Adakah Bid’ah Hasanah?
(5) – Hadits: Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu
DALIL YANG KEEMPAT:
Untuk memperkuat argumen tentang adanya bid’ah hasanah, maka
pendebat memberikan contoh aplikasi bid’ah hasanah dengan membawakan hadits:
Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu berkata,
“Pada suatu hari kami shalat dibelakang Nabi. Ketika beliau mengangkat kepala
dari ruku sambil mengucapkan, “Sami’allahu
liman hamidah” (semoga
Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya), maka seseorang laki-laki
mengucapkan, “Rabbana walakal hamdu
hamdan katsiiran thayyiban mubaraakan fiihi” (Wahai Tuhan kami,
hanya bagiMulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik, dan diberkahi).
Setelah beliau berpaling (salam), beliau bertanya, ‘Siapakah orang yang
mengucapkannya?’ Ia menjawab, ‘Saya.’ Beliau bersabda, ‘Saya telah melihat tiga
puluh lebih malaikat bersegera, entah yang mana yang pertama menulisnya.’” (HR. Bukhari no.
799)
Hadits ini tidak bisa
dijadikan sebagai dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Hal ini dikarenakan beberapa
alasan:
ALASAN PERTAMA:
Hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa bacaan I’tidal tersebut tidak diajarkan terlebih dahulu oleh Rasulullah. Tidak bisa dikatakan bahwa bacaan tersebut berasal dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu tanpa terlebih dahulu mencontohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan bahwa bacaan I’tidal tersebut tidak diajarkan terlebih dahulu oleh Rasulullah. Tidak bisa dikatakan bahwa bacaan tersebut berasal dari sahabat Rifa’ah bin Rafi’ ar-Ruzaqi radhiyallahu’anhu tanpa terlebih dahulu mencontohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
ALASAN KEDUA:
Seandainya hal ini diperbolehkan, maka itu hanya ketika syari’at belum sempurna, namun ketika syari’at islam telah Allah Ta’ala sempurnakan maka tidak boleh kita menambahkan sesuatu kepada yg sudah sempurna, kalau kita menambahkan berarti kita menganggap bahwa agama ini belum sempurna atau Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkhianat dengan cara tidak menyampaikan kesempurnaan itu, hal ini sebagaimana ucapan Imam Malikrahimahullah:
Seandainya hal ini diperbolehkan, maka itu hanya ketika syari’at belum sempurna, namun ketika syari’at islam telah Allah Ta’ala sempurnakan maka tidak boleh kita menambahkan sesuatu kepada yg sudah sempurna, kalau kita menambahkan berarti kita menganggap bahwa agama ini belum sempurna atau Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkhianat dengan cara tidak menyampaikan kesempurnaan itu, hal ini sebagaimana ucapan Imam Malikrahimahullah:
“Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang
dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengkhianati
risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu. ”Maka sesungguhnya yang tidak menjadi
bagian dari agama pada hari itu (hari pada saat ayat ini turun –ag), tidak
menjadi bagian dari agama pula pada hari ini.” (Al I’tishom, Imam Asy Syatibi 1/64)
ALASAN KETIGA:
Hal itu terjadi ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam masih hidup, sehingga ada yang bisa mengoreksi atau Allah Ta’ala menurunkan wahyu untuk koreksi kesalahan atau menyatakan benarnya. Adapun saat ini, siapa yang akan mengoreksi jika salah atau membenarkan jika sudah benar?!
Hal itu terjadi ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam masih hidup, sehingga ada yang bisa mengoreksi atau Allah Ta’ala menurunkan wahyu untuk koreksi kesalahan atau menyatakan benarnya. Adapun saat ini, siapa yang akan mengoreksi jika salah atau membenarkan jika sudah benar?!
ALASAN KEEMPAT:
Hampir sama dengan sebelumnya, bahwa yang menetapkan hal itu disyari’atkan adalah Allah Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya, kalau saat ini seorang berbuat bid’ah apakah hal itu dari ketetapan Allah Ta’ala atau dari dirinya?! Kalau dari ketetapan Allah Ta’ala maka melalui lisan siapa hal itu disampaikan?!
Hampir sama dengan sebelumnya, bahwa yang menetapkan hal itu disyari’atkan adalah Allah Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya, kalau saat ini seorang berbuat bid’ah apakah hal itu dari ketetapan Allah Ta’ala atau dari dirinya?! Kalau dari ketetapan Allah Ta’ala maka melalui lisan siapa hal itu disampaikan?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar