Adakah Bid’ah Hasanah? (3) – Ucapan ‘Umar
bin Khatthab
DALIL
YANG KEDUA:
Pendebat menetapkan
adanya bid’ah hasanah dengan dalil, ucapan ‘Umar bin Khatthabradhiyallahu’anhu
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)
Dalil
ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah
dikarenakanbeberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Anggaplah kita terima
dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ah
itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu
pedoman; kita tidak boleh
mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;
dengan pendapat siapapun juga (selain beliau). Tidak
dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia
adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu
‘anhu ataupun yang lainnya.
“Hampir-hampir kalian
ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;
bersabda demikian…demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar
begini…begini….”
‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan:
“Tidak ada pendapat
seorangpun di atas suatu sunnah yang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjalaninya.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Kaum muslimin telah
sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran)
seseorang.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:
“Barangsiapa yang menolak
hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.” (Thobaqot Al Hanabilah 2/15, Al Ibanah 1/260)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Umar bin
Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) ketika beliau
mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shoat tarawih, padahal shalat tarawih
berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah
dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu
‘anha, Bahwa RasulullahShallallahu
‘alaihi wa sallam; pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang
mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak.
Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;). Namun beliau tidak keluar. Pada
pagi harinya, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh
aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang
menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran
(kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1129)
Secara tegas beliau
menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah.
Maka tatkala ‘Umar radhiallahu
‘anhu melihat alasan ini (kekhawatiran RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah tidak ada lagi,
beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian,
jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radhiallahu
‘anhu ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Hadits Aisyah ini juga
menunjukkan dengan jelas bahwa sejak zaman Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sholat
tarawih berjamaah telah disunnahkan, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh
pendebat.
ALASAN
KETIGA:
Jika sudah jelas bahwa
yang dikerjakan Umar radhiyallahu’anhu ini
bukan termasuk Bid’ah, maka apakah makna bid’ah dalam
ucapan beliau tersebut?
Sesungguhnya yang
dimaksud bid’ah dalam ucapan Umar radhiyallahu’anhu adalah makna bid’ah secara bahasa, bukan makna secara syar’i. Adapun
bid’ah menurut bahasa adalah “Apa-apa yang dikerjakan tanpa ada contoh
sebelumnya.” (Lisanul Arab 8/6)
Ketika sholat tarawih
dengan berjamaah ini tidak dikerjakan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa
Umar, maka kata “bid’ah” pada ucapan Umar
adalah menurut bahasa. Maksudnya tidak ada contoh yang mendahuluinya.
Sedangkan
menurut syar’I jelas bukan, karena sholat ini ada asalnya, yaitu dari
apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam.
Berkata
Imam Asy Syatibi rahimahullah:
“Barangsiapa yang menamakan bid’ah dengan ibarat ini, maka tidak
ada masalah dalam hal penamaan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijadikan dalil
untuk mendukung adanya bid’ah yang sedang kita bicarakan (bid’ah hasanah).
Karena hal tersebut merupakan pemindahan kalimat dari tempat yang semestinya.
Berikut kami kemukakan sebagian pendapat para Imam sebagai bukti
terhadap yang telah kami sebutkan:
Berkata
Ibnu Katsir rahimahullah:
“Bid’ah itu ada dua macam:
Pertama: adakalanya bid’ah itu secara syar’I sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah sesat.”
Kedua: adakalanya bid’ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan
‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih
secara berjamaah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari) (Tafsir Ibnu Katsir: surah Al Baqarah: 117)
Berkata
Ibnu Rajab rahimahullah:
“Adapun sesuatu yang
terjadi dari perkataan salaf tentang adanya sebagian bid’ah hasanah, yang
dimaksud adalah bid’ah secara
lughoh bukan menurut syar’I, seperti perkataan Umarradhiyallahu’anhu:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)
Maksudnya adalah,
perbuatan ini (sholat tarawih berjamaah secara terus menerus –ag) tidak
dilakukan sebelumnya, akan tetapi ada asal atau sumber syar’I yang perbuatan
itu kembali kepadanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
hadits 28)
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Kebanyakan orang,
menggunakan perkataan Umar نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah
ini) sebagai dalil untuk mendukung adanya bid’ah hasanah. Padahal bid’ah disni
adalah penamaan/penyebutan secara lughowi (bahasa), bukan
penamaan/penyebutan secara syar’i. Karena, arti bid’ah menurut bahasa mencakup
semua yang dikerjakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya. Adapun definisi
bid’ah menurut syar’I adalah: Setiap apa-apa yang tidak ada dalil syar’I yang
menunjukkan atasnya.” (Iqtidho Shirathal
Mustaqim, hal. 276)
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar