang mengaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, namun bila diteliti maka amalan-amalannya adalah sangat jauh dari tuntunan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Di Indonesia, yang kaum Musliminnya sebagian besar mengaku bermadzab Syafi’iy, hendaknya membuka Kitab Riyaadhus Shoolihiin karya Imaam An Nawawy رحمه الله (tokoh yang dikenal dikalangan madzab Asy Syaafi’iy) dan pelajarilah sholawat seperti apa yang ditulis dalam Kitab tersebut. Insya Allooh, sholawat atas Rosuulullooh yang صلى الله عليه وسلم ditulis oleh Al Imaam An Nawawy رحمه الله adalah berdasarkan pada Hadits-Hadits Shohiih Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan tidak satupun tercantum dalam Kitab tersebut sholawat seperti sholawat Badriyyah, sholawat Nariyyah, sholawat Al Fatih dan yang sejenisnya. Maka semestinya, kaum Muslimin konsekwen, bila menyatakan dirinya bermadzab Asy Syaafi’iy, karena redaksi sholawat yang ada di dalam Kitab Riyaadhus Shoolihiin (Kitab yang menjadi rujukan madzab Asy Syaafi’iy tersebut) saja belum diamalkan semuanya, lalu mengapa malah mengamalkan redaksi sholawat hasil karangan manusia yang tidak ada sama sekali dalam Kitab tersebut?

Hendaknya kita bermohon kepada Allooh سبحانه وتعالى agar hati kita selalu ditunjukkan kepada apa yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم.

—–

Berikut ini terlampir Fatwa-Fatwa Lajnah Daa’imah, Majelis Fatwa di Saudi Arabia tentang kesesatan Thoriqot Sufi Tiijaaniyyah, juga tentang Sholawat Nariyyah, Sholawat Najiyyah, serta tentang Kitab Dalaa’ilul Khoiroot.

Lampiran 1
:

Fatwa Lajnah Daa’imah tentang Kesesatan Sekte Sufi Tijaaniyyah

السؤال الأول من الفتوى رقم ( 18068 )
س1 : قرأت فتوى بالحكم على الفرقة التيجانية بالكفر والضلال . أرجو إيضاح الأسباب التي بني عليها الحكم ؟
ج1 : الطريقة التيجانية طريقة منكرة لا تتفق مع هدي الإسلام ، لما فيها من البدع والمنكرات والشركيات التي تخرج من يعتقدها عن ملة الإسلام ، من ذلك :
1- غلو أحمد بن محمد التيجاني مؤسس الطريقة وغلو أتباعه فيه غلوا جاوز الحد ، حتى أضفى على نفسه خصائص الرسالة ، بل صفات الربوبية والإلهية وتبعه في ذلك مريدوه .
2- إيمانه بالفناء ووحدة الوجود ، وزعمه ذلك لنفسه ، بل زعم أنه في الذروة العليا من ذلك ، وصدقه فيه مريدوه فآمنوا به واعتقدوه .
3- تصريحه بأن المدد يفيض من الله على النبي – صلى الله عليه وسلم – أولا ، ثم يفيض منه على الأنبياء ، ثم يفيض من الأنبياء عليه ، ثم منه يتفرق على جميع الخلق من آدم إلى النفخ في الصور ، ويؤمن مريدوه بذلك ويعتقدونه .
4- تهجمه على الله وعلى كل ولي لله ، وسوء أدبه معهم إذ يقول : قدمي على رقبة كل ولي .
5- دعواه كذبا أنه يعلم الغيب وما تخفي الصدور ، وأنه يصرف القلوب ، وتصديق مريديه بذلك وعده من محامده وكراماته .
6- إلحاده في آيات الله وتحريفها عن مواضعها بما يزعمه تفسيرا إشاريا .
7- زعمه أن كل من كان تيجانيا يدخل الجنة دون حساب ولا عذاب ، مهما فعل من الذنوب .
هذه بعض أفكار التيجانية ملخصة من أوسع كتبهم وأوثقها في نظر علمائهم ، مثل كتاب :
 ( جواهر المعاني ) لعلي حرازم ، وكتاب : ( رماح حزب الرحيم ) لعمر بن سعيد الفوتي .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … عضو … الرئيس
بكر أبو زيد … عبد العزيز آل الشيخ … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Telah diajukan permintaan Fatwa kepada Lajnah Daa’imah sebagai Majelis Fatwa di Saudi Arabia dengan nomor: 18068, dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut:
Saya (penanya) telah membaca Fatwa tentang Sekte Tijaaniyyah dengan vonis Kufur dan Sesat. Saya berharap penjelasan tentang sebab Hukum dibangunnya vonis ini.”
Jawaban Lajnah Daa’imah:
Sekte Tijaaniyyah adalah Sekte yang munkar, tidak sesuai dengan tuntunan Al Islam, disebabkan adanya berbagai ke-Bid’ahan, kemunkaran, dan kesyirikan-kesyirikan didalamnya yang mengeluarkan orang yang meyakininya dari Islam, antara lain:
  1. Kultus terhadap Ahmad bin Muhammad At Tiijaanii sebagai pendiri sekte ini, dimana para pengikutnya telah mengkultuskannya dengan melampaui batas; bahkan diyakini bahwa Ahmad At Tiijaani ini mempunyai ciri-ciri kerosuulan bahkan ciri-ciri ketuhanan yang pada akhirnya diikuti oleh para muridnya.
  2. Mengimani adanya Fana (kerusakan) dan Wihdatul Wujud (menjelmanya tuhan pada dirinya – pent.) bahkan dia mengklaim bahwa dia di puncak paling tinggi dalam hal itu, dimana yang demikian itu diimani dan diyakini oleh para muridnya.
  3. Penerangan yang bersumber darinya bahwa pemberian keistimewaan dari Allooh سبحانه وتعالى terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم terlebih dahulu, kemudian dari Nabi صلى الله عليه وسلم kepada para nabi, dan dari para nabi kepadanya (pada Ahmad Tijaani – pent.), kemudian daripadanya tersebar ke seluruh makhluk-Nya sejak Adam عليه السلام sampai ditiupnya sangkakala. Keyakinan ini pun dibenarkan oleh para pengikutnya.
  4. Sikap ekstrimnya terhadap Allooh سبحانه وتعالى dan terhadap setiap Wali Allooh سبحانه وتعالى, bahkan berperilaku buruk terhadap mereka dimana dia mengatakan: “Kakiku diatas leher setiap Wali.”
  5. Pengakuannya yang dusta bahwa dia mengetahui yang ghoib dan apa yang tersembunyi dalam dada, dan bahwa dia (Ahmad Tiijaani – pent.) lah yang membolak-balik hati dimana yang demikian pun dibenarkan oleh para pengikutnya. Dan mereka meyakini hal ini sebagai keramat dan keterpujiannya.
  6. Menyelewengkannya Ahmad Tiijaanii terhadap ayat-ayat Allooh سبحانه وتعالى, bahkan memalingkan dari posisi yang sebenarnya dengan alasan Tafsir Isyarat.
  7. Pengakuannya bahwa setiap pengikut Tiijaanii akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab, betapa pun dia berbuat dosa.
Ini adalah sebagian pemikiran dari Sekte Tiijaani yang diringkas dari Kitab yang diyakini paling luas dan paling terpercaya dalam pandangan ulama-ulama mereka seperti Kitab Jawaahirul Ma’aani karya Ali Haroozim dan Kitab Rimaahu Hizbir Ar Rohiim karya ‘Umar bin Sa’iid Al Fuuthy.
Wabillaahit taufiq, dan sholawat serta salam semoga Allooh سبحانه وتعالى limpahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan Shohabatnya.

Team Fatwa:
  1. ‘Abdul ‘Aziiz bin ‘Abdillaah bin Baaz (Ketua)
  2. Syaikh Bakr Abu Zaiid (Anggota)
  3. Syaikh ‘Abdul Aziiz ‘Aalu Asy Syaikh (Anggota)
  4. Syaikh Shoolih Al Fauzaan (Anggota)
  5. Asy Syaikh ‘Abdullooh bin Hudayyaan (Anggota)
—–
Lampiran 2:
Fatwa Lajnah Daa’imah tentang kebaathilan dan ke-Bid’ahan Sholawat Al Fatih

السؤال الخامس من الفتوى رقم ( 7519 ) :
س5: في طائفة تجانية لها دعاء ويسمى هذا الدعاء: صلاة الفاتح، وهو عندهم خير من قراءة القرآن هل هذا صحيح، وأيضا قبل صلاة المغرب وبعد صلاة الصبح من يوم الجمعة يجلسون في شكل حلقة ويضعون قطعة قماش في الوسط ويدعون أنه يجلس فيه الرسول صلى الله عليه وسلم وأحمد التجاني وفي هذا الوقت لهم دعاء وهو صلاة الفاتح هل هذا صحيح، وما الدليل على ذلك؟
ج5: ما زعموه من ذلك كذب وعملهم باطل وبدعة محدثة (1) .
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
__________
(1) ”زيادة في الإيضاح أذكر ما يسمى بـ: صلاة الفاتح، قال في [الموسوعة الميسرة في الأديان والمذاهب المعاصرة] – الندوة العالمية للشباب الإسلامي – ما نصه: يدعي زعيمهم أحمد التجاني بأنه قد التقى بالنبي صلى الله عليه وسلم لقاء حسيًا ماديًا، وأنه قد كلمه مشافهة، وأنه قد تعلم من النبي عليه الصلاة والسلام صلاة (الفاتح لما أغلق ) – صيغة هذه الصلاة: (اللهم صل على سيدنا محمد الفاتح لما أغلق، والخاتم لما سبق، ناصر الحق بالحق، الهادي إلى صراطك المستقيم، وعلى آله حق قدره ومقداره العظيم). ولهم في هذه الصلاة اعتقادات نسوق منها: – أن الرسول صلى الله عليه وسلم قد أخبره بأن المرة الواحدة منها تعدل من القرآن ست مرات. – أن الرسول صلى الله عليه وسلم قد أخبره مرة ثانية بأن المرة الواحدة منها تعدل من كل ذكر ومن كل دعاء كبير أو صغير، ومن القرآن ستة آلاف مرة؛ لأنه كان من الأذكار [الجواهر] (1 / 136 ). – أن الفضل لا يحصل بها إلا بشرط أن يكون صاحبها مأذونًا بتلاوتها، وهذا يعني تسلسل نسب الإذن حتى يصل إلى أحمد التجاني الذي تلقاه عن رسول الله – كما يزعم -. – أن هذه الصلاة هي من كلام الله تعالى بمنزلة الأحاديث القدسية [الدرة الفريدة] (4 / 128 ). – أن من تلا صلاة الفاتح عشر مرات، لو عاش العارف بالله ألف ألف سنة ولم يذكرها، كان أكثر ثوابًا منه. – من قرأها مرة كفرت بها ذنوبه، ووزنت له ستة آلاف من كل تسبيح ودعاء وذكر وقع في الكون…. إلخ (انظر كتاب [مشتهى الخارف الجاني] 299، 300). اهـ ص (127). أقول: وفي هذا تظهر دلالة قوله جل وعلا: ( فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ) الآية ، وقد فصلت اللجنة القول في هذه الطائفة في الفتاوى السابقة.”
Telah diajukan permintaan Fatwa kepada Lajnah Daa’imah sebagai Majelis Fatwa di Saudi Arabia Jilid 3251 dengan nomor: 7519, dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut:
Dalam sekte Tiijaaniiyyah terdapat do’a yang diberi nama dengan Sholawat Al Fatih. Sholawat ini diyakini oleh mereka lebih baik dari membaca Al Qur’an. Benarkah ini?
Juga sebelum sholat maghrib dan setelah sholat shubuh di hari Jum’at, mereka duduk melingkar, meletakkan secarik kain di tengah mereka dan mereka meng-klaim bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم duduk disana bersama Ahmad At Tiijaanii. Pada saat itu mereka berdo’a dengan Sholawat Al Fatih. Benarkah ini? Apakah dalil terhadap hal tersebut?

Jawaban Lajnah Daa’imah:
Apa yang mereka klaim adalah dusta. Amalan mereka baathil dan Bid’ah yang diada-ada.*]
Wabillaahit taufiq, dan sholawat serta salam semoga Allooh سبحانه وتعالى limpahkan kepada Nabi Muhammad  صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan Shohabatnya.
Team Fatwa:
  1. ‘Abdul ‘Aziiz bin ‘Abdillaah bin Baaz (Ketua)
  2. Syaikh ‘Abdur Rozaaq ‘Afiifi (Wakil Ketua)
  3. Syaikh ‘Abdullooh bin Qu’uud (Anggota)
  4. Asy Syaikh ‘Abdullooh bin Hudayyaan (Anggota)
*] Sebagai penjelas, saya sebutkan apa yang disebut dengan Sholawat Al Fatih sebagaimana disebutkan dalam Al Maushuu’ah Al Muyassaroh Fil Adyaani Wal Madzaahibi Al Mu’aasirroti halaman 127, terbitan Forum Pemuda Islam Internasional, dimana nash-nya adalah sebagai berikut:
Pemimpin At Tiijaanii bernama Ahmad At Tiijaanii mengaku telah bertemu Nabi صلى الله عليه وسلم secara fisik dan material, dan bahwa telah berbicara secara langsung, juga telah belajar dari Nabi  صلى الله عليه وسلم Sholawat Al Fatih ini dengan redaksi sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَااُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَ نَاصِرِالْحَقِّ ‍ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلَى صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ
(Alloohumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadinil faatihi lima ughliqo wal khootimi lima sabaqo naashiril haqqi bil haqqi wal Haadi ilaa shiroothikal mustaqiimi wa ‘alaa alihi haqqo qodrihi wa miqdaarihil ‘adziimi)

Artinya:
Ya Allooh, limpahkanlah sholawat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pembuka sesuatu yang tertutup, dan penutup segala sesuatu sebelumnya (pamungkas), penolong kebenaran dengan kebenaran, pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada keluarganya yaitu rahmat yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.”
Mereka meyakini dalam sholawat ini sebagai berikut:
  1. Bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah memberitakan padanya bahwa barangsiapa yang membaca Sholawat Fatih 1 kali adalah sama dengan pahala membaca Al Qur’an 6 kali.
  2. Barangsiapa yang membaca 2 kali maka kali yang pertama adalah setara dengan dzikir, do’a yang dilakukan oleh orang besar maupun orang kecil dan membaca Al Qur’an 6.000 kali karena Al Qur’an adalah bagian daripada dzikir (Al Jawaahir 136).
  3. Dimana keutamaan ini tidak didapat kecuali dengan syarat bahwa si pembacanya mendapat izin membacanya dan hal ini yang dimaksud adalah urutan nasab izin hingga sampai pada Ahmad At Tiijaanii yang hendak menerimanya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sebagaimana di-klaimnya.
  4. Bahwa sholawat ini adalah bagian dari firman Allooh سبحانه وتعالى sekedudukan dengan Hadits Qudzi (‘Abdullooh Al Fariidah no: 4/128)
  5. Bahwa yang membaca sholawat Al Fatih 10 kali, kalau hidup maka dia mengetahui Allooh سبحانه وتعالى seribu-seribu tahun (satu juta tahun) dan pahalanya lebih banyak dari itu.
  6. Barangsiapa yang membacanya satu kali, dihapuskan dosanya dan ditimbang seberat 6.000 tasbih, do’a dan dzikir yang terjadi di alam semesta ini (Mustahaa Al Khoorif Al Jaani 299-300)
Aku (pentahqiq) berkata bahwa dalam hal ini nampak dalil firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 79:
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـذَا مِنْ عِندِ اللّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُونَ

Artinya:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allooh”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”
Dan sungguh Lajnah Daa’imah telah merinci pernyataan tentang sekte ini dalam fatwa-fatwa sebelumnya.
—–
Lampiran 3:
Fatwa Lajnah Daa’imah tentang Sholawat Nariyyah

السؤال الخامس من الفتوى رقم ( 20794 )
س 5 : ما حكم قراءة ما يسمى بالصلاة النارية هي كما يلي : (اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتتفرج به الكرب وتقضى به الحوائج ، وتنال به الرغائب ، وحسن الخواتيم ، ويستسقى الغمام بوجهه الكريم ، وعلى آله وصحبه في كل لمحة ونفس بعدد كل معلوم لك)؟
ج 5 : صفة الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم أن يقول : (اللهم صل وسلم على نبينا محمد) وإن زاد فقال : (وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد ، وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد) فذلك الأفضل .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … الرئيس
بكر بن عبد الله أبو زيد … صالح بن فوزان الفوزان … عبد العزيز بن عبد الله آل الشيخ
Telah diajukan permintaan Fatwa kepada Lajnah Daa’imah sebagai Majelis Fatwa di Saudi Arabia dengan nomor: 20794, dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut:
Apa hukum membaca Sholawat yang disebut dengan Sholawat Nariyyah, dimana redaksi bacaannya adalah sebagai berikut:Ya Allooh, berilah sholawat dengan sholawat yang sempurna dan berilah salam dengan salam yang sempurna atas penghulu kami Muhammad yang dengannya terlepas segala ikatan masalah, lenyap segala kesedihan, terpenuhi segala kebutuhan, tercapai segala kesenangan, pemberi husnul khootimah, pemberi awan hujan dengan wajahnya yang mulia, juga atas keluarga dan sahabat-sahabatnya dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas sebanyak hitungan segala yang ada dalam pengetahuan-Mu.”

Jawaban Lajnah Daa’imah
:
Redaksi Sholawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم adalah “Ya Allooh, sampaikanlah sholawat dan salam atas Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم”, dan jika ditambah maka “dan juga terhadap keluarga Muhammad صلى الله عليه وسلم, sebagaimana Engkau sampaikan sholawat atas Ibroohiim عليه السلام dan keluarga Ibroohiim عليه السلام. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” dan “Berkahilah pada Muhammad صلى الله عليه وسلم dan keluarga Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagaimana Engkau berkahi Ibroohiim عليه السلام dan keluarga Ibroohiim عليه السلام di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”
Sholawat dengan seperti itu adalah lebih afdhol (lebih utama).
Wabillaahit taufiq, dan sholawat serta salam semoga Allooh سبحانه وتعالى limpahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan Shohabatnya.
Team Fatwa:
  1. Syaikh ‘Abdul Aziiz ‘Aalu Asy Syaikh (Ketua)
  2. Syaikh Bakr Abu Zaiid (Anggota)
  3. Syaikh Shoolih Al Fauzaan (Anggota)
—–
Lampiran 4:
Fatwa Lajnah Daa’imah tentang Sholawat Najiyyah

الفتوى رقم ( 21137 )
س : لقد حضرت الجمعة في إحدى الدول الإسلامية ، وبعد الصلاة قام الإمام بالدعاء الجماعي ، ومن ضمن الدعاء هذا الدعاء : (اللهم صل على محمد صلاة تنجينا بها من الآفات ، اللهم صلي على محمد صلاة تفرج بها الكربات والبلاء ، اللهم صل على محمد صلاة ترزقنا بها رزقا حلالا) فما حكم هذا الدعاء؟
ج : هذا العمل عمل بدعي لا يجوز ؛ لأن الدعاء الجماعي بعد الصلاة بدعة لا أصل لها في الشرع المطهر ، والأصل في العبادات التوقيف ، وهذه الصيغة للصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم صيغة محدثة ، والخير فيما ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم وأرشد أمته إليه من صيغ الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ، كما في التشهد الأخر للصلاة وغيره .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … الرئيس
بكر أبو زيد … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله آل الشيخ
Telah diajukan permintaan Fatwa kepada Lajnah Daa’imah sebagai Majelis Fatwa di Saudi Arabia dengan nomor: 21137, dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut:
Saya (penanya) telah menghadiri sholat Jum’at di salah satu Negara Islam, dan setelah sholat maka Imaam berdiri dan memimpin do’a secara berjamaa’ah dan diantara do’anya adalah sebagai berikut:
Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin shollatan tunjinaa bihaa minal Aafati. Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin shollatan tufriju bihaa al Kuruubaati wal balaa’i. Alloohumma sholli ‘ala Muhammadin shollatan tarzuquna rizqon halaalan.”
(Ya Allooh, sampaikan sholawat atas Muhammad, sholawat yang menyelamatkan kami dari petaka. Ya Allooh, sampaikan sholawat atas Muhammad, sholawat yang mengeluarkan kami dari berbagai bencana dan bala. Ya Allooh, sampaikan sholawat atas Muhammad, sholawat yang Engkau beri rizqi kami dengannya rizqi yang halal).
Apakah hukum do’a dengan do’a ini?

Jawaban Lajnah Daa’imah:
Amalan ini adalah amalan Bid’ah. Tidak diperbolehkan karena berdo’a secara berjamaa’ah ba’da sholat adalah Bid’ah, tidak ada asalnya dalam Syari’at yang suci. Padahal hukum asal dari Ibadah adalah baku. Sedangkan redaksi sholawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم seperti itu adalah redaksi yang baru (Bid’ah) dan sebaik-baik sholawat adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan beliau صلى الله عليه وسلم membimbing ummatnya dengan sholawat sebagaimana yang kita baca dalam Tasyahhud Akhir pada setiap sholat dan lain-lain.
Wabillaahit taufiq, dan sholawat serta salam semoga Allooh سبحانه وتعالى limpahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan Shohabatnya.
Team Fatwa:
  1. Syaikh ‘Abdul Aziiz ‘Aalu Asy Syaikh (Ketua)
  2. Syaikh Bakr Abu Zaiid (Anggota)
  3. Syaikh Shoolih Al Fauzaan (Anggota)
  4. Asy Syaikh ‘Abdullooh bin Hudayyaan (Anggota)
—–
Lampiran 5:
Fatwa Lajnah Daa’imah tentang Kitab Dalaa’ilul Khoiroot

الفتوى رقم ( 15880 )
س : أرجو منكم إبداء وإظهار رأيكم في هذا الذي سأذكره عما قريب ، وهل يجوز قراءته والإبقاء عليه : هنا جمل من هذا الكتاب : ( فالغرض في هذا الكتاب ذكر الصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – وفضائلها ، نذكرها محذوفة الأسانيد ليسهل حفظها على القارئ ، وهي من أهم المهمات لمن يريد القرب من رب الأرباب ، وسميته بكتاب ( دلائل الخيرات وشوارق الأنوار في ذكر الصلاة على النبي المختار ) .
( . . . وروي عنه – صلى الله عليه وسلم – أنه قال : « ليردن على الحوض يوم القيامة أقوام ما أعرفهم إلا بكثرة الصلاة علي » . . . ) .
وهذه نسخ من صفحة من صفحاته : ( بسم الله الرحمن الرحيم : إلهي بجاه نبيك سيدنا محمد – صلى الله عليه وسلم – عندك ، ومكانته لديك ، ومحبتك له ومحبته لك ، وبالسر الذي بينك وبينه . . . إلخ ) .
( . . . وصل على محمد وعلى آل محمد الذي نوره من نور الأنوار ، وأشرق بشعاع سره الأسرار . . . ) .
ج : الكتاب الذي ذكرته وهو كتاب ( دلائل الخيرات ) ،
معروف عند العلماء المحققين بأنه كتاب ضلالة ؛ لما يشتمل عليه من الغلو بالرسول – صلى الله عليه وسلم – والسؤال بجاهه ، وأن نوره من نور الأنوار وأشرق بشعاعه سر الأسرار . كما نقله السائل ، وكما هو موجود في الكتاب من الصلوات والمبالغات التي لا دليل عليها . فعليه لا يغتر بهذا الكتاب ، ولا تجوز قراءته إلا لمن يريد الرد عليه والتحذير منه ، وهناك من الكتب الصحيحة في الصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – ما يغني عن هذا الكتاب وأمثاله ، مثل كتاب : ( جلاء الأفهام في الصلاة والسلام على خير الأنام ) للعلامة ابن القيم .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … عضو … عضو … الرئيس
بكر أبو زيد … عبد العزيز آل الشيخ … صالح الفوزان … عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Telah diajukan permintaan Fatwa kepada Lajnah Daa’imah sebagai Majelis Fatwa di Saudi Arabia dengan nomor: 15880, dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut:
Saya (penanya) berharap dari Anda untuk dapat mengemukakan dan menyatakan pendapat Anda dalam perkara yang akan saya sebutkan berikut ini, dan apakah boleh membaca dan melanggengkan pembacaannya?
Berikut ini diantara ungkapan yang terdapat dalam Kitab yang saya maksud:
“Maka Kitab ini dimaksudkan untuk menyebutkan tentang Sholawat atas Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan keutamaan-keutamaannya. Sengaja kami sebutkan dengan menghapus sanad-sanadnya agar mudah membaca dan menghafalnya. Sholawat-sholawat ini adalah sholawat yang terpenting bagi yang ingin mendekatkan diri dengan Penguasa segala penguasa, dan kuberi nama Dalaa’ilul Khoiroot wa Syafaariqul Anwaari fi Dzikrish Sholaati ‘alan Nabiyyil Mukhtaari….”
(“….Dan diriwayatkan dari beliau صلى الله عليه وسلم bahwa beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, “Akan berduyun-duyun mendatangi telaga pada Hari Kiamat kaum-kaum yang aku tidak kenali mereka, kecuali dengan banyaknya sholawat atasku”….)
Dan ini diantara yang terdapat dalam halaman-halaman buku Kitab tersebut:
(“…Bismillaahirrohmaanirrohiim, Ilaahi bijaahi nabiyyika sayyidina Muhammadin صلى الله عليه وسلم ‘indaka wamakaanatihi ladayka wa mahabbatika lahu wa mahabbatihi laka wa bissirri alladzi bainaka wa bainahu…..”)
(Artinya: Dengan nama Allooh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhanku, dengan pengaruh Nabi-Mu, tuan kami Muhammad صلى الله عليه وسلم disisi-Mu, dan kedudukannya disisi-Mu dan cinta-Mu padanya dan cintanya pada-Mu dan rahasia antar Engkau dengannya….”)
(“…. Wa sholli ‘ala Muhammadin wa ‘ala ali Muhammadinilladzii nuurruhu min nuuril anwaar wa asyroqo bi syu’aa’i sirrihil asroori….”)
(Artinya: Dan limpahkanlah sholawat atas Muhammad صلى الله عليه وسلم dan atas keluarga Muhammad صلى الله عليه وسلم yang cahayanya berasal dari cahaya segala cahaya, dan segala rahasia terbit dengan pancaran sinarnya…”).”

Jawaban Lajnah Daa’imah:
Kitab yang Anda sebut, yaitu Kitab Dalaa’ilul Khoiroot adalah Kitab yang dikenal di kalangan para ‘Ulama Muhaqiqiin (Peneliti), adalah Kitab Kesesatan, karena didalamnya meliputi Kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan meminta dengan melalui kedudukannya. Dan bahwa cahayanya berasal dari segala cahaya, dan segala rahasia terbit dengan pancaran sinarnya; sebagaimana dinukil oleh Penanya dan sebagaimana yang demikian itu terdapat dalam Kitab juga sholawat-sholawat dan berlebihan tanpa dalil.
Maka dari itu, hendaknya tidak boleh tergiur dengan Kitab ini, tidak boleh membacanya kecuali orang yang ingin membantahnya dan memberikan kewaspadaan kepada ummat. Sebab, masih banyak Kitab-kitab shohiih tentang sholawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم, dan tidak lagi membutuhkan kitab ini dan semisalnya, seperti Kitab Jalaa’ul Afhaami fish sholaati wassallaami ‘ala khoiril anaami karya Ibnu Al Qoyyim رحمه الله.
Wabillaahit taufiq, dan sholawat serta salam semoga Allooh سبحانه وتعالى limpahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan Shohabatnya.
Team Fatwa:
  1. ‘Abdul ‘Aziiz bin ‘Abdillaah bin Baaz (Ketua)
  2. Syaikh Bakr Abu Zaiid (Anggota)
  3. Syaikh ‘Abdul Aziiz ‘Aalu Asy Syaikh (Anggota)
  4. Syaikh Shoolih Al Fauzaan (Anggota)
  5. Asy Syaikh ‘Abdullooh bin Hudayyaan (Anggota)
—–
Lampiran 6:
Fatwa Lajnah Daa’imah tentang Kitab Dalaa’ilul Khoiroot

الفتوى رقم ( 8879 ) :
س: ما حكم القراءة في كتاب [دلائل الخيرات] للإمام محمد بن سليمان الجزولي والمشتمل على أحزاب وأوراد يومية تتضمن التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم وطلب الشفاعة منه، مثل: يا حبيبنا يا محمد، إنا نتوسل بك إلى ربك فاشفع لنا عند المولى العظيم، وأيضا اللهم إنا نستشفع به إليك إذ هو أوجه الشفعاء إليك ونقسم به عليك إذ هو أعظم من أقسم بحقه عليك ونتوسل إليك إذ هو أقرب الوسائل إليك. وأشرفهم جرثومة.
ج: إذا كان الواقع ما ذكرت من اشتمال أوراد وأحزاب هذا الكتاب على التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم والاستشفاع به إلى الله تعالى في قضاء حاجته فلا تجوز لك القراءة فيه؛ لقوله تعالى: { قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا } (سورة الزمر الآية 44)
وقوله تعالى: { مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ } (سورة البقرة الآية 255
) وقوله: { أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلَا يَعْقِلُونَ } (سورة الزمر الآية 43) { قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا } (سورة الزمر الآية 44) الآية.
وفي التمسك بكتاب الله تعالى وتلاوته وبالأذكار النبوية الصحيحة غنية لك عن قراءة الأوراد والأحزاب التي بكتاب [دلائل الخيرات] وأشباهها وهي كثيرة تجدها في كتاب [رياض الصالحين] وكتاب [الأذكار النووية] كلاهما للإمام النووي ، وكتاب [الكلم الطيب] لابن تيمية و[الوابل الصيب] للعلامة ابن القيم رحمة الله على الجميع، وغيرها من كتب أهل السنة.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Juga telah diajukan permintaan Fatwa kepada Lajnah Daa’imah sebagai Majelis Fatwa di Saudi Arabia dengan nomor: 8879, dengan redaksi pertanyaan sebagai berikut:
Apa hukum membaca Kitab Dalaa’ilul Khoiroot karya Imaam Muhammad bin Sulaiman Al Jazuuli yang meliputi atas hizib-hizib dan wirid-wirid harian yang mengandung tawassul terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم dan meminta syafaat darinya صلى الله عليه وسلم, seperti: “Wahai kekasih kami, wahai Muhammad, sungguh kami bertawassul melalui mu, kepada Tuhanmu, maka berilah kami syafaat disisi Allooh سبحانه وتعالى”.
Dan juga, “Ya Allooh, sungguh kami memohon syafaat dengan melaluinya kepada-Mu, karena dialah syafaat yang paling dekat kepada-Mu, dan kami bersumpah dengannya kepada-Mu karena dia seagung-agung sumpah dengan haqnya kepada-Mu, dan kami bertawassul kepada-Mu karena dia adalah sedekat-dekat perantara terhadap-Mu, dan semulia-mulia dan paling terhormat wasilah.”

Jawaban Lajnah Daa’imah:
Jika kenyataannya adalah seperti yang Anda sebutkan, yaitu jika Kitab ini meliputi wirid-wirid dan hizib-hizib berkenaan dengan tawassul dengan Nabi صلى الله عليه وسلم dan meminta syafaatnya kepada Allooh سبحانه وتعالى dalam memenuhi kebutuhan, maka Anda tidak boleh membaca buku ini. Karena Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 255 :
اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Artinya:
Allooh, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allooh tanpa izin-Nya. Allooh mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allooh melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allooh meliputi langit dan bumi. Dan Allooh tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allooh Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Dan firman-Nya dalam QS. Az Zumaar (39) ayat 43-44:

أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ شُفَعَاء قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لَا يَمْلِكُونَ شَيْئاً وَلَا يَعْقِلُونَ ﴿٤٣﴾ قُل لِّلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعاً لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ﴿٤٤﴾

Artinya:
(43) Bahkan mereka mengambil pemberi syafa`at selain Allooh. Katakanlah: “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?”
(44) Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allooh syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
Dan dengan berpegang teguh kepada Al Qur’an dan membacanya, dan dzikir-dzikir Nabawy yang shohiih, cukup bagimu daripada membaca wirid-wirid dan hizib-hizib yang terdapat dalam Kitab Dalaa’ilul Khoiroot dan sejenisnya, dimana yang demikian itu banyak ditemui dalam Kitab Riyaadhus Shoolihin dan Kitab Al Adzkar An Nawawiyyah karya Al Imaam An Nawawy dan Kitab Al Kaalimith Thoyyib karya Ibnu Taimiyyah dan Kitab Al Wabillush Shoyyibi karya Ibnu Qoyyim – semoga Allooh سبحانه وتعالى merahmati semua mereka –, dan lain-lain dari Kitab-Kitab Ahlis Sunnah.
Wabillaahit taufiq, dan sholawat serta salam semoga Allooh سبحانه وتعالى limpahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan Shohabatnya.
Team Fatwa:
  1. ‘Abdul ‘Aziiz bin ‘Abdillaah bin Baaz (Ketua)
  2. Syaikh ‘Abdur Rozaaq ‘Afiifi (Wakil Ketua)
  3. Syaikh ‘Abdullooh bin Qu’uud (Anggota)
  4. Asy Syaikh ‘Abdullooh bin Hudayyaan (Anggota)
—–
Lampiran 7 :
Fatwa Lajnah Daa’imah tentang Kitab Dalaa’ilul Khoiroot
السؤال الخامس من الفتوى رقم ( 2392 ) :
رابعا: أما كتاب [دلائل الخيرات] فننصحك بتركه؛ لما يشتمل عليه من الأمور المبتدعة والشركية، وفي الوارد في القرآن والسنة غنية عنه.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Juga terdapat dalam Fatwa Lajnah Daa’imah sebagai Majelis Fatwa di Saudi Arabia dengan nomor: 2392, dimana didalam Fatwa itu terdapat dalam poin ke-4 yang mengatakan sebagai berikut:
“4. Adapun Kitab Dalaa’ilul Khoiroot, maka kami nasehati agar Anda meninggalkannya, karena didalamnya banyak mengandung perkara-perkara Bid’ah dan Syirik. Dan apa-apa yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah kiranya adalah cukup.”
Wabillaahit taufiq, dan sholawat serta salam semoga Allooh سبحانه وتعالى limpahkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, keluarganya dan Shohabatnya.
Team Fatwa:
  1. ‘Abdul ‘Aziiz bin ‘Abdillaah bin Baaz (Ketua)
  2. Syaikh ‘Abdullooh bin Qu’uud (Anggota)
  3. Asy Syaikh ‘Abdullooh bin Hudayyaan (Anggota)
—–
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, Senin malam, 7
Jumadil Awwal 1432 H  -  11 Maret 2011
 
Sumber: ustadzrofii.wordpress.com