Jangan Bermudah-Mudah Dalam Berfatwa !
Dr. Anas Ahmad Karzun
Dan
dari apa-apa yang bisa diambil terhadap sebagian penuntut ilmu (sebagai
celaan untuk mereka) dalam pembahasan kita (yaitu jujur dan amanah)
adalah bermudah-mudahannya mereka dalam berfatwa dengan semata-mata
bermodalkan penelaahan / pengetahuan mereka dalam sebagian hukum-hukum
syar’i. Sehingga salah seorang dari mereka menyangka bahwa dirinya sudah
menjadi ahli fatwa dan mencoba meluruskan pendapat ahli fiqh atau
membantahnya.
Adapun
keadaan salafush sholih, maka mereka berada pada puncak ketelitian dan
berhati-hati dalam memberi fatwa kepada manusia karena takut akan
terjatuh ke dalam kesalahan atau takut berbicara tentang Allah tanpa
ilmu atau takut menisbatkan kepada syari’at apa-apa yang bukan darinya.
Dan keadaan mereka (salafush sholih) saling mempersilahkan orang lain
untuk berfatwa, meski diri mereka mempunyai kedudukan yang mulia dan
ilmu yang melimpah.
Dari
Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma,
bahwasanya datang seorang laki-laki dan menanyakan sesuatu kepadanya.
Maka Al Qosim menjawab, "Aku tidak paham." Laki-laki itu berkata, "Aku
sengaja bertanya kepada engkau karena aku tidak tahu orang selain engkau
(yang paham akan permasalahan ini)." Maka Al Qosim berkata, "Janganlah
engkau melihat kepada jenggotku yang panjang dan banyaknya manusia yang
ada di sekelilingku, demi Allah, aku tidak paham…" Beliau berkata lagi,
"Demi Allah, putusnya lisanku ini lebih aku sukai daripada aku berbicara
tanpa ilmu." (Adabul Muftii wal Mustaftii karya Al Hafizh ibnush
Sholaah halaman 78, dan lihatlah I’laamul Muwaqqi’iin karya Ibnul Qoyyim
2/165)
Dari
Sufyan bin ‘Uyainah dan Sahnun bin Sa’id, keduanya berkata, "Manusia
yang paling cepat berfatwa adalah yang paling sedikit ilmunya." (Adabul
Muftii wal Mustaftii halaman 78)
Dari
Al Haitsam bin Jamil, beliau berkata, "Aku menyaksikan Malik bin Anas
ditanya 48 masalah, maka beliau menjawab 32 pertanyaan di antaranya
dengan: Aku tidak tahu." (Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 79)
Dari
Malik, beliau berkata, "Apabila para sahabat kesulitan dalam menghadapi
permasalahan, maka salah seorang dari mereka tidak menjawab satu
masalah sampai mengambil pendapat temannya, dalam keadaan mereka diberi
rizki berupa keteguhan, taufiq, dan kesucian hati. Maka bagaimana dengan
diri kita dimana kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa telah menutupi
hati-hati kita! (Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 80)
Jika
Al Imam Malik rahimahullah berkata demikian tentang dirinya; maka
bagaimana keadaan kita hari ini dimana sebagian dari kita mengaku bahwa
dirinya mempunyai kesempurnaan dalam hal ilmu dan telah mencapai puncak
dan batas akhir ilmu!!
Dan
sungguh Al Imam Ibnush Sholaah telah menjelaskan bahwasanya berfatwa
tanpa ilmu sungguh akan mengantarkan kepada kesesatan dan kedustaan
dalam salah satu masalah dari permasalahan halal dan haram. Sehingga
dapat menyebabkan pelakunya termasuk dalam firman Allah ta’ala (yang
artinya), "Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta "Ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih." (QS An Nahl: 116-117)
Makna
ayat ini juga mencakup orang yang menyimpang dalam fatwanya, dimana dia
berkata tentang perkara yang haram: Ini halal. Atau berkata tentang
yang halal: Ini haram. Atau yang semacam ini. (Adabul Muftii wal
Mustaftii halaman 85)
Sudah seharusnya hal-hal tersebut harus diperhatikan oleh penuntut ilmu agar selamat dari sikap khianat dan kedustaan.
Diterjemahkan dari kitab Aadaabu Thaalibil ‘Ilmi halaman 85-87
karya Doktor Anas Ahmad Karzun
Sumber: Buletin Dakwah Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-15 Tahun ke-3 / 11 Maret 2005 M / 01 Shafar 1426 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar