Adakah Bid’ah Hasanah? (4) – Pembagian Bid’ah Oleh Imam
Asy Syafi’i
DALIL
YANG KETIGA:
Untuk menguatkan pendapat
bahwa ada bid’ah hasanah, pendebat berdalilkan dengan ucapan Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah
Madzmumah (tercela), maka apa-apa yang sesuai dengan sunnah itu adalah terpuji,
dan apa-apa yang menyelisihi sunnah itu adalah tercela.” (Hilyatul Auliya 9/113)
Dan berkata pula Imam Asy
Syafi’I rahimahullah:
“Suatu yang diada-adakan itu ada dua macam: Sesuatu yang
diada-adakan menyelisihi kitab atau sunnah, atau atsar, atau ijma’, maka ini
adalah bid’ah yang sesat; dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan yang
sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ini tidak tercela.” (Manaqibu Asy Safi’I oleh Al Baihaqi 1/469 dan Al
Ba’its oleh Abi Syamah hal. 94)
Dalil
ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah
dikarenakanbeberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Telah kita singgung
didepan, bahwa tidak boleh perkataan seluruh manusia bertententangan dengan
perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam. Perkataan Rasulullah menjadi hujjah bagi setiap orang dan
bukanlah perkataan seseorang dari manusia menjadi hujjah atas Nabishallallahu’alaihi wa sallam.
Telah
berkata Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu:
“Tidaklah ada seorangpun
selain Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam melainkan pendapatnya dapat diambil dan ditinggalkan.”
Telah
berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Setiap apa yang aku
katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits Rasulullah
itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”
(Hilyatul Auliya’ 9/108)
ALASAN
KEDUA:
Sesungguhnya orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam
Syafi’I rahimahullah tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud
oleh Imam Asy Syafi’I dengan Bid’ah Mahmudah (terpuji) adalah pengertian bid’ah
secara bahasa (lughoh) dan bukan secara syar’I.
Dengan dalil, bahwasanya
semua yang bid’ah menurut syariat adalah menyelisihi kitab dan sunnah, dan Imam
Asy Syafi’I sendiri memberi batasan bid’ah yang terpuji yaitu yang tidak
bertentangan/menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah. Padahal bid’ah secara syar’I
jelas-jelas menyelisihi firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu
jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3)Dan menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang
tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)Dan masih banyak lagi
ayat dan hadits yang lainnya.
Berkata
Ibnu Rajab rahimahullah:
“Yang dimaksud oleh Imam
Asy Syafi’I rahimahullah, yang
telah disebutkan sebelumnya, adalah bahwasanya pada dasarnya bid’ah yang
tercela (Bid’ah Madzmumah) adalah sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syariat,
yang dia akan kembali padanya, inilah bid’ah menurut syar’i. Adapun bid’ah yang
terpuji (Bid’ah Mahmudah) adalah segala yang sesuai dengan sunnah, yakni
sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali padanya, hanya saja
pemahaman ini secara lughoh (bahasa) bukan secara syar’I, karena sesuai dengan
sunnah. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam hadits no. 28)
Dan bid’ah secara lughoh
(bahasa) yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I rahimahullah dalam
perkataan beliau “bid’ah terpuji”, misalnya: penulisan hadits dan sholat
tarawih, maka benarlah bahwa definisi bid’ah disini adalah secara lughoh
(bahasa) karena hal ini tidak ada contoh yang mendahuluinya; adapun menurut
definisi syar’I, ini tidak benar karena perbuatan tersebut ada asalnya dari
sunnah.
Kesimpulan dari perkataan diatas:
Bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji, bukanlah bid’ah,
akan tetapi diduga bid’ah, dan jika memang telah dipastikan sesuatu itu adalah
bid’ah, maka bid’ah itu jelek secara qoth’I (pasti), karena menyelisihi Al
Qur’an dan Sunnah.
ALASAN
KETIGA:
Sudah mahsyur tentang
Imam Asy Syafi’I rahimahullah,
bahwasanya beliau sangat menjaga dalam mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan
sangat benci terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Terbukti ketika beliau ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau
mengatakan: “Telah diriwayatkan tentang hal tersebut demikian dan demikian dari
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam”, maka
ada yang bertanya “Wahai Abu ‘Abdillah apakah kamu berpendapat dengannya?” Maka
Imam Asy Syafi’I gemetar (karena marah) dan tergoncang, seraya beliau berkata
“Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak dan langit manakan yang akan
kunaungi, apabila aku telah meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kemudian
aku tidak berpendapat dengan hadits tersebut? Ya, wajib bagiku dengan
pendengaran dan penglihatanku” (Shifatu
sufwah2/256)
Maka bagaimana mungkin
dalam keadaan beliau yang demikian ini, beliau menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah
adalah sesat).
Bahkan lebih pantas
perkataan Imam Asy Syafi’I ditempatkan pada tempatnya yang tidak bertentangan
dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam. Sesungguhnya yang dimaksud Imam Asy Syafi’I rahimahullah “bid’ah” dalam ucapannya
ini adalah makna secara lughowi.
Telah
berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Apabila kalian mendapati
di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam, maka katakanlah dengan sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang
aku katakan.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam
Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap hadits dari Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku (perkataanku) walaupun
kalian tidak mendengarnya dariku.” (Siyar
A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam
Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap apa yang aku
katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits rasulullah
itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”
(Hilyatul Auliya’ 9/108)
Imam
Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap masalah yang
benar datangnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menurut ahlu Naql
sementara ia menyelisihi apa yang aku katakan, maka saya akan kembali merujuk
pada hadits itu selama hidupku dan setelah matiku.” (Tawaliy At Ta’sisi 108)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar