Kamis, 05 Januari 2012

Jangan bermudah mudah dalam berfatwa


Jangan Bermudah-Mudah Dalam Berfatwa !


Dr. Anas Ahmad Karzun
 
Dan dari apa-apa yang bisa diambil terhadap sebagian penuntut ilmu (sebagai celaan untuk mereka) dalam pembahasan kita (yaitu jujur dan amanah) adalah bermudah-mudahannya mereka dalam berfatwa dengan semata-mata bermodalkan penelaahan / pengetahuan mereka dalam sebagian hukum-hukum syar’i. Sehingga salah seorang dari mereka menyangka bahwa dirinya sudah menjadi ahli fatwa dan mencoba meluruskan pendapat ahli fiqh atau membantahnya.
 
Adapun keadaan salafush sholih, maka mereka berada pada puncak ketelitian dan berhati-hati dalam memberi fatwa kepada manusia karena takut akan terjatuh ke dalam kesalahan atau takut berbicara tentang Allah tanpa ilmu atau takut menisbatkan kepada syari’at apa-apa yang bukan darinya. Dan keadaan mereka (salafush sholih) saling mempersilahkan orang lain untuk berfatwa, meski diri mereka mempunyai kedudukan yang mulia dan ilmu yang melimpah.
 
Dari Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya datang seorang laki-laki dan menanyakan sesuatu kepadanya. Maka Al Qosim menjawab, "Aku tidak paham." Laki-laki itu berkata, "Aku sengaja bertanya kepada engkau karena aku tidak tahu orang selain engkau (yang paham akan permasalahan ini)." Maka Al Qosim berkata, "Janganlah engkau melihat kepada jenggotku yang panjang dan banyaknya manusia yang ada di sekelilingku, demi Allah, aku tidak paham…" Beliau berkata lagi, "Demi Allah, putusnya lisanku ini lebih aku sukai daripada aku berbicara tanpa ilmu." (Adabul Muftii wal Mustaftii karya Al Hafizh ibnush Sholaah halaman 78, dan lihatlah I’laamul Muwaqqi’iin karya Ibnul Qoyyim 2/165)
 
Dari Sufyan bin ‘Uyainah dan Sahnun bin Sa’id, keduanya berkata, "Manusia yang paling cepat berfatwa adalah yang paling sedikit ilmunya." (Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 78)
 
Dari Al Haitsam bin Jamil, beliau berkata, "Aku menyaksikan Malik bin Anas ditanya 48 masalah, maka beliau menjawab 32 pertanyaan di antaranya dengan: Aku tidak tahu." (Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 79)
 
Dari Malik, beliau berkata, "Apabila para sahabat kesulitan dalam menghadapi permasalahan, maka salah seorang dari mereka tidak menjawab satu masalah sampai mengambil pendapat temannya, dalam keadaan mereka diberi rizki berupa keteguhan, taufiq, dan kesucian hati. Maka bagaimana dengan diri kita dimana kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa telah menutupi hati-hati kita! (Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 80)
 
Jika Al Imam Malik rahimahullah berkata demikian tentang dirinya; maka bagaimana keadaan kita hari ini dimana sebagian dari kita mengaku bahwa dirinya mempunyai kesempurnaan dalam hal ilmu dan telah mencapai puncak dan batas akhir ilmu!!
 
Dan sungguh Al Imam Ibnush Sholaah telah menjelaskan bahwasanya berfatwa tanpa ilmu sungguh akan mengantarkan kepada kesesatan dan kedustaan dalam salah satu masalah dari permasalahan halal dan haram. Sehingga dapat menyebabkan pelakunya termasuk dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), "Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih." (QS An Nahl: 116-117)
 
Makna ayat ini juga mencakup orang yang menyimpang dalam fatwanya, dimana dia berkata tentang perkara yang haram: Ini halal. Atau berkata tentang yang halal: Ini haram. Atau yang semacam ini. (Adabul Muftii wal Mustaftii halaman 85)
 
Sudah seharusnya hal-hal tersebut harus diperhatikan oleh penuntut ilmu agar selamat dari sikap khianat dan kedustaan.
 
Diterjemahkan dari kitab Aadaabu Thaalibil ‘Ilmi halaman 85-87
karya Doktor Anas Ahmad Karzun
Sumber: Buletin Dakwah Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-15 Tahun ke-3 / 11 Maret 2005 M / 01 Shafar 1426 H


Tidak ada komentar:

Posting Komentar