Kamis, 05 Januari 2012

Hukum berinteraksi dengan perusahaan perkreditan (leasing)

HUKUM BERINTERAKSI DENGAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN LEASING (PERKREDITAN)

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Kita banyak membaca
seputar adanya beberapa perusahaan leasing (perkreditan) melalui
beberapa surat kabar dan kita juga mendengar hal itu melalui
orang-orang (dari mulut ke mulut). Apakah boleh berinteraksi dengan
perusahaan-perusahaan tersebut dan memanfaatkan jasa layanannya?
Jawaban
Kita harus mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan
perusahaan-perusahaan perkreditan; apakah yang dimaksud adalah
penjualan secara kredit atau apa? Jika yang dimaksud adalah penjualan
dengan kredit, maka penjualan secara tangguh adalah dibolehkan
berdasarkan makna zhahir Al-Qur’an dan dalil yang jelas dari As-Sunnah.
Mengenai hal itu, dalam Al-Qur’an Allah berfirman.
“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya…” hingga firman-Nya:
“…dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguannmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali
jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya…” (Qs. Al-Baqarah:
282)
Hal tersebut, yakni penjualan secara tangguh (kredit) adalah boleh
hukumnya berdasarkan dalil As-Sunnah yang jelas sekali, sebab Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengutus kepada seorang laki-laki yang telah
mempersembahkan
kepada beliau pakaian dari Syam agar menjualnya dengan dua buah baju
kepada Maisarah (budak Khadijah, isteri beliau) [1]
Dalam kitab Ash-Shahihain dan selain keduanya dari hadits yang diriwayatlkan
oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang ke
Madinah sementara mereka biasa melakukan jual beli secara salam
(memberikan uang di muka namun barangnya belum bisa diambil/memesan)
terhadap kurma setahun atau dua tahun, lalu beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaklah dia
memesan dalam takaran (Kayl) yang sudah diketahui, dan wazan
(timbangan) yang sudah diketahui hingga batas waktu yang sudah
diketahui.” [2]
Akan tetapi kami pernah mendengarkan bahwa ada sebagian orang yang
menjual barang yang tidak dimilikinya setelah dia mengetahui ada
permintaan dari pembeli kepadanya, seperti seseorang mendatangi seorang
pedagang sembari berkata padanya, “Saya ingin barang yang begini akan tetapi
saya tidak bisa membayarnya.” Lalu si pedagang pergi dan membelinya dari
pemilik asalnya, kemudian
menjualnya lagi kepada orang yang mencarinya tersebut dengan harga
tangguh (kredit) yang lebih mahal daripada harga ketika dia membelinya.
Tidak diragukan labi bahwa ini merupakan pengelabuan (siasat licik)
yang amat jelas sekali untuk melakukan riba, sebab sipedagang ini tidak
pernah berminat membeli barang itu ataupun membeli untuk dirinya
sendiri. Tujuannya hanyalah ingin mendapatkan keuntungan yang akan
diberikan oleh si pembeli kepadanya. Dan ini akan menjadi pembeda
antara jual beli kontan dengan jual beli kredit.
Sebagian orang terkadang sengaja berkata, “Saya mengambil keuntungan
dari anda, misalnya 8%. Atau mengatakan, pada tahun ke dua sebesar 10%.
Atau, pada tahun ke tiga menjadi sebesar 15%, demikian seterusnya, riba
semakin bertambah setiap kali waktunya diperpanjang, atau setiap kali
terlambat membayarnya. Ini merupakan bukti yang nyata sekali bahwa yang
dimaksud oleh si pedagang tersebut hanyalah riba saja.
Seorang yang berakal, bila merenungi hal itu pasti akan menemukan
bahwa tindakan mengelabui tersebut lebih dekat kepada riba dari jenis
Inah yang telah diingatkan oleh Rasulullah. Jual beli Inah adalah
seseorang menjual sesuatu dengan harga tangguh (kredit) lalu membelinya
lagi secara tunai (kontan) dengan harga yang lebih murah dari harga
saat dia mejualnnya kepadanya.
Bisa jadi si penjual ini, yakni penjual pertama ketika menjualnya
tidak terbetik di hatinya bahwa dia akan membelinya lagi dari orang
yang telah membeli darinya, demikian pula tidak pernah terbetik di hati
si pembeli bahwa dia akan menjualnya lagi, kemudian setelah itu dia
mengurungkan niatnya dan menawarkannya di pasaran; sehingga tidak halal
(boleh) bagi penjual pertama untuk membelinya dengan harga yang lebih
rendah (murah) dari harga ketika dia menjualnya, sebab ini termasuk
jual beli Inah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah agar tidak
dilakukan, dalam sabdanya:
“Artinya: Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara
Inah, senantiasa memegang ekor sapi, rela dengan tanah garapan
pertanian (senantiasa mendahulukan kehidupan dunia atas kehidupan
akhirat,-pent) dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan
kalian kehinaan yang tidak akan dicabutNya hingga kalian kembali kepada
ajaran dien kalian.” [3]
Sebagaimana telah diketahui bahwa pengelabuan (siasat licik)
terhadap penjualan secara kredit yang telah saya sebutkan di muka lebih
dekat dengan pengelabuan dalam masalah Inah. Oleh karena itu, saya
menasehati saudara-saudaraku, para penjual dan pembeli dari melakukan
transaksi seperti ini, yang mereka tidak akan mendapatkan selain
dicabutnya keberkahan pada jual beli mereka. Sementara Allah telah
berfirman:
Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al-Baqarah: 276)
Disamping itu, traksaksi seperti ini mengandung dampak negatif dari
aspek ekonomi karena begitu mudahnya sehingga membuat kaum fakir nekat
melakukannya dan menanggung hutang serta menyibukkan beban diri mereka
dengan hutang-hutang yang telah bertumpuk ini. Barangkali, ada waktunya
mereka sama sekali tidak mampu melunasinya, maka ketika itu terjadilah
berbagai problematika dan perselisihan antara si penjual dan pembeli
bahkan bisa jadi sampai kepada kondisi kebangkrutan, lalu apa akibat
yang akan dituai oleh penjual yang sengaja menginginkan riba dari
transaksi tersebut? Allah berfirman:
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami ketahui orang-orang yang
melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada
mereka: ‘Jadilah kamu kera yang hina.’ Maka Kami jadikan yang demikian
itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang
kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Qs.
Al-Baqarah: 66-67)
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan nasehat kepada segenap
saudara-saudaraku, kaum muslimin agar tidak melakukan pengelabuan
terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan hendaknya mereka
mengetahui bahwa yang menjadi standar dalam akad-akad jual-beli adalah
tujuan-tujuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya: Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan
setiap orang tergantung kepada niatnya.” [4]
Bila orang ini memang benar-benar temannya, maka alangkah baiknya
dia meminjamkannya dengan pinjaman yang baik (Qardl Hasan), yang tidak
mengandung riba di dalamnya. Dengan begitu, dia termasuk orang-orang
yang berbuat ihsan sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di
dalam kitab-Nya.
“Artinya: sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (ihsan).”
(Qs. Al-Baqarah: 195)
Dan saya menasehati saudara saya yang melakukan transaksi seperti
ini agar menggugurkan riba yang ditambahkannya kepada harga mobil
tersebut dan hanya mengambil sebatas harga pembeliannya saja.
[Kitab Ad-Da’wah, edisi 5, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2, hal. 55-60]
_________
Catatan Kaki:
[1]. HR At-Tirmidzi, Kitab Al-Buyu (1213), An-Nasai, Kitab Al-Buyu (7 /294),
Ahmad (6 /147).
[2]. HR Al-Bukhari, Kitab As-Salam (2239-2241), Muslim, Kitab Al-Musaqah (1604)
[3]. HR Abu Dawud, Kitab Al-Buyu’ (3462), Hadits ini memiliki jalur periwayatan
yang dapat menguatkan kualitasnya (lihat, As-Silsilah Ash-Shahihah, No. 11.
[4]. HR Al-Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyi (1), Muslim, Kitab Al-Imarah (1907)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar