Celaan terhadap Sikap Terbiasa Protes (keberatan dengan) ahlul ilmi ulama
Oleh: Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah
Tidak memprotes orang-orang
terkemuka/senior/kabir adalah perkara terpuji, baik perkara yang
diprotes adalah perkara yang dipahami atau tidak. Dalil hal itu ada
beberapa perkara:
Pertama: yang ada di
al-Qur’an al-Karim, seperti kisahnya Nabi Musa bersama Khidhir, ketika
Khidhir memberi syarat kepada beliau agar beliau tidak bertanya tentang
sesuatu hingga dia sendiri yang akan menyebutkannya. Dan yang dikisahkan
Allah dari firman-Nya:
{هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ}
“Ini perpisahan antara aku dan kamu.” (al-Kahfi: 78)
Dan Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
رحم الله موسى، لو صبر حتى يقص علينا من أخبارهما
“Semoga Allah merahmati Nabi Musa, kalau
dia sabar hingga Allah mengisahkan kepada kita tentang keduanya.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Meskipun Nabi Musa berbicara dengan ilmu, sesungguhnya keluar dari syarat menyebabkan keluar dari perkara yang disyarati.
Diriwayatkan dalam hadits bahwa para malaikat ketika mereka mengatakan:
{أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ}
“Apakah Engkau akan menjadikan di sana orang yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di sana.” (al-Baqarah: 30)
Maka Allah menjawab mereka dengan firman-Nya:
{إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ}
“Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
kalian tidak ketahui.” Kemudian Allah mengirim api kepada mereka dan api
itu membakar mereka.
Dan datang protes yang lebih keras dari ini, yaitu protesnya Iblis dalam ucapannya:
{أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ}
“Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakan aku dari api dan Engkau menciptakannya dari tanah.” (al-A’raf: 12)
Dialah Iblis yang sudah ditetapkan
kesengsaraan sampai hari kiamat karena protesnya dia kepada Allah Yang
Maha Bijak lagi Maha Mengetahui. Ini adalah dalil dalam permasalahan
kita.
Dan kisah Bani Israil dengan sapi
termasuk jenis ini juga, ketika mereka memberat-beratkan diri dalam
bertanya, sehingga Allah mempersulit mereka.
Kedua: yang ada dalam hadits, seperti hadits:
تعالوا أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده
“Kemarilah aku tulis satu kitab untuk
kalian, yang kalian tidak akan sesat setelahnya.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Abbas)
Kemudian dalam hal itu ada sebagian shahabat yang memprotes, sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk keluar dan beliau tidak jadi menuliskan sesuatupun untuk mereka.
Kisahnya Ibunya Ismail ketika muncul air Zamzam, kemudian dia membendungnya dan menghalangi air mengalir, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لو تركت لكانت زمزم عينا معينا
“Kalau dia membiarkan, sungguh Zamzam akan menjadi mata air yang melimpah ruah.” (HR. al-Bukhari)
Dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dimasakkan daging dalam satu wadah.
Kemudian beliau bersabda: “beri aku dzira’ (sampil)”. Perawi berkata:
kemudian aku memberinya dzira’. Beliau meminta lagi: “Beri aku dzira’.”
Maka aku memberinya dzira’. Kemudian beliau bersabda lagi: “Beri aku
dzira’.” Maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, berapa dzira’ seekor
kambing?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi
Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, kalau engkau diam, aku sungguh
akan diberi dzira’ selama aku minta.” (Dishahihkan Syaikh al-Albani
dalam Mukhtashar as-Syamail 143 hal 96)
Dan hadits ‘Ali, dia berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuiku dan Fathimah pada malam
hari. Kemudian beliau membangunkan kami untuk shalat. Ali berkata:
“Kemudian aku duduk menggosok mataku dan berkata: “Sesungguhnya kami
-demi Allah- tidak akan shalat kecuali yang telah ditetapkan untuk kami.
Jiwa kami hanyalah berada di tangan Allah, jika Allah berkehendak Allah
akan membangkitkannya, maka ia akan bangkit.” Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sambil mengucapkan: “Manusia itu
sangat banyak membantahnya.” (al-Kahfi: 54) (HR. al-Imam al-Bukhari dan
Muslim)
Dan hadits: “Wahai manusia, tuduhlah
ra’yu (hasil akal pikiran), sesungguhnya kami pada hari Abu Jandal,
kalau kami mampu menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sungguh kami akan menolaknya.” (HR. al-Bukhari dan lainnya dari
Sahl bin Hanif)
Ketika Khuzn –kakek Sa’id bin
al-Musayyib- diutus menemui Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, maka
nabi bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Dia menjawab: “Huzn (yang
artinya kesedihan).” Beliau berkata: “Bahkan namamu Sahl (yang artinya
kemudahan).” Dia malah menjawab: “Aku tidak akan merubah nama yang
diberikan bapakku kepadaku.” Kemudian Sa’id bin al-Musayyib: “Maka
terus-menerus kesedihan ada pada kami sampai hari ini.” (HR. al-Imam
al-Bukhari no 6190)
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak.
Ketiga: Apa yang
didapat dari pengalaman bahwa protes terhadap orang-orang yang
senior/terkemuka/kabir menyebabkan terhalangnya faedah, menjauhkan
antara seorang syaikh (guru) dan murid. Terlebih di sisi orang sufi
(!!), sesungguhnya itu menurut mereka adalah penyakit terbesar, sampai
a’-Qusyairi dari mereka meyakini bahwa taubat darinya tidak diterima,
dan ketergelinciran tidak diucapkan (!!). …
Dan Imam Malik bin Anas berkata kepada
Asad ketika dia mencercanya dengan pertanyaan: “Ini rantai anak rantai
(maksudnya pertanyaan berandai-andai yang berentetan). Jika engkau
menginginkan hal ini, maka pergilah ke iraq (negerinya para ahlur ra’yi
pada waktu itu).” Imam Malik mengancamnya tidak mendapat faedah darinya
dengan sebab protesnya trehadap jawaban beliau. Dan yang semisalnya
banyak bagi yang ingin mecarinya.
Yang menjadi kesimpulan dari ini bahwa
seorang ulama/alim yang dikenal dengan amanahnya dan kejujurannya dan
berjalan di atas sunnahnya orang-orang yang punya keutamaan, punya din
(agama), punya sifat wara’, jika ditanya tentang satu kejadian, kemudian
dia memberikan jawaban, atau disodorkan kepadanya satu keadaan yang
jauh dari bayangan yang semisalnya atau tidak terbetik dalam pemahaman
si pendengar tentang kejadiannya, hendaknya si penanya tidak
memprotesnya dan mengkritiknya. Jika muncul musykilah maka diamnya dia
lebih utama dalam mendapatkan kesuksesan dan memperoleh bekal, insya
Allah.
(Sumber: Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah dalam kitab al-Muwafaqat 835 dari http://www.sahab.net/home/?p=719)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar