SYIAH = AGAMA BUATAN YAHUDI
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari
Serupa
tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam
dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara
penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi
aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga,
tidak mungkin disatukan.
Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah
menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang.
Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu
perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405,
karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr.
Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)
Adapun
menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali
bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk
memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu
sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113,
karya Ibnu Hazm)
Syi’ah,
dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan
bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu
Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah.
Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan
Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)
Dan
tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah
sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang
keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Dengan
segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai
macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna ,
meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829).
Sedangkan
dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah
(kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar radiyallahu ‘anhum, berlepas diri dari
keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi radiyallahu
‘anhu. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud,
1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)
Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa
Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang
mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul
hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Sebutan
“Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali
bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin
Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh
Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang
melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah,
mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak
terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di
tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari
sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun
mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya)
meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: “Kalian tinggalkan aku?”
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan
perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin,
1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Rafidhah
pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua
Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah
Zaidiyyah.
Rafidhah
ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan
dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.
Siapakah Pencetusnya?
Pencetus
pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari
negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang
menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?
Berikut
ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka
yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana
kesesatan mereka.
a. Tentang Al Qur’an
Di
dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih
Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub
Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata :
“Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu
‘alaihi wassalam (ada) 17.000 ayat.”
Di
dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “…Sesungguhnya
di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa
mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia
(Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di
dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari
Al Qur’an kalian…’.” (Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal.
31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Bahkan
salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad
At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat
dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya
Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang
menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan
penyimpangan.
B. Tentang Shahabat Rasulullah
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya
Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa
ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan
murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang
itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar
Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran
ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi
Mizanil Islam, hal. 89)
Ahli
hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para
shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang:
Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.”
(Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya
Ihsan Ilahi Dzahir)
Demikian
pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam
kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait,
hal. 46)
Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya: “Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)” (Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)
Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya: “Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)” (Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)
Mereka
juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul
Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar
“Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari
kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan,
hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria.
(Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)
Adapun
‘Aisyah dan para istri Rasulullah lainnya, mereka yakini sebagai
pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam
kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi,
dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas
terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari
sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab
Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil
Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah,
betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik
bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk
menghabisi Nabi namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para
shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad) adalah
seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para
shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala
Syatimirrasul, hal. 580)
c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah
menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan
dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia
berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji,
shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang
paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil
dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah
ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib radiyallahu
‘anhu dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah. Adapun
selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu
Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah
berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di
muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka
hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth
Al-‘Aridhah, hal. 16-17)
Mereka
pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa)
dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata:
“Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai
‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi,
sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu
penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia
hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.”
(Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah,
1/192)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara
rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus
masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah
adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan,
dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq
Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)
Mereka
berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per
sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu
Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai Abu ‘Umar,
sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan
tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari
Firaq Mu’ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya
tentang mereka beliau berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan
jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu
berdusta.” Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah
tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul
I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)
e. Tentang Raj’ah
Raj’ah
adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli
tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85,
berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian
menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi
kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam
‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab
Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul
‘Aziz Nurwali)
f. Tentang Al-Bada’
Al-Bada’
adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka
berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah Ta’ala. Bahkan mereka
berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111),
meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan
kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah,
1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)
Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh
Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal
Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang
mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya
bisa ternukil sebagiannya saja.
Al-Imam
‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih
dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
Al-Imam
Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr
dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian
ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau
berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala,
7/253)
Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela
Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya
Al-Khallal)
Al-Imam
Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang
Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama
tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi
ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan
sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)
Al-Imam
Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yang mencela
salah satu dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka
ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi
kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al
Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan
tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah)
lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah,
hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)
Demikianlah
selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi
pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc, judul asli Membongkar Kesesatan Syiah, Syariah, Manhaji, 12 – Februari – 2004, 01:05:04. Url asli http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=142)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar