Jumat, 13 Januari 2012

Menyikapi kesalahan dan orang salah(JUGA ADA FIKIHNYA)-Perhatikan lagi pendetailannya-(ASY-SYAIKH Ubaid AL Jabiri)

MENYIKAPI KESALAHAN DAN ORANG SALAH (JUGA ADA FIKIHNYA) -perhatikan lagi pendetilannya- (Asy-Syaikh Ubaid Al Jabiri)

oleh أبو المنذر الجاكرتي pada 12 Januari 2012 pukul 10:50
بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan: Fadhilatus-Syaikh, apakah ketika seseorang dari ulama besar salah, boleh atau dibenarkan bagi seorang pemuda untuk membantah kesalahannya? Atau (yang harus) membantahnya seorang ulama juga semisalnya? Dimana sebagian anak muda lancang menolak fatwa sebagian ulama yang mana fatwa itu terkadang sensitif menurut syariat, lalu sang ulama tersebut memfatwakannya karena darurat atau menurutnya ada hikmah dibaliknya –barakallahufikum-, apa pendapatmu dalam hal ini? Semoga Allah membalas kebaikanmu.

Jawaban: Segala puji bagi Allah Rab semesta alam, dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dialah) penolong orang-orang shalih dan Rab orang-orang baik. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya, penghulu anak Adam seluruhnya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada beliau dan keluarganya serta para shahabatnya yang baik lagi suci sampai hari akhir. Amma ba’du:

Sesungguhnya apa yang kalian tanyakan, perlu dilihat dari dua sisi, sebagaimana perlu dilihat kepada siapa pemilik pendapat keliru tersebut dari dua sisi juga. Demikianlah Ahlussunnah, mereka melihat kepada (jenis) penyimpangan dan kepada (orang) yang menyimpang.

Adapun (jenis) penyimpangan, (ia) tidak keluar dari dua keadaan:

-          Apakah penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang bukan ranah ijtihad, apakah dalam perkara pokok agama atau cabang-cabangnya, seperti banyak terdapat dalil Al Qur’an dan Sunnah berkenaan dengannya dan disepakati oleh para imam (ijma’), atau telah dianggap seperti ijma’, dan ketika itu orang yang menyimpang (mukhalif) tidak ada padanya nas-nas yang menguatkan pendapatnya. 

-          Atau penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang merupakan ranah ijtihad, atau perkara yang nas-nasnya (dalil-dalil) muhtamal (memiliki banyak sudut pandang). 

Maka jenis pertama: yaitu perkara yang bukan merupakan ranah ijtihad, sesungguhnya penyelisihan dalam hal ini tidak benar sama sekali dan kesalahan harus disanggah dari siapa pun orangnya.

Kemudian orang yang menyelisihi (kebenaran) ini tidak lepas dari dua keadaan:
-          Apakah ia seorang pengikut sunnah, orang-orang mengenalnya sebagai orang yang istiqamah di atas sunnah, membela sunnah dan ahlussunnah. Sebagaimana ia juga dikenal sebagai orang yang menginginkan kebaikan bagi ummat. Maka orang seperti ini kesalahannya tidak boleh diikuti dan kehormatannya (harus) dijaga. Dan meskipun kita membantah kesalahannya kita tetap menjaga adab bersamanya dan kita menjaga kehormatannya. Dan kita tidak berkata keras kepadanya seperti kepada ahlulbid’ah para pengekor kesesatan. Dan hal yang demikian itu sebagai bentuk penghargaan atas anugrah Allah kepadanya berupa keutamaan dan kemuliaan serta kepemimpinan dalam agama. Maka kita menjaga hal ini semua.

Dan apabila kalian melihat kapada kebanyakan imam-imam di atas sunnah, orang-orang yang disaksikan manusia (keimaman mereka) dikehidupan mereka dan begitu pula kita harap setelah kematian mereka insyaAllah, ada pada mereka kesalahan-kesalahan, ketergelinciran. Lalu ulama-ulama sezaman mereka membantah mereka dan begitu pula ulama-ulama setelah mereka sambil tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka serta tidak bertindak sewenang-wenang kepada mereka dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kasar.

-          Atau orang yang menyelisihi (kebenaran) ini menyelisihi dalam artian membangkang dan sombong serta merasa lebih tinggi dari kebenaran dan mengikuti hawa nafsu. Maka orang ini tidak ada penghormatan untuknya disisi ahlussunnah. Ahlussunnah membantah kesalahannya dan bersikap keras kepadanya serta mensifatinya dengan bid’ah dan kesesatan. Dan memperingatkan ummat darinya dan menggunakan ucapan-ucapan yang keras. Kecuali apabila (hal itu) mengakibatkan kerusakan yang lebih besar daripada kemaslahatan yang diharapkan. Maka ahlussunnah (dalam hal ini) mencukupkan dengan membantah kesalahannya dan menjauhinya. Hal yang demikian ini apabila si mubtadi’ sesat tadi di negeri tersebut dan dihati masyarakatnya memiliki pengaruh dan posisi, seperti kalau dia itu seorang mufti negara atau salah seorang menteri seperti menteri wakaf atau menteri kehakiman atau dia termasuk orang dekat pemerintahan atau tergolong ulama yang dipercaya oleh negara dan ahlussunnah lemah. Maka (dalam kondisi seperti ini) kita tidak mensifatinya dengan sifat-sifat seperti ini, (tapi cukup) kita katakan: ini keliru, Asy-Syaikh fulan keliru dalam masalah ini dan kita tidak terima ini darinya (karena) ukurannya adalah dalil, sedangkan dalil yang ada menyelisihinya.

Dan sudah sewajibnya bantahan itu (muatannya) ilmiyah, bersandar kepada Al Kitab dan Sunnah sesuai pemahaman salafusshalih, jauh dari kebohongan dan kata-kata kasar yang menjadikan orang-orang yang mendengar merasa risih dan menjauh darinya serta meninggalkan kebenaran yang ada pada kita atau pada kalian karena mereka mendengar kata-kata yang tidak pada tempatnya dan tidak sesuai dengan citra seorang penuntut ilmu.

Karena bantahan yang bersandar kepada Al Kitab dan As-Sunnah dan sesuai pemahaman salafus-shalih, (dan bantahan yang) padanya ditampakkan kebenaran dan dipatahkan kebatilan, orang-orang yang adil akan menerima bantahan seperti ini dan tidak menyelisihinya meskipun mereka mencintai pihak yang sedang dibantah ini. Dan ini mujarab –barakallahufiik- maka perhatikanlah.

Jenis kedua dari penyelisihan-penyelisihan yaitu dalam perkara yang masih di dalam ranah ijtihad. Dalam hal ini (cukup) bagimu menerangkan pendapat yang kuat menurutmu dan jangan mencela pihak lain dan jangan mentahdzirnya dan jangan (pula) engkau juluki dia mubtadi’ sesat atau menyimpang. Tapi (cukup) kamu katakan: yang benar menurutku ini.

Sebagai contoh: (masalah) tertib/berurutan dalam berwudhu’. Jumhur (ulama) berpendapat tertib itu wajib. Diantara mereka Al Imam Ahmad dan murid-muridnya –rahimahumullah-. (Sedangkan) hanafiah dan para ulama yang sependapat dengan mereka memilih (tertib dalam berwudhu’) tidak wajib. Maka kita membantah hanafiah (tapi) tanpa mencela dan tanpa kata-kata kasar. (Cukup) kita katakan: Yang kuat menurut kami, atau yang terkuat dari dua pendapat adalah wajib.

Contoh lain: Orang yang meninggalkan shalat karena malas. Jumhur (berpendapat) dia fasik, wajib diminta bertaubat, apabila ia bertaubat (dilepas), kalau tidak dibunuh sebagai hukum had atasnya. Dan hukum atasnya seperti orang-orang fasik lainnya. Dimandikan, dikafani dan dishalatkan dan didoakan kebaikan untuknya dan dikubur di pemakaman ummat Islam, keluarganya mewarisi hartanya. Dan ini adalah pendapat Az-Zuhri dan Malik dan salah satu riwayat dari Al Imam Ahmad dan selain dari mereka. Jumhur ulama sebagaimana telah aku jelaskan.

Sedangkan riwayat lainnya dari Al Imam Ahmad dan ini juga pendapat para muhaqqiq imam, diantara mereka Asy-Syaikh Abdul Aziz Al Imam Al Atsari, seorang mujtahid –rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Al Imam Al Faqih, Al Muhaqqiq Al Mudaqqiq Al Mujtahid –rahimahullah- (berpendapat) bahwa orang ini kafir dan diminta bertaubat, apabila ia bertaubat (dilepas) atau kalau tidak dibunuh sebagai orang murtad. Berdasarkan ini mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, dan tidak dishalatkan dan tidak didoakan dan keluarganya tidak mewarisi hartanya, hartanya fa’i pemerintah (bebas) membelanjakannya pada kepentingan-kepentingan umum.

Dan apabila kalian lihat pada keadaan dua kelompok dari para imam ini –rahimahumullah- kalian tidak dapati ulama yang menganggap fasik orang yang meninggalkan shalat karena malas menjuluki ulama yang menganggap orang itu kafir sebagai khawarij. Begitu pula sebaliknya kita tidak dapati ulama yang menganggap kafir orang yang meninggalkan shalat karena malas menjuluki ulama yang menganggap orang itu fasik sebagai murji’ah. Karena masing-masing mereka memiliki dalil yang kuat yang menjadi landasan dalam pendapatnya.

Saya tambahkan. Ulama yang mulia yang keliru  dalam perkara yang menurutmu kuat. Ulama ini menurutku hendaknya dinasihati dan diterangkan kepadanya kesalahannya. Apabila ia tidak menerima dari kalian angkat perkaranya kepada ulama yang lebih besar dari kalian dan dia. Karena sesungguhnya mereka akan menasihatinya dan menerangkan (kebenaran) kepadanya dan kelak ia akan kembali kepada sunnah insyaAllah.

Lihatlah (Asy-Syaikh) Al Albani –rahimahullah- dan banyak imam-imam kaum muslimin, ahlussunnah dan petunjuk –rahimahumullah- berpendapat bahwa wajah wanita bukan aurat, boleh baginya membuka wajahnya. Sedangkan Asy-Syaikh Abdul Aziz –Rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin –Rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullah- berpendapat dengan pendapat yang berbeda. Akan tetapi mereka tidak mencela (Asy-Syaikh Al Albani). Dan para ulama membantah Asy-Syaikh Nashir (Al Albani) tanpa mencelanya dan tidak pula ejekan atau (kata-kata) yang berlebihan.

Begitu pula beliau (Asy-Syaikh Al Albani) memandang haramnya emas yang melingkar dan membawakan dalil bagi pendapatnya. Dan para ulama yang telah aku sebutkan (nama-nama mereka di atas) serta selain mereka tidak mencela beliau. Mereka mengatakan: Asy-Syaikh Nashir Al Albani keliru dalam hal ini dan yang benar adalah ini.

Dan demikianlah barakallahufiikum para ulama saling menghormati satu sama lain. Dan telah aku jelaskan pada kalian ukuran/timbangan (dalam hal ini) yang aku ketahui dari ucapan imam-imam kita dan ulama kita dalam perselisihan dan orang yang menyelisihi. Maka perhatikanlah ini karena perkaranya tidak sama. 


Diterjemahkan oleh Al Ustadz Jafar Salih dari transkrip rekaman tanya-jawab pemuda dari Maroko bersama Asy-Syaikh Ubaid Al Jabiri Hafidzahullah dengan judul Al Haddul-Fashil baina Mu’amalati Ahlissunnah wa Ahlil Bathil.

http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=11955

Tidak ada komentar:

Posting Komentar