Jumat, 24 Februari 2012

ANTARA ABU LAHAB DAN PERAYAAN MAULID

Antara Abu Lahab Dengan Perayaan Maulid

Di antara dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah kisah salah seorang tokoh dalam kesyirikan yakni Abu Lahab. Berikut uraiannya:
As-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (1/196-197), “Lalu saya melihat Imamul Qurro`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzi berkata dalam kitab beliau yang berjudul ‘Urfut Ta’rif bil Maulid Asy-Syarif’ dengan nash sebagai berikut, “Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meningalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”, dia menjawab, “Di dalam Neraka, hanya saja diringankan bagiku (siksaan) setiap malam Senin dan dituangkan di antara dua jariku air sebesar ini -dia berisyarat dengan ujung jarinya- karena saya memerdekakan Tsuwaibah ketika dia memberitahu kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam dan karena dia telah menyusuinya.”
As-Suyuthi berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang Al-Qur`an telah turun mencelanya, diringankan (siksaannya) di neraka dengan sebab kegembiraan dia dengan malam kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka bagaimana lagi keadaan seorang muslim yang bertauhid dari kalangan ummat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang gembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau shallallahu alaihi wasallam?!, saya bersumpah bahwa tidak ada balasannya dari Allah Yang Maha Pemurah, kecuali Dia akan memasukkannya berkat keutamaan dari-Nya ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan.”
Kisah ini juga dipakai berdalil oleh Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam risalahnya Haulal Ihtifal bil Maulid, hal. 8 tatkala dia berkata, “Telah datang dalam Shahih Al-Bukhari bahwa diringankan siksaan Abu lahab setiap hari Senin dengan sebab dia memerdekakan Tsuwaibah ….”.

Bantahan:
Penyandaran kisah di atas kepada Imam Al-Bukhari adalah suatu kedustaan yang nyata sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh At-Tuwaijiri dalam Ar-Raddul Qawi hal. 56. Karena tidak ada dalam riwayat Al-Bukhari sedikitpun yang disebutkan dalam kisah di atas.
Berikut konteks hadits ini dalam riwayat Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 4711 secara mursal dari Urwah bin Az-Zubair -rahimahullah- dia berkata:
وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
“Tsuwaibah, dulunya adalah budak perempuan Abu Lahab. Abu Lahab membebaskannya, lalu dia menyusui Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tatkala Abu Lahab mati, dia diperlihatkan kepada sebagian keluarganya (dalam mimpi) tentang jeleknya keadaan dia. Dia (keluarganya ini) berkata kepadanya, “Apa yang engkau dapatkan?”, Abu Lahab menjawab, “Saya tidak mendapati setelah kalian kecuali saya diberi minum sebanyak ini (sedikit) karena saya memerdekakan Tsuwaibah”.

Syubhat ini dibantah dari beberapa sisi:
1. Hadits tentang diringankannya siksa Abu Lahab ini telah dikaji oleh para ulama dari zaman ke zaman. Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang menjadikannya sebagai dalil disyari’atkannya perayaan maulid.

2. Ini adalah hadits mursal sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (9/49) karena Urwah adalah seorang tabi’i dan beliau tidak menyebutkan dari siapa dia mendengar kisah ini. Sedangkan hadits mursal adalah termasuk golongan hadits-hadits dhaif (lemah) yang tidak bisa dipakai berdalil.

3. Apa yang dinukil oleh As-Suyuthi dari Ibnul Jauzi di atas bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena memberitakan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam dan karena dia menyusui Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah menyelisihi apa yang telah tetap di kalangan para ulama siroh (sejarah). Karena dalam buku-buku siroh ditegaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah jauh setelah Tsuwaibah menyusui Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Al-Hafizh Ibnu Abdul Barr -rahimahullah- berkata dalam Al-Isti’ab (1/12) ketika beliau menyebutkan kisah menyusuinya Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Tsuwaibah, “Dan Abu Lahab memerdekakannya setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam berhijrah ke Madinah”.

4. Kegembiraan yang dirasakan oleh Abu Lahab hanyalah kegembiraan yang sifatnya tabi’at manusia biasa karena Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah keponakannya. Sedangkan kegembiraan manusia tidaklah diberikan pahala kecuali bila kegembiraan tersebut muncul karena Allah Ta’ala. Buktinya, setelah Abu Lahab mengetahui kenabian keponakannya, diapun memusuhinya dan melakukan tindakan-tindakan yang kasar padanya. Ini bukti yang kuat menunjukkan bahwa Abu Lahab bukan gembira karena Allah, tapi gembira karena lahirnya seorang keponakan. Gembira seperti ini ada pada setiap orang.

(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 165-170, Ar-Raddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat keenam dan Al-Hiwar ma’al Maliki Syubhat pertama)

[Dinukil dari buku kami 'Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi hal. 169-171]

Rabu, 15 Februari 2012

MEMILIH TEMAN MEMBENTENGI KEYAKINAN

Memilih Teman Membentengi Keyakinan (ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman) Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan hamba-hamba-Nya dengan menganugerahi mereka sifat ulfah (kedekatan sesama mereka) di dalam agama, memberikan taufik kepada akhlak yang paling mulia, menganugerahi mereka sifat sayang kepada kaum mukminin, menghiasi mereka dengan akhlak yang mulia dan perangai yang diridhai. Menjadikan mereka meneladani Rasulullah n dalam perbuatan, akhlak, pergaulan, dan amalan mereka. Karena Allah l telah memuji beliau dalam sebuah firman-Nya: “Sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (Al-Qalam: 4) Allah l telah menyeru beliau kepada akhlak yang agung: “Berilah maaf kepada mereka dan mintakanlah ampun buat mereka serta ajaklah mereka bermusyawarah dalam banyak hal dan jika kamu memiliki azam/tekad kuat (untuk melakukan sesuatu) maka bertawakkallah kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 159) Di antara kebagusan pergaulan beliau dan keindahannya, Allah l berfirman: “Jika kamu keras hati niscaya mereka akan lari darimu.” (Ali ‘Imran: 159) “Berikanlah maaf dan serulah kepada yang baik dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199) ‘Aisyah x telah ditanya tentang akhlak Rasulullah n, lalu beliau x berkata: “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” Segala puji bagi Allah l yang telah menjadikan hamba-Nya memiliki akhlak yang agung dan mulia. Dialah yang telah membimbing mereka kepada akhlak dan adab yang terpuji, serta menyelamatkan mereka dari akhlak yang tercela. Allah l berfirman: “Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63) Ulfah (kedekatan hati) akan melahirkan ukhuwah. Ukhuwah akan melahirkan kebagusan dalam bergaul dan berteman. Allah l lah yang memberikan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan membantu mereka dengan karunia serta keluasan rahmat-Nya. Tentunya adab berteman dan bergaul banyak bentuknya. Setiap golongan manusia berhak mendapatkan adab-adab berteman dan bergaul. Oleh karena itu, wajib atas setiap mukmin untuk menjaga hak saudaranya dan memperbagus pergaulannya. Rasulullah n telah menyebutkan bahwa mukmin itu adalah bersaudara, bagaikan satu jasad (tubuh). Tentunya, mereka semestinya akan tolong-menolong dalam kebaikan. مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوْادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى “Permisalan orang yang beriman dalam cinta kasih dan sayang mereka bagaikan satu jasad yang bila salah satu dari anggota tubuh tersebut mengeluh kesakitan maka seluruh anggota tubuh akan begadang dan merasa panas.” (HR. Muslim no. 4685) الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا “Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 2266) Apabila Allah l menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah l memberikan taufiq untuk berteman dengan Ahlus Sunnah, dengan orang yang selalu menjaga diri, orang yang baik, dan baik agamanya. Allah l menyelamatkannya dari berteman dengan pengekor hawa nafsu, ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang. Karena Rasulullah n bersabda: الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ “Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll) Seorang penyair berkata: عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارَنِ مُقْتَدِي Janganlah engkau bertanya tentang jati diri seseorang, tapi tanyakanlah siapa temannya Karena setiap orang akan mengikuti temannya (lihat Muqaddimah Adab Ash-Shuhbah karya Al-Imam Abdurrahman As-Sulami) Ruh-ruh itu ibarat pasukan yang kokoh Watak dan karakter yang berbeda sangat memengaruhi pergaulan sehari-hari. Perbedaan watak dan karakter menyebabkan setiap individu akan mencari yang serupa dan menolak jika tidak sama. Yang baik akan bergabung dengan yang baik dan yang jelek akan bergabung dengan yang jelek. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah n dalam sebuah sabdanya: الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ “Ruh-ruh itu ibarat sebuah pasukan yang kokoh, bila dia saling kenal maka akan bertemu, dan bila saling tidak kenal akan berpisah.” Al-Imam Al-Baghawi t di dalam Syarhus Sunnah (13/57) mengatakan: “Hadits ini disepakati ulama tentang keshahihannya, diriwayatkan oleh Muhammad (Al-Bukhari t, pen.) dari ‘Aisyah x, dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dari Yazid bin Al-Asham, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z. Abdullah bin Mas’ud z berkata, ‘Ruh itu sebuah tentara yang dipersiapkan akan bertemu dengan yang sepadan. Sebagaimana kuda, jika dia cocok maka akan menyatu dengannya, dan bila tidak akan berpisah’.” Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa ruh-ruh diciptakan sebelum jasad, dan bahwa ruh itu merupakan makhluk, ketika bersatu atau berpisah bagaikan sebuah pasukan bila bertemu dan berhadapan. Hal ini karena Allah l telah menjadikannya ada yang beruntung dan ada pula yang celaka. Setelah itu jasad yang menjadi tempat ruh akan bertemu di dunia, maka akan bertemu atau berpisah sesuai dengan keserupaan atau tidaknya, yang telah diciptakan baginya di awal penciptaannya. Sehingga engkau melihat seseorang yang baik akan mencintai yang baik, dan orang yang jahat akan senang kepada yang serupa. Dan masing-masing dari keduanya akan lari dari lawannya.” Al-Imam An-Nawawi t dalam syarah beliau menjelaskan, “Orang yang baik akan condong kepada orang yang baik dan orang yang jahat akan condong kepada yang jahat.” Figur pergaulan dan persahabatan yang baik pada generasi terbaik Sesungguhnya kehidupan ini adalah bagian kecil dari karunia Allah l bagi manusia. Dialah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian agar Allah l menguji siapa yang paling baik amalnya di antara mereka. Dia pula yang telah memilih siapa yang paling dekat dengan diri-Nya dari hamba-hamba-Nya serta siapa yang dijauhkan. Dia pula yang telah mengangkat dan merendahkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan beramal, seseorang akan menjadi mulia di sisi Allah l dan menjadi generasi terbaik dalam kurun kehidupan manusia. Allah l berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13) Rasulullah n bersabda: خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2457) “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11) Generasi siapakah yang mendapatkan karunia pengangkatan derajat pertama kali dari umat ini dengan ilmu dan amal? Itulah generasi sahabat Rasulullah n, sebagaimana dalam hadits ‘Imran bin Hushain z di atas. Bagaimanakah mereka berteman, bergaul, dan bersahabat? Apakah mereka mendahulukan kesukuan dan ras? Atau mendahulukan karakteristik dan perasaan? Atau mendahulukan kekeluargaan? Untuk menjawab semua pertanyaan ini, mari kita lihat bagaimana sifat-sifat mereka yang telah diabadikan Allah l di dalam banyak ayat-Nya. Di antaranya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29) “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin). Mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9) Adakah sifat pergaulan dan persahabatan dalam bermuamalah yang paling tinggi dari apa yang Allah l sifatkan mereka di dalam ayat-ayat di atas? Mereka adalah orang yang keras terhadap orang kafir dan penyayang sesama mereka. Mereka adalah orang yang taat kepada Allah l dalam melaksanakan segala kewajiban. Mereka adalah orang yang tulus ikhlas dalam mencari karunia Allah l. Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan kokoh. Mereka adalah orang yang ditakuti oleh musuh-musuh Allah l. Mereka adalah orang yang mencintai saudaranya lebih dari diri mereka sendiri. Mereka adalah orang yang tidak kikir dan bakhil. Mereka mengutamakan saudaranya daripada kepentingan mereka sendiri. Dengan semua sifat ini, adakah kecurigaan dalam berteman dan persahabatan di antara mereka, buruk sangka, saling benci, saling hasad, saling mencela, saling menjatuhkan, saling menjauhi, mencari-cari kesalahan, dan saling berpaling? Cukuplah pujian dan sanjungan Allah l untuk mereka sebagai generasi terbaik umat ini yang patut untuk diteladani. Memilih teman adalah bagian dari agama “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28) “Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.” (An-Najm: 29) “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116) Rasulullah n memerintahkan kepada kaum lelaki ketika mencari pasangan: “Pilihlah yang beragama. Jika tidak, akan celaka kedua tanganmu.” Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Di dalam hadits ini terdapat anjuran dan dorongan untuk berteman dengan orang yang memiliki agama dalam segala permasalahan. Karena berteman dengan mereka akan mendapatkan kebagusan akhlak mereka, keberkahan, dan kebagusan jalan mereka serta akan terpelihara dari kerusakan yang akan timbul dari mereka.” (Syarah Shahih Muslim 10/52) Teman yang baik akan membantu dalam kebaikan Sesungguhnya syariat telah menganjurkan kita untuk berteman dengan orang-orang yang baik dan menjauhkan diri dari teman yang jelek. Rasulullah n bersabda: الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ “Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad) Beliau n juga menjelaskannya sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Musa z: مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً “Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti (berteman) dengan pembawa minyak wangi dan tukang pandai besi. Dan adapun (berteman) dengan pembawa minyak wangi kemungkinan dia akan memberimu, kemungkinan engkau membelinya, atau kemungkinan engkau mencium bau yang harum. Dan (berteman) dengan tukang pandai besi kemungkinan dia akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang tidak enak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar t di dalam kitabnya Fathul Bari (4/324) menjelaskan: “Di dalam hadits ini terdapat larangan berteman dengan seseorang yang akan merusak agama dan dunia. Hadits ini juga mengandung anjuran agar seseorang berteman dengan orang yang akan bermanfaat bagi agama dan dunianya.” Di dalam hadits ini terdapat bimbingan dan dorongan agar berteman dengan orang-orang yang shalih dan berilmu, karena berteman dengan mereka akan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat. Juga terdapat peringatan dari berteman dengan orang yang jelek dan fasik karena akan membahayakan agama dan dunia. Berteman dengan orang baik akan mewariskan kebaikan, sedangkan berteman dengan orang yang jahat akan mewariskan kejelekan. Tak ubahnya seperti angin, jika dia bertiup pada sesuatu yang wangi maka akan membawa bau yang harum. Jika bertiup pada sesuatu yang busuk, maka akan membawa bau yang busuk. Walhasil, pertemanan akan berpengaruh. Oleh karena itu, Allah l berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119) Sebagian orang bijak berkata: “Selalulah kalian bersama Allah l. Jika kalian tidak sanggup maka bertemanlah kalian dengan orang yang (selalu) bersama Allah l.” (Lihat Mirqatul Mafatih Syarah Misykatu Al-Mashabih, 14/306) Bila teman anda orang yang jelek Saudaraku… Anda pasti tidak akan sudi dan tidak ingin jika api itu akan membakar pakaian anda atau mendapatkan bau yang busuk. Jika anda tidak sudi hal itu menimpa dunia anda, apakah anda akan senang jika hal itu menimpa agama anda? Tentu jawabannya lebih tidak senang. Mari kita simak sabda Rasul kita: الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ “Seseorang berada di atas agama temannya.” (HR. Ahmad) Bagaimanakah pendapat anda jika: 1. Teman anda adalah orang yang rusak agama, manhaj (pemahaman), aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan semua sendi agamanya? 2. Teman anda adalah orang yang curang, pendusta, suka menipu, dan pengkhianat? Sudikah anda berteman bersama mereka? Jika anda mengatakan iya, berarti bersiaplah menuju kehancuran dan kehinaan hidup karena anda melanggar perintah Allah l dan Rasul-Nya. Jika anda mengatakan tidak, tahukah anda teman yang baik yang harus anda cari? Teman yang baik adalah teman yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut; orang yang taat dan selalu menepati janji, amanah, jujur, senang berkorban, terpuji, dan orang yang menjauhi lawan dari sifat tersebut. Oleh karena itu, jika pertemanan tidak dibangun di atas ketaatan, kelak di hari kiamat akan berubah menjadi permusuhan. Allah l berfirman: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67) Beberapa contoh pengaruh teman dalam beragama 1. Dibawakan sebuah riwayat oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Musayyab z, tatkala beliau menyaksikan kematian Abu Thalib sebagai paman Rasulullah n. Bagi kita, tidaklah tersembunyi perihal pembelaan beliau terhadap Rasulullah n dalam mendakwahkan agama Allah l ini. Dengarkan berita ketika matinya: “Tatkala Abu Thalib di atas ranjang kematiannya, datanglah Rasulullah n kepadanya dengan menawarkan Islam, ‘Wahai pamanku, ucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku bisa membelamu kelak di sisi Allah’, dua saudara Abu Thalib yaitu Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl yang lebih dahulu hadir mendiktekan sesuatu yang bertolak belakang dengan ajakan Rasulullah n, yaitu agar Abu Thalib tetap mempertahankan agama kufurnya. Takdirlah telah mendahului dia bahwa dia harus mati dalam kondisi kafir di atas agama nenek moyangnya.” Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab t mengambil faedah melalui hadits ini dalam kitab beliau At-Tauhid bab firman Allah l: “Innaka Laa Tahdi Man Ahbabta” faedah yang kedelapan, Bahaya teman yang jahat terhadap seseorang. 2. ‘Imran bin Haththan bin Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, termasuk salah satu ulama tabi’in. Beliau meriwayatkan dari ‘Aisyah, Abu Musa, dan Ibnu Abbas g, dan yang meriwayatkan darinya adalah Ibnu Sirin, Qatadah, dan Yahya bin Abi Katsir. Akan tetapi beliau termasuk tokoh Khawarij. Hal ini karena awalnya dia ingin menikahi anak pamannya yang berpemahaman Khawarij. Kata Ibnu Sirin, dia menikahinya dalam rangka untuk membantahnya. Namun istrinya yang justru menyeretnya ke dalam madzhab Khawarij. Disebutkan oleh Al-Mada’ini bahwa wanita itu memiliki kecantikan, sementara dia memiliki rupa yang jelek. Pada suatu hari, dia terheran lalu wanita tersebut berkata kepadanya: “Saya dan kamu di dalam jannah karena kamu diberi lalu bersyukur dan aku diuji lalu aku bersabar.” 3. Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam bin Nafi’ bin Sa’dan Al-Himyari Al-Yamani (lebih dikenal dengan Ash-Shan’ani, penulis Al-Mushannaf) Beliau adalah hafizh besar, alim negeri Yaman. Beliau berangkat mendulang ilmu ke negeri Hijaz, Syam, dan Irak. Beliau tertipu dengan pemikiran gurunya, Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhaba’i, sehingga terpengaruh paham Syi’ah. 4. Abu Bakr Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa, Al-Hafizh, Al-Allamah, Ats-Tsabt, Al-Faqih, Syaikhul Islam, yang masyhur dengan nama Al-Baihaqi. Beliau adalah salah satu dari sederetan ulama ahli hadits, bahkan ulama mereka. Beliau terpengaruh paham Asy’ariyyah dari Ibnu Faurak dan semisalnya. 5. Abu Dzar Al-Harawi, ‘Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ufair bin Muhammad, Al-Hafizh, Al-Imam, Al-Mujawwid, Al-’Allamah, syaikh negeri Haram. Beliau termasuk salah satu perawi Al-Bukhari dan menulis ilzamat atas Ash-Shahihain serta termasuk murid Al-Imam Ad-Daruquthni. Beliau mendengar Al-Imam Ad-Daruquthni memuji Al-Baqillani, lalu beliau terpengaruh dan mencintainya sehingga beliau terjatuh ke dalam madzhab Asy’ariyyah serta menyebarkannya di negeri Maghrib (Afrika Utara bagian barat). (Lihat Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi dalam biografi para ulama di atas. Lihat pula tulisan Asy-Syaikh Rabi’, Syarah Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 302) Ini adalah beberapa contoh dari sejumlah besar orang yang terpengaruh dengan paham kesesatan karena salah dalam memilih teman. Jika hal itu terjadi pada diri para ulama besar, akankah kita akan merasa aman? Wallahu a’lam bish-shawab. Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 059

MENYIBUKAN DIRI DENGAN ILMU,IBADAH DAN DOA

Mari Menyibukkan Diri Dengan Ilmu, Ibadah dan Doa (ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan) Allah l dengan hikmah-Nya yang sempurna dan keadilan-Nya menjadikan dunia yag fana ini sebagai medan ujian dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya. Inilah yang diberitakan Allah l dalam firman-Nya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha pengampun.” (Al-Mulk: 2) Mereka dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Di antaranya adalah harta, sehingga ada sebagian orang yang kaya dan ada yang miskin. Juga tahta sehingga di antara mereka ada yang menjadi pejabat dan ada yang menjadi rakyat. Dan ujian berupa ilmu, maka di antara mereka ada yang berilmu dan ada yang tidak berilmu (jahil). Dan masih banyak lagi berbagai fitnah (ujian) di dunia ini. Hal ini sebagaimana yang Allah l firmankan: “Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20) Dengan adanya berbagai ujian dan cobaan itu, kita pun menyaksikan sebagian orang berjatuhan. Kita senantiasa memohon hanya kepada Allah l keselamatan dari berbagai fitnah (ujian dan godaan). Allah l berfirman: “Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.” (At-Taubah: 49) Sehingga, terpilahlah hamba-hamba-Nya menjadi dua golongan, ash-shadiqun (orang-orang yang benar/jujur) dan al-kadzibun (orang-orang yang berdusta). Sebagaimana yang Allah l beritakan: Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-’Ankabut: 1-3) Lalu, siapakah orang yang akan selamat tatkala menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sehingga dia berhak mendapatkan janji Allah l di dunia dan di akhirat? Jawabannya, mereka pastilah orang-orang yang mendapatkan keutamaan dan rahmat Allah l, sebagaimana firman-Nya: “Maka kalau tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 64) “Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah atasmu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83) Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya: “Maksudnya, bila bukan karena hidayah taufiq yang Allah l karuniakan kepada kalian, juga tuntunan adab dan ilmu yang Allah l ajarkan kepada kalian –di mana kalian sebelumnya tidak mengetahuinya– niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sedikit saja di antara kalian yang selamat. Karena tabiat asli manusia adalah zalim dan jahil, sehingga tidaklah jiwa memerintahkan kecuali kepada yang jelek.” Apabila dia meminta perlindungan kepada Rabbnya dan berpegang teguh dengan-Nya, serta bersungguh-sungguh dalam hal itu, niscaya Allah l akan merahmatinya. Allah l memberi hidayah kepadanya untuk melakukan berbagai kebaikan dan melindunginya dari tipu daya setan yang terkutuk. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan: “Fitnah (ujian/godaan) itu banyak jumlahnya dan bermacam-macam bentuknya. Dia datang silih-berganti dari waktu ke waktu. Seorang muslim yang berpegang teguh dengan agamanya senantiasa akan menghadapi berbagai ujian itu. Barangsiapa yang selamat dari berbagai macam fitnah, berarti dia memiliki dua hal yang agung, yaitu keutamaan dari Allah l yang dilimpahkan kepadanya dan mendapatkan hidayah dari Allah l. Allah l berfirman kepada para sahabat g setelah tersebarnya haditsul ifk (berita keji dan dusta) terhadap Ummul Mukminin Aisyah x: “Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya atas kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21) Selanjutnya berkata: “Alangkah nikmatnya orang yang diberi hidayah taufiq untuk menjauhi berbagai fitnah, baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (At-Tanbihul Hasan hal. 12) Demikianlah. Rasulullah n bersabda: إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ وَمَنِ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا “Sesungguhnya orang yang bahagia adalah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, dan barangsiapa yang diuji lalu bersabar, maka betapa indahnya.” Di antara upaya yang bisa ditempuh agar seorang muslim selamat dari berbagai fitnah adalah: 1. Menyibukkan diri dengan ilmu Rasulullah n bersabda: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ “Barangsiapa yang Allah l kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah akan menjadikannya paham dalam agama.” (Muttafaqun alaih dari Mu’awiyah z) Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Yang dapat dipahami dari hadits ini adalah barangsiapa yang tidak berusaha untuk mempelajari agama, di mana dia tidak mempelajari kaidah-kaidah yang ada di dalamnya, juga tidak mempelajari segala sesuatu yang terkait dengannya berupa berbagai permasalahan cabangnya, sungguh dia telah diharamkan (terhalang) dari kebaikan.” (Fathul Bari 1/165) Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil mengatakan: “Termasuk pengarahan orangtuaku (yakni Asy-Syaikh Muqbil t) adalah ‘Bersungguh-sungguhlah kalian dalam belajar, sebelum datangnya hal-hal yang akan memalingkan kalian darinya.’ Dan kesibukan-kesibukan itu berbanding terbalik dengan mencari ilmu, mengulangnya, terlebih lagi menghafalnya. Semakin banyak kesibukan akan melemahkan ingatan. Oleh karena itulah, sebagian ulama ketika menduduki jabatan hakim, seperti Syarik bin Abdillah An-Nakha’i t, hafalannya menjadi jelek karena kesibukannya. Meskipun ada ulama lain yang ketika menjabat justru semakin bertambah banyak ilmunya. Permasalahan apapun yang dihadapkan kepadanya dia akan membahasnya, seperti Al-Imam Asy-Syaukani t. Barakah itu hanyalah dari Allah l semata.” (Nashihati lin Nisa’ hal. 23) Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan: “Sesungguhnya, termasuk faedah mempelajari dan memahami ilmu agama ini adalah berusaha menempuh jalan yang akan menyelamatkan diri dari berbagai macam fitnah. Ini adalah keutamaan yang Allah l karuniakan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Beliau juga berkata: “Sesungguhnya keagungan agama Islam itu tersimpan dalam setiap ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah n. Sehingga tatkala umat Islam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sudah ada jalan keluarnya di dalam ayat atau hadits tersebut. Bahkan, satu ayat atau hadits, bisa mengandung lebih dari satu jalan keluar. Sungguh, Islam datang membawa obat bagi setiap fitnah yang muncul, namun sedikit sekali orang yang terobati dengannya. Sebagai contoh, ketika Rasulullah n meninggal, terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat, apakah pakaian yang dikenakan beliau harus dilepaskan ketika dimandikan atau tidak. Tiba-tiba mereka mendengar perkataan “Jangan kalian lucuti pakaian Rasulullah n”, sehingga mereka tidak melakukannya. Mereka juga berbeda pendapat tentang siapa yang akan menjadi khalifah setelah Rasulullah n meninggal. Abu Bakr z kemudian berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Quraisy adalah yang akan memegang urusan ini.” Sehingga para sahabat pun menyerahkan kedudukan tersebut kepada Abu Bakr z, karena beliau dari Quraisy. Perhatikanlah bagaimana perbedaan di antara mereka g dapat dengan mudah diselesaikan dengan berdasarkan ilmu dan tunduk kepada dalil serta penjelasan yang syar’i. Sehingga menuntut ilmu dan memahaminya adalah dasar atau fondasi setiap kebaikan. Hanya saja, menuntut ilmu dilakukan kepada ahlul ilmi yang lurus aqidahnya, selamat manhajnya, dan bagus niatnya. Kemudian, memilih kitab-kitab yang baik dan guru yang cerdas dalam memahami agama. Inilah hal-hal yang dicari oleh setiap orang yang mencari kebenaran.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 26-27) 2. Menyibukkan diri dengan ibadah Allah l berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133) Rasulullah n bersabda: بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا “Bersegeralah kalian beramal (shalih) untuk menyelamatkan diri dari berbagai fitnah yang seperti potongan malam yang gelap. Di mana seseorang pada pagi hari dalam keadaan beriman lalu di sore harinya dia menjadi kafir. Ada pula yang di sore hari dalam keadaan beriman kemudian dia masuk waktu pagi menjadi kafir. Dia menjual agamanya untuk mendapatkan keuntungan dunia.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z) Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila setiap muslim menyibukkan diri dengan ibadah sebagaimana yang Allah l kehendaki, niscaya tidak ada waktu yang terbuang sia-sia untuk terlibat dalam fitnah, berdebat dan berbantah-bantahan. Benarlah Nabi n ketika bersabda: نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ؛ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ “Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu padanya (terbuang sia-sia): nikmat kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas c) Beliau hafizhahullah juga berkata: “Kata ibadah di sini mencakup seluruh jenis ibadah, seperti kejujuran, keikhlasan, perasaan dekat (diawasi) oleh Allah l, takwa, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, sabar, teguh di atas kebenaran, komitmen dalam belajar dan mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Demikian pula amalan shalih yang lain seperti shalat dan puasa, dalam hal muamalah maupun akhlak, serta macam-macam ibadah lainnya.” (At-Tanbihul Hasan hal. 12) Hal ini termasuk terapi yang sangat baik. Demikian juga upaya untuk mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi umat manusia. Bila semua orang menyibukkan diri dengan amalan masing-masing, niscaya tidak akan terjadi fitnah, seperti demonstrasi dan penggulingan kekuasaan. Semua ini adalah fitnah. Maka, alangkah agungnya terapi yang syar’i ini dan alangkah sedikitnya orang yang bisa mengambil manfaat darinya. (At-Tanbihul Hasan, hal. 14) 3. Bertanya kepada ahlul ilmi (ulama) Allah l berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43) Allah l juga berfirman: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83) Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya: “Ini adalah tuntunan adab dari Allah l bagi hamba-hamba-Nya terhadap sikap mereka yang tidak sepantasnya ini. Selayaknya, apabila suatu berita yang penting atau terkait dengan kepentingan umat sampai kepada mereka –seperti berita yang berkaitan dengan keamanan, atau berita yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau urusan yang dikhawatirkan akan menimpa mereka– hendaknya mereka memperjelas kebenarannya terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka menyerahkan urusan tersebut kepada Rasul n (semasa hidup beliau) atau menyerahkannya kepada ulim amri di antara mereka, yaitu orang-orang yang ahli menentukan pendapat, berilmu, penasihat, dan memiliki sikap tenang. Mereka adalah orang-orang yang memahami urusan-urusan tersebut dan dampaknya yang baik. Mereka juga orang-orang yang paham terhadap akibat jelek yang akan ditimbulkannya. Sehingga, apabila mereka melihat kebaikan dan akan menggembirakan orang-orang yang beriman, atau justru akan membangkitkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, niscaya mereka akan menyebarkannya. Namun apabila mereka melihat bahwa tidak ada kebaikan untuk disebarkan, atau mengandung kebaikan bila disebarkan tetapi dampak buruknya yang lebih besar, niscaya mereka tidak akan menyebarkannya. Oleh karena itulah, Allah l berfirman: “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” Maknanya, kata beliau t, mereka akan berusaha mengeluarkan hukum atau keputusan dengan pikiran dan pendapat yang tepat serta ilmu mereka yang mapan. Dalam firman Allah l ini terdapat dalil yang menunjukkan benarnya sebuah kaidah dalam adab, yaitu apabila terjadi pembahasan sebuah masalah yang sangat penting, sudah selayaknya urusan tersebut diserahkan kepada orang-orang yang ahli di dalamnya, dan tidak boleh ada yang mendahului mereka. Dengan cara ini, akan lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat. Disamping itu, firman Allah l ini juga mengandung larangan dari sikap tergesa-gesa dalam menyebarkan berita setelah mendapatkannya. Yang diperintahkan justru untuk memerhatikan dan meneliti lebih dahulu sebelum menyebarkannya, apakah berita itu berupa kebaikan sehingga dapat disebarkan, ataukah sebaliknya. Kemudian Allah l berfirman: “Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” Maksudnya, bila bukan karena hidayah taufiq dari Allah l, tuntunan dan ajaran terhadap hal-hal yang tidak kalian ketahui sebelumnya, niscaya kalian akan mengikuti bisikan setan, kecuali sedikit saja dari kalian yang selamat. (Taisir Al-Karimirrahman) Namun, musibah bisa saja terjadi sebagaimana yang diperingatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil t: “Namun sebagian penuntut ilmu merasa mantap atau cukup dengan sedikit ilmu yang dimilikinya. Dia siap membantah setiap orang yang menyelisihi pendapatnya. Ini adalah salah satu sebab yang akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Wallahul musta’an.” Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Para penuntut ilmu adalah duta para ulama kepada umat manusia. Hanya saja yang dicela di antara mereka adalah yang mendahului para ulama serta merasa tidak membutuhkan arahan dan nasihat mereka, kemudian tidak mau menimba ilmu dari para ulama.” (Bidayatul Inhiraf, hal. 437) 4. Berdoa Hakikatnya, seorang hamba sangat membutuhkan ilmu dan petunjuk, sehingga dia meminta dan mencarinya. Dengan mengingat Allah l dan merasa sangat membutuhkan-Nya, niscaya Allah l akan menunjukinya, sebagaimana firman Allah l dalam hadits qudsi: يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali siapa yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan menunjukimu.” (HR. Muslim dari Abu Dzar z) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Apabila seorang hamba merasa dirinya sangat membutuhkan Allah l dan senantiasa berusaha meneliti firman Allah l, sabda Rasulullah n dan ucapan para sahabat g, tabi’in, serta para imam kaum muslimin, niscaya akan terbuka baginya jalan petunjuk.” (Majmu’ Fatawa, 5/118) Beliau t juga berkata: “Barangsiapa yang telah jelas baginya kebenaran dalam suatu urusan, hendaknya dia mengikutinya. Sedangkan barangsiapa yang masih belum mendapatkan kejelasan hendaknya dia tidak bersikap sampai Allah l menampakkan kejelasan kepadanya. Selayaknya dia meminta pertolongan dalam urusan tersebut dengan berdoa kepada Allah l. Termasuk doa yang paling baik dalam urusan tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya dari Aisyah x, bahwa bila Nabi n terbangun dari tidur malamnya, beliau lalu shalat dan berdoa (dalam doa iftitahnya): للَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَئِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَتَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كاَنُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ “Ya Allah, wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka berselisih di dalamnya. Tunjukilah aku mana yang benar dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Sesungguhnya orang yang meneliti dan membahas ilmu ketika membutuhkannya untuk beramal atau berbicara, kemudian dia belum mendapatkan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran setelah dia meniatkan mencarinya dalam hatinya dan membahasnya, maka sesungguhnya Allah l tidak akan mengecewakan orang yang seperti ini. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Musa q ketika beliau bermaksud pergi ke kota Madyan padahal beliau tidak tahu jalan ke arahnya. Beliau q berdoa: “Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash: 22) Sungguh Allah k telah membimbing beliau serta memberikan apa yang beliau harapkan dan cita-citakan.” (Taisir Al-Lathifil Mannan, hal. 180) Kita memohon kepada Allah l semata agar kita senantiasa ditunjuki kepada jalan yang lurus dan diselamatkan dari berbagai fitnah hingga datangnya ajal kita. Amin ya Rabbal alamin. Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 059

IHSAN DAN HIDAYAH

Ihsan dan Hidayah (ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc) Ihsan Perintah untuk berbuat ihsan cukup banyak, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 195, Allah I berfirman: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195) Dalam hadits Nabi n disebut: Dari Syaddad bin Al-Aus z, ia mengatakan Dua perkara yang saya menghafalnya dari Rasulullah n, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya seseorang dari kalian menajamkan pisaunya dan tidak menyiksa sembelihannya.” (Shahih, HR. Muslim) Pengertian Ihsan Ihsan yaitu berbuat baik ada dua macam: q Ihsan dalam beribadah kepada Al-Khaliq (Allah), yaitu mengeluarkan kemampuan untuk menyempurnakan ibadah dan memperbagusnya serta melaksanakan hak-haknya yang dhahir maupun yang batin. q Ihsan kepada makhluk yaitu dengan menyampaikan segala apapun dalam kemampuan seseorang baik berupa manfaat ilmu, jasamani dan harta untuk mereka. Begitu pula yang berupa nasehat keagamaan, keinginan baik dalam urusan dunia, bantuan dan anjuran untuk kebaikan. Oleh karenanya orang-orang yang muhsin (berbuat ihsan), mereka berbeda-beda tingkatannya dengan perbedaan yang jauh, sesuai dengan pelaksanaan mereka terhadap ihsan yang bermacam-macam kepada makhluk yang baik ataupun yang jahat. Bahkan sampai pun kepada hewan-hewan, sebagaimana sabda Nabi n: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu.” Hidayah Dalam Al Qur`an dan hadits terdapat banyak perintah untuk meminta hidayah. Apa sesungguhnya makna hidayah? Al-Hidayah atau Al-Huda (Petunjuk) Hidayah ada dua macam: 1. Hidayah kepada ilmu bimbingan dan pengajaran 2. Hidayah taufiq1 dan menjadikan petunjuk tersebut dalam qalbu Dua macam hidayah ini dicari di sisi Allah, mungkin dengan cara yang mutlak (umum) semisal ucapan seorang hamba: ”Ya Allah, tunjukilah aku”, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk” atau memohon dengan cara yang lebih khusus yaitu memohon jalan petunjuk yang bermanfaat. Semisal ucapan seseorang yang shalat: “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Orang yang mendapat hidayah disebut muhtadi. Jalan terbesar untuk mendapatkan hidayah adalah Al Qur`an. Oleh karenanya Allah menyebutnya sebagai huda secara mutlak. Allah I berfirman: “Kitab Al-Qur`an ini tidak ada keraguan di dalamnya;petunjuk bagi orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 2) “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada(jalan)yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (Al-Isra`: 9) Dan petunjuk ini mencakup perkara duniawi dan perkara agama yang bermanfaat. Wallahu a’lam. Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 017

UPAYA MENGAGUNGKAN SUNAH NABI

Upaya Mengagungkan Sunnah Nabi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)

Rihlah (melakukan perjalanan) dengan tujuan memperoleh hadits atau ilmu agama Islam telah dilakukan oleh para sahabat semenjak masa Nabi n. Sebagian mereka melakukan rihlah karena ingin mendengarkan risalah baru yang dibawa Rasulullah n. Mereka ingin mendengarkan Al-Qur’an Al-Karim yang diwahyukan kepada Rasulullah n. Selain itu, ingin pula mempelajari Islam dari beliau n. Sebagian mereka meninggalkan keluarga selama beberapa hari dan menetap bersama Rasulullah n. Ini tergambar dari hadits Abu Sulaiman Malik ibnul Huwairits z. Dia berkata:
قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ n وَنَحْنُ شَبَبَةٌ فَلَبِثْنَا عِنْدَهُ نَحْوًا مِنْ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ النَّبِيُّ n رَحِيمًا فَقَالَ: لَوْ رَجَعْتُمْ إِلَى بِلَادِكُمْ فَعَلَّمْتُمُوهُمْ، مُرُوهُمْ فَلْيُصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Kami, beberapa pemuda, menetap bersama Nabi n (di Madinah) selama dua puluh malam. Adalah Nabi n bersikap penyayang. Beliau n bersabda, “Apabila kalian pulang ke negeri kalian, bimbinglah masyarakat negeri kalian. Perintahkan mereka agar shalat ini pada waktu ini dan shalat itu pada waktu itu. Apabila tiba waktu shalat, adzanlah dan hendaklah yang tertua di antara kalian menjadi imam.” (HR. Al-Bukhari no. 675)
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“…Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 631)
Jabir bin Abdillah al-Anshari z, seorang sahabat yang mulia, pernah bertutur bahwa telah sampai kepadanya sebuah hadits dari seseorang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah n. Dia lantas membeli seekor unta dan pergi ke negeri Syam menungganginya. Perjalanan ditempuhnya selama satu bulan. Setiba di Syam, dia menemui Abdullah bin Unais z. Dia katakan kepada penjaga pintu, “Katakan kepadanya, Jabir (menanti) di depan pintu.” Penjaga itu pun menyampaikannya kepada Abdullah bin Unais z. Kemudian Abdullah bin Unais z menyapa, “Ibnu Abdillah?” “Ya,” jawab Jabir. Keluarlah Abdullah bin Unais z menemui Jabir bin Abdillah z. Keduanya lalu berpelukan. Jabir lantas mengungkapkan, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits yang berasal darimu. Sesungguhnya engkau mendengarnya dari Rasulullah n. Aku khawatir aku dan engkau meninggal sebelum aku mendengarnya. Abdullah bin Unais z menjawab, “Aku telah mendengar (hadits tersebut) dari Rasulullah n yang bersabda:
يَحْشُرُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُرَاةً ….
“Allah mengumpulkan manusia pada hari kiamat dalam keadaan tidak berpakaian….” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, juga disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi, Bab Al-Khuruj fi Thalabil ‘Ilmi)
Bagaimana pula dengan Abu Ayub Al-Anshari z? ‘Atha bin Abi Rabah pernah berkisah tentang sahabat mulia yang satu ini. Katanya, “Abu Ayub menemui ‘Uqbah bin ‘Amir z yang menetap di Mesir. Dia hendak menanyakan kepada ‘Uqbah perihal satu hadits yang pernah didengar ‘Uqbah dari Rasulullah n. Tatkala Abu Ayub tiba di rumah Maslamah bin Mukhallad al-Anshari, yang menjabat Gubernur Mesir waktu itu, diberitahukanlah kedatangan Abu Ayub kepadanya. Maslamah pun bergegas menyambutnya dan keduanya berpelukan saat bertemu kali pertama. Abu Ayub ditanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang kemari?” Jawabnya, “Sebuah hadits yang aku dengar berasal dari Rasulullah n.” Lantas Maslamah menunjuk seseorang yang bisa mengantarkan Abu Ayub ke tempat ‘Uqbah bin ‘Amir. Setiba di tempat ‘Uqbah, Abu Ayub ditanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang kemari?” Jawab Abu Ayub, “Sebuah hadits yang berasal dari Rasulullah n perihal (adab) menutupi (cacat/aib) seorang mukmin.” Kata Uqbah, “Ya. Aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُؤْمِنًا فِي الدُّنْيَا عَلَى كُرْبَتِهِ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menutupi (tidak menyebarkan) kejelekan seorang mukmin di dunia, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat nanti.”
Setelah mendengar pernyataan ‘Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayub pun berucap, “Engkau benar.” Lantas dia pun pamit dan pulang ke Madinah. (Shuwarun min Shabril Ulama ‘ala Syada’idil ‘Ilmi wat Tahshil, Shalahuddin bin Mahmud as-Sa’id, hlm. 45—46)
Demikianlah para sahabat g. Mereka menampilkan keberanian untuk menempuh perjalanan jauh nan penuh aral melintang, dan tentu saja, tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi dibanding zaman sekarang. Semua itu mereka tempuh walau hanya untuk mendapatkan satu hadits. Lantaran ini pula, Al-Imam Ash-Shahabi, Abdullah bin Mas’ud z pernah berkata, “Seandainya aku mengetahui ada orang yang lebih berilmu daripada diriku tentang Kitabullah, niscaya aku akan menaiki unta mendatanginya.” Begitu pula sahabat-sahabat mulia lainnya.
Demikian halnya dengan para tabi’in yang mulia. Sa’id bin Musayib t, pernah mengatakan, “Sungguh aku pernah melakukan perjalanan sehari semalam hanya untuk mendapatkan satu hadits.”
Dari Katsir bin Qais, dia mengatakan bahwa dirinya pernah bermajelis di sisi Abu Darda’ z di sebuah masjid Damaskus. Datanglah seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Abu Darda’, aku datang dari Madinah untuk menjumpaimu berkaitan dengan satu hadits. Telah sampai kepadaku berita bahwa hadits yang engkau beritakan itu dari Nabi n.” Abu Darda’ lalu bertanya, “Apakah kedatanganmu karena ada keperluan dagang?” Jawab laki-laki itu, “Tidak.” “Atau karena keperluan lainnya?” tanya Abu Darda’ lebih lanjut. Jawabnya, “Tidak.” Menanggapi hal itu, Abu Darda’ berucap, “Sungguh aku telah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh satu jalan dalam rangka mencari ilmu, Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju surga.”
Sampai-sampai ada yang meriwayatkan perkataannya, “Apabila kami telah mendengar satu riwayat di Basrah dari para sahabat Rasulullah n, kami tidak ridha hingga kami berkendara menuju Madinah dan mendengarkan riwayat tersebut langsung dari lisan-lisan para sahabat.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/15—16)
Kisah rihlah guna mendapatkan hadits atau ilmu agama telah banyak dipaparkan oleh para ulama. Cukup sudah sebagai bukti betapa kemuliaan umat ini ditinggikan dengan amalan rihlah yang mulia. Sebab, bagaimanapun, rihlah yang ditempuh para ulama merupakan bentuk penjagaan terhadap As-Sunnah. Melalui rihlah itulah As-Sunnah terkumpul dan tersusun dengan baik.
Sesungguhnya, pemeliharaan dan penjagaan para sahabat g, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka rahimahumullah terhadap hadits nan mulia, serta rihlah untuk mendapatkannya, merupakan bentuk upaya mendapatkan ketinggian dalam isnad. Selain itu, untuk menegaskan secara pasti perihal kesahihan dari apa yang telah didengarnya. Bahkan bagi mereka juga sebagai bentuk tatsabbut (klarifikasi) terhadap seorang perawi yang meriwayatkan hadits atau peristiwa tertentu. Karena itu, salah satu kekhususan yang paling penting dari umat Nabi Muhammad n adalah isnad. Melalui isnad inilah, proses penyampaian ilmu-ilmu syariat dari generasi salaf kepada generasi berikutnya terlaksana. Senyatanya, isnad merupakan syarat utama dan pertama dalam ilmu penukilan, walaupun yang dinukil hanya satu kalimat. Oleh karena itu, generasi yang datang kemudian (khalaf) akan bergantung kepada generasi terdahulu (salaf) lantaran adanya isnad.
Isnad secara bahasa terambil dari wazan أَفْعَلَ. Makna isnad adalah:
إِضَافَةُ الشَّيْءِ إِلَى الشَّيْءِ
“Menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain.”
Adapun secara istilah, isnad memiliki dua penggunaan.
1.    Mengangkat hadits kepada yang mengatakannya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Jamaah. Adapun menurut Al-Manawi, arti أَسْنَدْتُهُ إِلَى فُلَانٍ (aku telah mengisnadkan kepada fulan) adalah aku telah mengangkat hadits kepadanya dengan menyebutkan penukilnya. Menurut Al-Jurzani, isnad yaitu seorang muhaddits menyebutkan:
حَدَّثَنَا فُلَانٌ عَنْ فُلَانٍ عَنِ النَّبِيِّ n
“Fulan telah menyampaikan hadits kepada kami dari fulan, dari Nabi n.”
2.    Memiliki makna as-sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan (hadits). (Lihat ‘Ulumul Hadits, Muhammad Abu al-Laits al-Khair Abadi, hlm. 31)
Isnad merupakan salah satu kekhususan yang utama bagi umat ini. Kekhususan ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Dalam Tarikh Naisabur karya Al-Hakim an-Naisaburi t, disebutkan dari Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali—lebih dikenal sebagai Ishaq bin Rahawaih—bahwa dia berkata, “Apabila Abdullah bin Thahir—Gubernur Khurasan pada masa Abbasiah, wafat tahun 230 H—bertanya kepadaku tentang sebuah hadits, aku menyebutkannya kepadanya tanpa sanad. Lalu dia bertanya tentang sanad hadits tersebut seraya mengatakan, “Meriwayatkan sebuah hadits tanpa disertai isnad termasuk perbuatan az-zamna (orang-orang berpenyakit). Sungguh, isnad hadits merupakan karamah (kemuliaan) dari Allah l bagi umat Muhammad n’.”
Isnad merupakan bagian agama yang agung kedudukannya. Al-Hafizh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad—ketika menyebutkan biografi Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Amin al-Bukhari—telah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada murid Abdullah bin al-Mubarak, Abdan bin Utsman, bahwa dia berkata, “Aku telah mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata:
الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnad, seseorang akan mengatakan apa yang dia kehendaki.”
Seiring terjadinya fitnah pada umat, banyaknya pemalsuan hadits, dan kedustaan atas nama Nabi n, isnad menjadi satu prinsip yang harus diteguhkan. Dengan mengetahui para periwayat sebuah hadits, akan diketahui apakah hadits tersebut kuat atau lemah, benar atau dusta. Jika para periwayat hadits tersebut adalah orang-orang yang adil, haditsnya diterima. Jika tidak, haditsnya ditolak. Ibnu Sirin t pernah mengungkapkan bahwa mereka dahulu tidak menanyakan tentang isnad. Namun, tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, “Sebutkan rijal (para periwayat hadits) kalian. Mereka melihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil hadits mereka. Dan mereka melihat kepada ahlul bid’ah maka mereka tidak mengambil haditsnya.”
Muhammad bin Sirin t juga mengungkapkan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Muqaddimah Shahih Muslim)
Pernyataan Muhammad bin Sirin t di atas merupakan sepenggal nasihat emas bagi kaum muslimin. Nasihat untuk tidak meremehkan sumber pengambilan nilai-nilai Islam. Betapa banyak kaum muslimin yang terperosok dalam kesesatan lantaran salah mengambil dan mempelajari agama Islam. Bisa jadi, materi kajian yang disampaikan adalah sama, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tatkala mubalig yang menyampaikan penjelasan ayat dan hadits tersebut memiliki pemikiran dan keyakinan yang menyelisihi salafus shalih, nilai-nilai Islam yang diajarkan pun menjadi tidak benar. Hadits-hadits lemah dan palsu pun dijadikan pegangan dalam mengamalkan Islam. Muara semua itu adalah terseretnya umat kepada kesesatan. Wal ‘iyadzu billah.
Ali bin Abi Thalib z berkata, “Nabi n bersabda:
لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
“Janganlah kalian berdusta atas namaku. Barang siapa berdusta atas namaku, dia akan masuk neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 106)
Anas bin Malik z berkata:
إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ النَّبِيَّ n قَالَ: مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Sesungguhnya yang menghalangiku menyampaikan banyak hadits kepada kalian adalah bahwasanya Nabi n bersabda, “Barang siapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 108)
Salamah z berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
‘Barang siapa berbicara atas namaku, padahal aku tidak pernah mengucapkannya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka’.” (HR. Al-Bukhari no. 109)
Menurut Ibnu Hajar al-’Asqalani t dalam Fathul Bari (1/253), yang dimaksud “Janganlah kalian berdusta atas namaku” (dalam hadits Ali z) adalah kedustaan yang bersifat umum, meliputi seluruh kedustaan secara mutlak. Jadi, maknanya adalah “Janganlah kalian menisbahkan kedustaan itu kepadaku.”
Adapun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, berdusta atas nama Allah l dan Rasul-Nya tidak seperti berdusta atas nama selain keduanya. Berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya sudah memuat unsur hukum syar’i, atau berkait dengan sifat Allah k yang tidak sahih dari-Nya. Maka dari itu, dusta semacam ini merupakan kedustaan terbesar atas nama Allah l. Allah l berfirman:
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah….” (Al-An’am: 93)
Setelah itu, kedustaan yang diatasnamakan Nabi n (termasuk dalam kategori ini). Kedustaan atas nama Nabi n di dalam syariat sama kedudukannya dengan kedustaan atas nama Allah l.
Adapun hadits Anas bin Malik z:
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا…
“Barang siapa dengan sengaja berdusta atas namaku….”
membatasi kemutlakan dua hadits sebelumnya. Oleh karena itu, apabila seseorang dengan sengaja meniatkan berdusta atas nama Rasulullah n berarti dia telah mengubah apa yang telah disyariatkan atau dia menghalalkannya. Sungguh hal yang semacam ini akan mengeluarkannya dari Islam. Faedah lain dari hadits-hadits tersebut adalah seseorang tidak boleh menyampaikan hadits dhaif melainkan bila hendak menyampaikan perihal kedhaifannya, karena dikhawatirkan setelah mendengar hadits dhaif tersebut akan ada orang yang mengamalkannya. Ini tentu saja berbahaya. Adapun hadits yang maudhu’ (palsu), tentu lebih dahsyat lagi bahayanya. (Syarhu Shahih al-Bukhari, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 1/281—285)
Hakikat Mengagungkan Sunnah Nabi n
Sesungguhnya Allah l telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah n. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 32)
Allah l berfirman pula:
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa’: 80)
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau n bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Jawab beliau n, “Barang siapa menaatiku dia masuk surga, sedangkan orang yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah enggan.” (HR. Al-Bukhari no. 7280)
Allah l telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengikuti Rasulullah n. Hal ini bahkan dijadikan sebagai syarat bila hendak mendapatkan kecintaan-Nya. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Bahkan, Allah l memerintahkan manusia untuk mengikuti Rasulullah n sebagai cara untuk memperoleh hidayah. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’.” (Al-A’raf: 158)
Allah l juga telah menjadikan Rasulullah n sebagai teladan terbaik bagi seluruh umat. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Ayat ini memberikan isyarat bahwa orang yang beriman dan menghendaki ganjaran dari Allah l hendaklah menjadikan Rasulullah n sebagai teladan dalam segala aspek kehidupan. Tiadalah hakikat meneladani, menaati, dan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah n melainkan menunaikan apa yang diperintahkan dan mencegah apa yang dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya n. (‘Ulumul Hadits, Muhammad Abu Al-Laits, hlm. 41—42)
Inilah hakikat mengagungkan As-Sunnah An-Nabawiyah, yaitu menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari dengan senantiasa mengikhlaskannya karena Allah l.
Wallahu a’lam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.

KEUTAMAAN IFAH DAN BERSABAR

Keutamaan Iffah dan Bersabar

(ditulis oleh: Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di)
Abu Sa’id al-Khudri z menyampaikan sabda Rasulullah n yang mulia:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki). Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 2421)
Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi manfaat.
Pertama: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ
“Siapa yang menjaga kehormatan dirinya—dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka—Allah l akan menganugerahkan kepadanya iffah.”
Kedua: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
“Siapa yang merasa cukup, Allah l akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”
Dua kalimat di atas saling terkait satu sama lain, karena kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlasannya kepada Allah l, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya saja. Adapun kepada makhluk, tidak sama sekali. Oleh karena itu, seorang hamba sepantasnya berupaya mewujudkan kesempurnaan ini dan mengamalkan segala sebab yang mengantarkannya kepadanya, sehingga ia benar-benar menjadi hamba Allah l semata, merdeka dari perbudakan makhluk.
Usaha yang bisa dia tempuh adalah memaksa jiwanya melakukan dua hal berikut.
1. Memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).
Oleh karena itu, Rasulullah n bersabda kepada Umar z:
مَا أَتَاكَ مِنْ هذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)
Memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka, merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.
2. Penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa cukup dengan Allah l, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah l, pasti Allah l akan mencukupinya. Inilah yang menjadi tujuan.
Yang pertama merupakan perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus  memperkuat ketergantungan dirinya kepada Allah l, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah l dan kebaikan-Nya, memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya. Allah l itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya.
Setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan kepada Allah l, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.
Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi n:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, iffah, dan kecukupan.” (HR. Muslim no. 6842 dari Ibnu Mas’ud z)
Seluruh kebaikan terkumpul dalam doa ini. Al-huda (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat, ketakwaan adalah amal saleh dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Hal ini membawa kebaikan agama.
Penyempurnanya adalah baik dan tenangnya hati, dengan tidak berharap kepada makhluk dan merasa cukup dengan Allah l. Orang yang merasa cukup dengan Allah l, dialah orang kaya yang sebenarnya, walaupun sedikit hartanya. Orang kaya bukanlah orang yang banyak hartanya. Akan tetapi, orang kaya yang hakiki adalah orang yang kaya hatinya.
Dengan ‘iffah dan kekayaan hati sempurnalah kehidupan yang baik bagi seorang hamba. Dia akan merasakan kenikmatan duniawi dan qana’ah/merasa cukup dengan apa yang Allah l berikan kepadanya.
Ketiga: Ucapan Nabi n:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ
“Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah l akan menjadikannya sabar.”
Keempat: Bila Allah l memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya menghadapi berbagai masalah. Allah l berfirman:
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (Al-Baqarah: 45)
Maknanya, dalam seluruh masalah kalian.
Sabar itu, sebagaimana seluruh akhlak yang lain, membutuhkan kesungguhan (mujahadah) dan latihan jiwa. Karena itulah, Rasulullah n mengatakan: وَمَنْ يَتَصَبَّرْ  “memaksa jiwanya untuk bersabar”, balasannya: يُصَبِّرهُ اللهُ  “Allah l akan menjadikannya sabar.”
Usaha dia akan berbuah bantuan Allah l terhadapnya.
Sabar itu disebut pemberian terbesar, karena sifat ini berkaitan dengan seluruh masalah hamba dan kesempurnaannya. Dalam setiap keadaan hamba membutuhkan kesabaran.
Ia membutuhkan kesabaran dalam taat kepada Allah l sehingga bisa menegakkan ketaatan tersebut dan menunaikannya.
Ia membutuhkan kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah l sehingga ia bisa meninggalkannya karena Allah l.
Ia membutuhkan sabar dalam menghadapi takdir Allah l yang menyakitkan sehingga ia tidak menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut. Bahkan, ia pun tetap membutuhkan sabar menghadapi nikmat-nikmat Allah l dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah l.
Demikianlah, ia membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh keuntungan dan kesuksesan. Oleh karena itulah, Allah l menyebutkan ahlul jannah (penghuni surga) dengan firman-Nya:
Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Ra’d: 23—24)
Demikian pula firman-Nya:
“Mereka itulah yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka….” (Al-Furqan: 75)
Dengan kesabaranlah mereka memperoleh surga berikut kenikmatannya dan mencapai tempat-tempat yang tinggi.
Seorang hamba hendaklah meminta keselamatan kepada Allah l, agar dihindarkan dari musibah yang ia tidak mengetahui akibatnya. Akan tetapi, bila musibah itu tetap menghampirinya, tugasnya adalah bersabar. Kesabaran merupakan hal yang diperintahkan dan Allah l-lah yang menolong hamba-Nya.
Allah l menjanjikan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya bahwa orang-orang yang bersabar akan beroleh ganjaran yang tinggi lagi mulia.
Allah l berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan, menyertai mereka dengan penjagaan, taufik dan pelurusan-Nya, mencintai dan mengokohkan hati serta telapak kaki mereka.
Allah l akan memberikan ketenangan dan ketenteraman, memudahkan mereka melakukan banyak ketaatan.
Dia juga akan menjaga mereka dari penyelisihan.
Dia memberikan keutamaan kepada mereka dengan shalawat, rahmat, dan hidayah ketika tertimpa musibah.
Dia mengangkat mereka kepada tempat-tempat yang paling tinggi di dunia dan akhirat.
Dia berjanji menolong mereka, memudahkan menempuh jalan yang mudah, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.
Dia menjanjikan mereka memperoleh kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan.
Dia juga akan memberi mereka pahala tanpa hitungan.
Dia akan mengganti apa yang luput dari mereka di dunia dengan ganti yang lebih banyak dan lebih baik daripada hal-hal yang mereka cintai yang telah diambil dari mereka.
Allah l pun akan mengganti hal-hal tidak menyenangkan yang menimpa mereka dengan ganti yang segera, banyaknya berlipat-lipat daripada musibah yang menimpa mereka.
Sabar itu pada mulanya sulit dan berat, namun pada akhirnya mudah lagi terpuji akibatnya. Ini sebagaimana dikatakan dalam bait syair berikut.
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنَّ عَوَاقِبَهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi, akibatnya lebih manis daripada madu.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Diterjemahkan Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hadits ke-33, hlm. 9l—93, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di t)

Sabtu, 11 Februari 2012

MENGENALI CIRI CIRI TERORIS KHAWARIJ

Mengenali Ciri-ciri Teroris Khawarij Penulis: Buletin Islam AL ILMU Edisi: 41/ XI / VIII / 1431 Pembaca yang mulia, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita semua memahami agama Islam ini dengan pemahaman yang benar sehingga kita tidak salah dalam mengamalkan agama ini dan selamat dari berbagai kerancuan dalam memahaminya. Sebagaimana dapat kita saksikan, banyak orang merasa mengamalkan agama Islam ini namun ternyata agama Islam sendiri berlepas diri dari tindakan dan perbuatan mereka, seperti yang terjadi pada para teroris khawarij. Para pembaca yang mulia, belakangan ini isu-isu terorisme menghantui masyarakat kita. Hal itu disebabkan maraknya aksi teror di tanah air di satu sisi. Di sisi lain, adanya tindakan tegas dari pemerintah tehadap para teroris tersebut sebagai pelajaran untuk mereka dan sekaligus sebagai pengamanan bagi masyarakat dari aksi teror tercela tersebut. Namun, muncul sebuah paradigma yang keliru pada sebagian masyarakat dalam menilai (memvonis) siapakah para teroris tersebut. Oleh karena itu, ikutilah pembahasan berikut ini agar tidak salah dalam menilai (memvonis)! Ideologi Teroris Khawarij Mengapa kami memberi embel-embel kata teroris dengan kata Khawarij? Karena, kata teroris secara mutlak memiliki makna yang luas. Aksi teror telah dilakukan oleh banyak kalangan, baik yang mengatasnamakan Islam ataupun non-Islam, semacam yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap bangsa Palestina pada masa kini, dan semacam yang dilakukan oleh Sekutu terhadap bangsa Jepang dalam peristiwa pengeboman Nagasaki dan Hiroshima di masa lalu. Sehingga dengan penambahan kata “Khawarij” di belakang kata teroris, akan mempersempit pembahasan kita. Pembahasan kita hanya tentang orang-orang yang melakukan aksi-aksi teror di negeri kita akhir-akhir ini yang mengatasnamakan Islam atau mengatasnamakan jihad. Adapun Khawarij, merupakan sebuah kelompok sempalan yang menyempal dari Ash-Shirathul Mustaqim (jalan yang lurus) dengan beberapa ciri khas ideologi mereka. Mengapa kami menyebutnya ideologi? Karena mereka memiliki sebuah keyakinan yang hakikatnya bersumber dari sebuah ide. Maksud kami, sebuah penafsiran akal pikiran yang keliru terhadap nash (teks) Al-Qur’an atau Al-Hadits. Dari sinilah kemudian mereka menyempal. Sekali lagi, hal ini terjadi akibat penafsiran yang salah terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan akibat penafsiran yang apa adanya, yang menurut sebagian orang kaku atau “saklek”, dan tidak pantas dikatakan sebagai salah satu bentuk ijtihad dalam penafsiran Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Sehingga, ideologi mereka sama sekali tidak bisa disandarkan kepada Islam yang benar. Demikian pula aksi-aksi teror mereka sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan ajaran Islam yang mulia nan indah ini. Bahkan Islam berlepas diri dari mereka. Lebih dari itu, Islam justru sangat mengecam mereka, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam akan memerangi mereka jika beliau mendapati mereka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ “Jika aku mendapati mereka, maka sungguh aku akan memerangi mereka seperti dimusnahkannya kaum ‘Ad.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Mengidentifikasi Ciri-ciri Teroris Khawarij Kami merasa perlu untuk membahas secara singkat tentang ciri-ciri teroris Khawarij, karena kami melihat telah terjadi salah kaprah dalam hal ini. Kami memandang bahwa tidak tepat bila seseorang menilai orang lain sebagai teroris atau sebagai orang yang terkait dengan jaringan teroris, ataupun mencurigainya hanya berdasarkan dengan penampilan lahiriah (luar) semata. Mengapa? Karena pada kenyataannya, para pelaku teror tersebut selalu berganti-ganti penampilan. Bahkan terkadang mereka cenderung memiliki penampilan yang akrab dengan masyarakat pada umumnya untuk menghilangkan jejak mereka. Sebagaimana yang terjadi pada Imam Samudra cs sebelum ditangkap. Sehingga, penampilan lahiriah mereka -baik penampilan ala masyarakat pada umumnya atau penampilan agamis- akan selalu ada yang menyerupai. Berdasarkan hal ini, penampilan lahiriah semata tidak bisa menjadi tolok ukur. Tatkala para teroris tersebut memakai topi pet, celana panjang (pantalon), kaos, serta mencukur jenggot, kita tidak bisa menjadikan hal-hal seperti ini sebagai ciri teroris. Tidak boleh bagi kita untuk menilai orang yang serupa dengan mereka dalam cara berpakaian ini sebagai anggota mereka. Demikian pula sebaliknya. Ketika para teroris itu berpenampilan Islami dengan memelihara jenggot, memakai celana di atas mata kaki, memakai gamis, dan istrinya bercadar, kita juga tidak bisa menjadikan penampilan seperti itu sebagai ciri teroris. Tidak boleh pula bagi kita untuk menilai orang yang berpakaian seperti mereka ini sebagai anggota jaringan mereka. Faktor pendorong orang-orang untuk berpenampilan agamis adalah karena hal itu merupakan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua itu tak ubahnya seperti ajaran agama Islam yang lain semacam shalat, puasa, dan lain sebagainya -terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam hal cadar, apakah itu wajib atau sunnah-. Bukankah para teroris Khawarij tersebut juga shalat dan berpuasa bahkan mungkin melakukannya dengan rajin dan penuh semangat?! Lalu apakah kita akan menilai shalat dan puasa sebagai ciri teroris? Sehingga kita akan menuduh orang yang shalat dan puasa sebagai anggota jaringan teroris? Tentu tidak. Hal seperti ini hendaknya direnungkan. Maka kami mengingatkan diri kami dan semua pihak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya): “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58) Akan tetapi, di antara cara mengidentifikasi teroris Khawarij bisa dilakukan dengan hal-hal berikut ini: 1. Mereka memiliki pertemuan-pertemuan rahasia, yang tidak dihadiri kecuali oleh orang-orang khusus. 2. Mereka akan menampakkan kebencian terhadap penguasa muslim. Dalam pertemuan-pertemuan khusus, mereka tak segan-segan menganggap para penguasa muslim tersebut sebagai orang kafir. 3. Mereka akan menampakkan pujian-pujian terhadap para tokoh-tokoh Khawarij masa kini, semacam Usamah bin Laden dan yang sejalan dengannya. 4. Mereka gandrung terhadap buku-buku hasil karya tokoh-tokoh tersebut, juga buku-buku tokoh pergerakan semacam Sayyid Quthub, Salman Al-‘Audah, Fathi Yakan, Hasan Al-Banna, Said Hawwa, dan yang sejalan dengan mereka. Ini semua sebatas indikasi yang mengarah kepada terorisme. Untuk memastikannya, tentu perlu kajian lebih lanjut terhadap yang bersangkutan. Korban-korban Teroris Khawarij Pihak pertama, orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi baik dan berupaya menapaki jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyadari pentingnya berpegang teguh dengan ajaran-ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia nan indah. Mereka menyadari betapa bahayanya arus globalisasi yang tak terkendali terhadap pribadi-pribadi mulia. Mereka berusaha mengamalkan ajaran Islam yang benar pada diri dan keluarga mereka untuk melindungi diri dan keluarga mereka dari berbagai kerusakan moral bahkan aqidah, sekaligus melindungi diri dan keluarga mereka dari api neraka di hari akhirat, dalam rangka mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6) Pihak ini menjadi korban aksi para teroris. Karena para teroris dengan aksi mereka, telah mencoreng Islam di mata masyarakat yang luas, sehingga pihak ini menuai getah dari aksi para teroris tersebut. Pihak ini akhirnya dicurigai oleh masyarakat sebagai bagian dari jaringan teroris hanya karena adanya sebagian kemiripan pada penampilan luar, padahal aqidah dan keyakinan mereka sangat jauh dan bertentangan. Sehingga celaan, cercaan, sikap dingin, diskriminasi bahkan terkadang intimidasi (ancaman) dari masyarakat kepada mereka pun tak terelakkan. Maka kami nasihatkan kepada pihak ini untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala cobaan yang mereka dapatkan. Janganlah melemah, tetaplah istiqamah. Jadikan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tujuan. Ingatlah pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ “Katakan: ‘Aku beriman kepada Allah‘ lalu istiqamahlah.” (HR. Muslim dari shahabat Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqafi Radhiyallahu ‘anhu) Pihak kedua, adalah orang awam pada umumnya. Tak sedikit dari mereka ber-su‘uzhan (buruk sangka) kepada pihak pertama karena adanya aksi-aksi teror tersebut. Mereka main pukul rata tanpa membedakan. Bahkan lebih parah dari itu, aksi teror tersebut memunculkan fobi terhadap Islam pada sebagian mereka, kecurigaan kepada setiap orang yang mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan keislaman. Bahkan mungkin sebagian orang curiga terhadap Islam itu sendiri. Ya Allah, hanya kepada Engkaulah kami mengadu. Betapa bahayanya kalau kecurigaan itu sudah sampai pada agama Islam itu sendiri, sementara Islam berlepas diri dari kejahatan ini. Tak pelak, tentu hal ini akan menumbuhkan rasa takut dan khawatir untuk mendalami ajaran Islam dan untuk lebih mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai amalan ibadah. Nasihat kami kepada pihak ini, janganlah salah dalam menyikapi masalah ini, sehingga menghalanginya untuk lebih mendalami Islam dan lebih mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pelajarilah Islam dengan benar, ikuti jejak para As-Salafush Shalih, dari kalangan para sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik, serta menjauhi pemahaman ekstrim Khawarij dan menjauhi paham liberalisme serta inklusivisme yang bermuara pada kebebasan yang luas dalam memahami ajaran agama. Dengan cara ini, insya Allah mereka akan dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah. Jalan pun menjadi terang sehingga mereka tidak akan salah dalam menentukan sikap dan tidak terbawa oleh arus. Pihak ketiga, anak-anak muda yang punya antusias terhadap agama. Aksi teroris, penangkapan para teroris, dan berbagai berita yang bergulir dan tak terkendali, juga merupakan ujian buat mereka. Berbagai sikap tentu muncul darinya, antara pro dan kontra. Kami nasihatkan kepada mereka agar bisa bersikap obyektif dalam menilai. Jangan berlebihan dalam bersikap. Jangan menilai sesuatu kecuali berdasarkan ilmu, baik ilmu agama yang benar yang menjadi barometer dalam menilai segala sesuatu, maupun ilmu (baca: pengetahuan) terhadap hakikat segala yang terjadi. Lalu terapkanlah barometer tersebut pada hakikat realita yang terjadi. Jangan terbawa emosi karena larut dalam perasaan yang dalam. Kami nasihatkan kepada anak-anak muda yang bersemangat dalam menjunjung nilai-nilai Islam, agar mereka tidak salah memilih jalan. Ada 73 (tujuh puluh tiga) jalan yang berlabel Islam di hadapan anda. Pada masing-masing jalan ada yang menyeru anda untuk menjadi anggotanya. 72 (tujuh puluh dua) jalan menuju An-Nar (neraka) dan hanya ada 1 (satu) jalan yang menuju Al-Jannah (surga). Bila tidak berhati-hati, anda akan menjadi anggota penghuni neraka. Karenanya, ikutilah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menentukan jalan di tengah-tengah perselisihan yang banyak! Ikuti Sunnah Nabi dan para Khulafa’ur-rasyidin! Jauhilah bid’ah! Itulah jalan yang dapat mengantarkan anda menuju Al-Jannah (surga). Demikian apa yang bisa kami sumbangkan kepada Islam dan muslimin serta umat secara umum terkait masalah ini. Kami memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amal kita semua. Ampunan-Nya senantiasa kita mohon sampai kita berjumpa dengan-Nya pada hari yang harta dan anak sudah tidak lagi bermanfaat padanya, kecuali mereka yang datang kepada-Nya dengan qalbu (hati) yang bersih. Bersih dari kesyirikan, keragu-raguan, mencintai kejelekan, terus-menerus di atas kebid’ahan dan dosa. Amin… Diringkas dari tulisan Al-Ustadz Qomar ZA, Lc Dengan judul MENYIKAPI AKSI-AKSI TERORIS KHAWARIJ dengan beberapa perubahan dari redaksi. http://www.buletin-alilmu.com/?p=532

MENDUDUKAN REKOMENDASI PARA ULAMA


Mendudukkan Rekomendasi Para Ulama
Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Hafizhahulloh
Jika kita memperhatikan secara seksama apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan fatwa dalam menyikapi Ihya At-Turots, keadaannya bukanlah seperti masalah khilafiyyah yang didalamnya terjadi saling tarik menarik dalil atau masing-masing mengetahui dalil yang ada, hanya berbeda dalam hal pemahaman. Seperti halnya masalah sedekap disaat posisi I’tidal (dalam sholat, red), dimana masing-masing dari para Ulama tersebut mengetahui dalil yang datang dalam masalah ini, namun terjadi perbedaan dalam hal memahaminya. Atau seperti masalah duduk akhir dalam sholat, apakah dengan cara tawarruk ataukah iftirosy, masing-masingnya berhujjah dengan satu hadits yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Humaid As-Sa’idi. Atau seperti masalah menggerakkan jari ketika tasyahhud, yang berbeda dalam menyikapi keabsahan adanya tambahan “wayuharrikuha” dalam riwayat Zaidah bin Qudamah, atau permasalahan yang semisal apa yang kami sebutkan.

Namun perselisihan fatwa yang terjadi dalam menyikapi Ihya At-Turots tidaklah seperti tersebut diatas, namun disebabkan karena adanya tambahan ilmu yang diketahui oleh Ulama yang mentahdzir mereka, yang tidak diketahui oleh para Ulama yang merekomendasi mereka. Cobalah kita perhatikan rekomendasi para Ulama tersebut, apakah mereka memberi rekomendasi karena dalam Ihya At-Turots ada bai’at? Atau karena mereka ikut serta dalam politik praktis? Atau mereka ketahui bahwa diantara mereka ada yang memiliki fikroh At-takfir? Jawabannya adalah: “Tidak!”. Bahkan merupakan perkara yang ma’ruf tentang sikap para Ulama terhadap berbagai macam penyimpangan tersebut yang dapat menjerumuskan kaum muslimin kepada berbagai praktek hizbiyyah.

Maka semestinya sikap yang ditempuh oleh seorang “Salafi” adalah memandang secara jernih letak perbedaan fatwa yang terjadi. Sebab para Ulama rahimahumullah tersebut berfatwa sebatas apa yang telah sampai kepada mereka. Oleh karenanya Aisyah radhiallahu ‘anha mengingkari orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah kencing berdiri,karena itulah ilmu yang sampai kepadanya. Dan telah diketahui oleh shahabat yang lain, diantaranya Hudzaifah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah kencing dalam keadaan berdiri. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang menghalalkan nikah mut’ah, sebab tidak sampai kepada beliau kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwa nikah mut’ah tersebut hukumnya haram secara mutlak. Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala yang mentsiqohkan Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami, sebab - tidak sampai kepada beliau ilmunya - bahwa dia seorang perawi yang ditinggalkan haditsnya. Berkata Imam Ahmad : “Dia seorang Qodari, Mu’tazili dan Jahmi, semua musibah ada padanya”. Berkata Bisyr bin Mufadhdhal : “Aku bertanya kepada Ulama penduduk Madinah tentangnya, semuanya mengatakan : kadzdzab (pendusta besar) atau yang semisalnya”. Akankah kita katakan (sesuai kaedah Firanda) bahwa masalah Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami adalah permasalahan ijtihadiyah sehingga dia tidak boleh dijarh?! Atau menurut kaedah al akh Firanda, ia justru akan menjarh Imam Ahmad Rahimahullah Ta’ala yang notabene beliau adalah murid dari Imam Syafi’i Rahimahullah Ta’ala? Dan masih banyak lagi permisalan dalam permasalahan seperti ini. Sehingga dalam menyikapi permasalahan ini, semestinya menerapkan kaedah yang sudah ma’ruf:

“Yang mengetahui adalah hujjah atas bagi yang tidak mengetahui”,”yang menetapkan lebih didahulukan ucapannya dari yang menafikan”. Wallahul muwaffiq.

http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=98:mendudukkan-rekomendasi-para-ulama&catid=31:nasehat-a-bantahan&Itemid=46

SYUJUD SYUKUR DAN SUJUD TILAWAH




Sujud Syukur Dan Sujud Tilawah
, Penulis: Al Ustadz Zuhair bin Syarif
Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja.

a. Sujud Tilawah

Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :
Artinya : Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)

Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu 'anha :
Artinya : "Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim)

Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Artinya : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus … ."(Al Bayyinah : 5)

Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Artinya : "Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)

Definisi Sujud Tilawah
Secara bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.

Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya

Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.

Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :

1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata :
Artinya : "Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)

2. Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu 'anhu bersabda :
Artinya : "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm." (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)

Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Umar radhiallahu 'anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.

Pada hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :
Artinya : "Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau.” ] (HR. Bukhari)

Perbuatan Umar radhiallahu 'anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas … .” (Taudlihul Ahkam, halaman 167)

Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :
Artinya : "Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)

Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di depan. Wallahu A’lam.

Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :
Artinya : "Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm. (HR. Bukhari)

Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :
Artinya : "Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kadang-kadang bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca --dalam hal ini Zaid bin Tsabit-- tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.

Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu 'anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau radhiallahu 'anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.

Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah

Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan’ani dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403 :

1. Pendapat Madzhab Syafi’i

Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).

2. Pendapat Madzhab Hanafi

Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.

3. Pendapat Madzhab Hanbali

Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.

Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud, 1403)

Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dlaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad berkata : “Abu Qudamah haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia dlaif.” An Nasa’i berkata : “Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.” Abu Hatim berkata : “Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).”

Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya.”

Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk surat-surat mufashal).

Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah. Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 273)

Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.”

Abu Dawud berkata : “Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”

Pendapat kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)

Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : “Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.

Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’, lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.” (Tamamul Minnah, halaman 270)

Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :

1. Al A’raf ayat 206.
2. Ar Ra’d ayat 15.
3. An Nahl ayat 50.
4. Maryam ayat 58.
5. Al Isra’ ayat 109.
6. Al Hajj ayat 18.
7. Al Hajj ayat 77.
8. Al Furqan ayat 60.
9. An Naml ayat 26.
10. As Sajdah ayat 15.
11. Shad ayat 24.
12. An Najm ayat 62.
13. Fushilat ayat 38.
14. Al Insyiqaq ayat 21.
15. Al ‘Alaq ayat 19.

Tata Cara Sujud Tilawah

Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu.” Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.

Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : “Seorang musyrik itu najis.”

Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : “Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau gangguan wudlu.

Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang tidak. Wallahu A’lam.”

Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun yang tidak.

Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam.

Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”

Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya shahih.”

Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.

Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud tilawah :

1. Tidak diharuskan berwudlu.

2. Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.

3. Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqaha.

Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang berbunyi : “Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)

Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.

4. Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang membaca sujud dan tidak bila tidak.

6. Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring) seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.

7. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :
Artinya : "Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)

Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al Albani.

b. Sujud Syukur

Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.

Hukum Sujud Syukur

Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah :

a. Hadits dari Abi Bakrah :

Artinya : "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)

b. Hadits :
Artinya : "Bahwasanya Ali radhiallahu 'anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan.” (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa’ 2/226)

c. Hadits Anas bin Malik :

Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya.”

d. Hadits Abdurrahman bin Auf :
Artinya : "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, ‘barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya.’ “ Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)

Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu 'anhum.

Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :

1. Sujud Ali radhiallahu 'anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.

2. Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim 8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.

Menanggapi atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : “Oleh karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya sujud syukur.

Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bid’ah, maka janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini.” (Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)

Bagaimana syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?

Imam Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di atas : “Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan sucinya pakaian dan tempat.”

Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.

Imam Yahya mengatakan pula : “Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”

Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul Authar, juz 3 halaman 106)

Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat. Wallahu A’lam.

Kesimpulan

Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.

2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.

3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.

4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.

6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudlu terlebih dahulu.

Wallahu A’lam.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Zuhair bin Syarif dalam Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/1998/AHKAM)