Liberal,
yang bermakna bebas, adalah sebuah kata yang sebetulnya tidak cocok
disandarkan kepada Islam, sebab Islam itu sendiri bermakna tunduk dan
patuh kepada Allah tabaraka wa ta’ala, berserah diri kepada-Nya, yang
berarti tidak bebas melakukan berbagai hal dalam kehidupan ini tanpa
terikat dengan ketentuan-ketentuan sang pencipta; Allah Rabbul’alamin.
Jika dinalar dengan logika yang sehat
pun, makna Islam seperti di atas maka insya Allah sama sekali tidak akan
bertentangan dengan akal yang sehat, sebab akal yang sehat dapat
memahami bahwa manusia dan seluruh alam ini adalah ciptaan Allah
subhanahu wa ta’ala dan selalu butuh kepada-Nya, maka sudah sepatutnya
seluruh makhluk tidak menyombongkan diri dengan menolak
ketentuan-ketentuan sang pencipta; Allah jalla wa ‘ala.
Akan tetapi, jika akal manusia telah
rusak, baik sadar maupun tidak sadar, maka logika di atas dapat terbalik
seratus delapan puluh derajat. Namun itulah yang terjadi apabila
seseorang menganut paham liberal, bebas tak terikat dengan
ketentuan-ketentuan apapun juga. Menariknya, kebanyakan pelopor paham
liberal adalah orang-orang yang pernah belajar “islam” di dunia barat
yang notabene didominasi oleh non muslim, sehingga “wajar” jika kemudian
pandangan-pandangan mereka selalu tidak ingin terikat dengan Islam.
Sebagai bukti, mereka yang berpaham
liberal pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa (sepanjang yang
kami teliti, dua poin berikut adalah pangkal kekafiran mereka):
- Tidak ada yang bisa mengklaim bahwa Allah ta’ala, yang disembah oleh umat Islam, sebagai satu-satunya yang layak disembah sedangkan yang lain salah.
- Semua agama sama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan lain sebagainya. Tidak boleh seorang pun mengklaim agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah.
Dari sini tercabang semua pandangan mereka yang menolak ajaran-ajaran Islam, diantaranya:
- Penolakan terhadap ketentuan waris laki-laki mendapat dua bagian wanita
- Imam sholat harus laki-laki
- Jihad terhadap orang-orang kafir
- Penyesatan kelompok-kelompok yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah
- Hukum-hukum hudud
- Tidak syahnya pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim
- Tidak boleh saling mewarisi dengan non muslim
- Hingga penolakan mereka terhadap pengharaman free sex dan hubungan sejenis atau LBGT (lesbian, gay, bisexual dan transgender) yang akhir-akhir ini semakin mencuat, khususnya setelah kedatangan salah satu tokoh mereka yang lesbi; Irshad Manji.
Yang menarik dicermati adalah, meskipun
mereka telah mengetahui dalil-dalil agama, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an
maupun hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan ijma’
(kesepakatan) seluruh ulama bahwa, “Tidak ada yang berhak di sembah selain Allah ta’ala, dan semua yang disembah manusia selain-Nya adalah salah” dan “Tidak ada agama yang benar selain Islam, sedangkan semua agama selain Islam tidak syah dalam pandangan Allah ta’ala,” tetapi dengan mudahnya mereka menolak seluruh dalil-dalil agama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Diantara bentuk penolakan secara
langsung adalah seperti pandangan mereka bahwa dalil-dalil agama
tersebut sudah tidak otentik lagi, namun anehnya, untuk mendukung hal
ini mereka tidak segan-segan menggunakan dalil-dalil agama. Dan lebih
aneh lagi, ketika berargumentasi dengan dalil-dalil agama tersebut
mereka tidak peduli apakah dalil yang mereka gunakan itu adalah sebuah
ayat yang hukumnya sudah mansukh bahkan hadits maudhu’ (palsu) sekalipun.
Dan saya berkeyakinan hal itu terjadi karena mereka memang tidak memiliki “perangkat ilmu” untuk dapat mengenali nasikh dan mansukh, serta membedakan antara hadits maqbul (layak diterima) dan mardud
(tidak layak diterima karena lemah atau palsu). Tidak adanya perangkat
ilmu ini diperparah dengan telah adanya “asumsi awal” yang berusaha
tetap dipertahankan tanpa peduli bahwa hal itu salah atau benar,
sehingga yang terjadi adalah mencari “pembenaran” bukan “kebenaran”.
Inilah yang dikenal dengan istilah ta’asshub (fanatisme), sadar
maupun tidak, adanya metodelogi mencari pembenaran ini menunjukkan
bahwa sifat fanatisme ini ada pada diri mereka.
Apabila kita kembali menengok ke
belakang, di awal penciptaan manusia, sesungguhnya metode mencari
“pembenaran” inilah yang digunakan iblis ketika menentang ketetapan
Allah tabaraka wa ta’ala. Iblis sudah memiliki “asumsi awal” bahwa
dialah yang lebih mulia dari Nabi Adam ‘alaihissalam, pada akhirnya
diapun mencari pembenaran dengan berusaha memutar otaknya sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa memang dialah yang lebih mulia dengan
alasan dia tercipta dari api sedang manusia dari tanah. Dengan modal
pendalilan yang lemah inilah iblis berani menentang perintah Allah
tabaraka wa ta’ala, dan hasilnya diapun dimurkai dan diusir dari surga.
Penggunaan dalil-dalil agama meskipun
hadits palsu inilah yang ditempuh oleh Salman Rushdie dalam “Ayat-ayat
Setannya” dan diikuti begitu saja oleh Irshad Manji dalam “Beriman Tanpa
Rasa Takut” (edisi terjemahan). Anehnya, Manji dalam beberapa
pernyataannya selalu menyerukan agar bersikap kritis terhadap
dalil-dalil agama, tidak begitu saja menerimanya, namun ternyata dia
sendiri tidak mampu bersikap kritis terhadap Rushdie dan terhadap hadits
palsu yang dia jadikan untuk mendukung pemikirannya. Perhatikan
ucapannya berikut ini dalam mengkritisi keotentikan Al-Qur’anul Karim,
“Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Quran.” (Beriman Tanpa Rasa Takut, hal. 96-97).[1]
Walaupun sebagian ulama Islam ada yang
mencantumkan hadits tentang kisah “ayat-ayat setan” tersebut pada
sebagian karya-karya mereka, akan tetapi kita diajarkan untuk bersikap
kritis terhadap pendapat manusia selain Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam, prinsip ilmiahnya adalah seperti ucapan Al-Imam Malik
rahimahullah, “Semua perkataan bisa diterima dan bisa ditolak kecuali ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam” terlebih ucapan Allah tabaraka wa ta’ala.
Kisah di atas diriwayatkan tidak kurang dari 10 riwayat namun semuanya riwayat mursal (terputus sanadnya) tidak ada yang maushul
(sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam) sehingga tidak dapat
saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu para ulama
ahli hadits yang terkenal dengan ketelitian dalam meriwayatkan hadits
tidak seorangpun meriwayatkan hadits ini, seperti para penyusun Kutubus Sittah;
Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasai
tidak sedikitpun meriwayatkan kisah di atas. Bahkan Al-Qodhi ‘Iyadh
telah menukil kesepakatan (ijma’) ulama akan batilnya matan kisah tersebut (lihat Asy-Syifa, 2/126).
Demikian pula para ulama muhaqqiqin telah meneliti dan menjelaskan kepalsuan kisah ini seperti Al-Imam Al-Mufassir Al-Qurthubi dalam Ahkamul Qur’an (12/80-84), Al-Kirmani, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Al-Fath (8/498), Al-‘Aini dalam Umdatul Qori (9/47) dan Asy-Syaukani dalam Fathul Qodir
(3/247-248), bagi siapa yang ingin melihat penjelasan ilmiah atas
kepalsuan kisah ini secara lebih detail silakan membaca penjelasan
Al-Muhaddits Al-Albani dalam sebuah buku khusus mengkritik kisah
tersebut secara sanad dan matan yang berjudul, “Nashbul Majaaniq li Nasfi Qisshotil Gharaaniq.”
MENCARI AKAR PENYIMPANGAN
Telah dimaklumi bersama bahwa untuk
mengobati suatu penyakit, yang terbaik adalah dimulai dengan
menghilangkan sebab munculnya penyakit tersebut. Maka sejauh yang bisa
kami teliti, diantara sebab penyimpangan para penganut liberal ini
adalah kerancuan berpikir (syubhat) yang ada di kepala mereka, diantaranya kerancuan berpikir mereka bahwa,
“Manusia tidak dapat mengenali hakikat kebenaran yang sejati, yang tahu hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga manusia tidak dapat meyakini ajaran yang Allah ta’ala turunkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai satu-satunya yang benar, sedangkan yang lain salah.”
Dan kadang-kadang, kerancuan berpikir
mereka ini dibungkus dengan kata-kata indah seakan-akan dalam rangka
memuliakan Allah ta’ala dan menempatkan kedudukan manusia sesuai
kedudukannya, namun hakikat di balik itu adalah sebaliknya, yaitu
menuhankan (akal) manusia dan merendahkan Allah ‘azza wa jalla.
Perhatikan ucapan Irshad Manji dalam wawancara yang diterbitkan di web resmi kaum liberal berikut ini ketika dia menolak pelarangan terhadap Ahmadiyah,
“Melarang mereka (Ahmadiyah, pen) adalah suatu bentuk kesombongan kalangan Muslim mainstream yang mengambil alih peran Tuhan. Jika kita meyakini ada kebenaran final dan hanya Tuhan yang berhak menghukum orang yang tidak beriman atau memberi pahala pada mereka yang beriman, lalu siapakah kita ini sehingga menganggap orang lain tidak beriman?”
Juga ucapan Manji dalam bukunya “Beriman Tanpa Rasa Takut”:
“Setelah begitu banyak mengeksplorasi, interpretasi pribadiku atas Al-Qur’an telah menuntunku ke arah tiga pesan yang berulang kali muncul. Pertama, hanya Tuhan yang sepenuhnya tahu kebenaran atas segala sesuatu. Kedua, hanya Tuhan saja yang dapat menghukum kaum yang tidak percaya, sesuatu yang masuk akal, karena hanya Tuhan yang tahu apa itu keyakinan yang sesungguhnya…”[2]
[Cetak tebal dari kami]
Perhatikan juga ucapan salah seorang “pembesar” mereka di web resmi kelompok liberal berikut ini,
“Saya meyakini bahwa Allah Yang Esa dan Yang Mutlak tak mungkin dijelaskan oleh manusia yang relatif. Karena itu, diperlukan kerendah-hatian dari setiap manusia untuk tak mengabsolutkan konsep ketuhanannya. Kita mesti belajar untuk tak jadi manusia yang menganggap diri selalu benar. Amat berbahaya sekiranya setiap orang mengklaim bahwa rumus ketuhanan versi dirinya adalah yang paling benar. Itu bukan hanya menunjukkan kepongahan si perumus, melainkan juga telah mengecilkan kebesaran Allah yang tak berhingga itu…”
[Cetak tebal dari kami]
MELURURSKAN KERANCUAN
Ucapan di atas jika dilihat sekilas nampak benar,[3]
dan seakan-akan yang mereka inginkan dari pemikiran tersebut adalah
memuliakan Allah ta’ala, akan tetapi maksud yang sebenarnya adalah, “Janganlah
Anda yakini ajaran atau agama (Islam) Anda yang paling benar sedang
yang lain salah, Anda tidak mampu memahami kebenaran yang hakiki,
sehingga semua agama benar menurut keyakinan masing-masing maka tidak
boleh saling menyalahkan, hal itu karena Anda tidak mampu memahami
ucapan Allah ta’ala, hanya Allah ta’ala sendiri yang mampu mengetahui
kebenaran.” Maka intinya, mereka menganggap semua agama benar, inilah makna ucapan Manji di atas.
Adapun yang dimaksudkan dalam ucapan sang “pembesar” di atas adalah, ”Jangan Anda yakini Allah ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan sedangkan yang lain salah sebagaimana makna kalimat Laa ilaaha illallah sebab Anda tidak bisa memahami makna Laa ilaaha illallah sebagaimana yang Allah ta’ala inginkan.” Maka intinya, tidak boleh menyalahkan agama lain yang menyembah selain Allah ta’ala.
Tidak diragukan lagi keyakinan di atas
adalah kekafiran yang menyebabkan orang yang meyakininya murtad, keluar
dari Islam. Untuk meluruskannya maka kami jawab dari beberapa sisi:
Pertama: Allah
ta’ala sendiri telah menetapkan bahwa Dialah sesembahan yang benar,
sesembahan selain-Nya adalah salah. Sebagaimana firman-Nya:
ذَلِكَ بِأَنَّ
اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya
dialah Allah (sesembahan) yang benar, adapun yang mereka sembah
selain-Nya adalah salah, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [Al-Hajj: 62]
Ayat ini telah sangat jelas sekali,
tidak membutuhkan penafsiran dengan akal manusia, tetapi hendaklah
gunakan akal yang sehat untuk memahami dan menerima ayat ini. Jelas
sekali ayat ini menujukkan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya
sesembahan yang benar, selain-Nya adalah salah.
Berikut kami sebutkan bukti-bukti ilmiah dari wahyu dan akal yang sehat, yang mendukung bahwa makna ayat di atas adalah sesuai zhahirnya, tidak lagi membutuhkan penafsiran dari akal manusia yang terbatas.
Manusia meyakini bahwa Allah ta’ala yang
telah menciptakan mereka, maka akal yang sehat dapat memahami bahwa
sudah sepatutnya hanya Allah ta’ala yang layak disembah. Sehingga Allah
tabaraka wa ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firmannya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai sekalian manusia, sembahlah Rabb
kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertakwa.” [Al-Baqorah: 21]
Oleh karena itu Allah ta’ala mencela
sesembahan-sesembahan selain-Nya yang tidak sedikitpun mampu menciptakan
sesuatu. Sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن
دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن
يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لاَّ يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ
الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ
اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun,
walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali
dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah. Mereka (orang-orang yang menyekutukan Allah ta’ala) tidak
mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hajj: 73-74]
Demikian pula jika Anda membaca
pengabaran dari Allah ta’ala tentang ucapan orang-orang kafir ketika
mereka menolak untuk menjadikan Allah ta’ala sebagai satu-satunya
sesembahan, maka logika yang sehat akan dapat memahami bahwa siapa yang
menolak ketetapan tersebut berarti dia tidak ada bedanya dengan
orang-orang kafir yang menentang dakwah Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia (Muhammad) menjadikan yang
disembah adalah sesembahan yang satu saja, sesungguhnya ini adalah
sesuatu yang sangat aneh.” [Shod: 5]
Oleh karena itu, Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam mengabarkan bahwa dosa yang paling besar adalah perbuatan
syirik. Sebagaimana dalam hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ
عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ
إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ وَأَنْ تَقْتُلَ
وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ
تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ
“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, “Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah ta’ala suatu tandingan/sekutu padahal Dia yang menciptakanmu.” Aku
berkata, “Sesungguhnya hal itu benar-benar dosa besar. Kemudian apa
lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu karena khawatir dia
makan bersamamu.” Aku berkata, “Kemudian apa lagi?” Beliau bersabda,
“Engkau berzina dengan istri tetanggamu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][4]
Dan subhanallah, seorang mukmin
yang akalnya sehat dan fitrahnya lurus juga meyakini, bahwa Allah
ta’ala tidak sekedar sebagai Penciptanya, bahkan dia senantiasa butuh
kepada Allah ta’ala untuk dapat bertahan hidup di dunia ini, maka
kesombongan mana lagi yang lebih besar dibanding orang yang menolak
ketentuan Allah ta’ala untuk manusia, yaitu mengesakan-Nya dalam ibadah
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga.
Sehingga Allah ta’ala mengecam
orang-orang yang menjadikan selain-Nya sebagai sesembahan yang
sedikitpun tidak mampu memberikan manfaat ataupun mudarat kepada mereka.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ
“Dia berkata, ‘Apakah kalian beribadah
kepada selain Allah yang tidak sedikitpun mampu memberikan manfaat dan
mudarat kepada kalian’.” [Al-Anbiya’: 66]
Juga firman-Nya:
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah, ‘Serulah yang kalian sangka
sebagai sesembahan selain-Nya, maka mereka tidak sedikitpun mampu
menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya’.” [Al-Isra’: 56]
Maka inilah hakikat kesombongan manusia,
dia butuh kepada Allah ta’ala namun dia tidak menjadikan-Nya sebagai
satu-satunya sesembahan sebagaimana ketentuan-Nya, namun dengan
permainan kata-katanya Manji mampu membalikkan fakta bahwa kesombongan
adalah ketika seorang meyakini kebenaran apa yang telah Allah ta’ala
tetapkan dengan alasan manusia tidak mampu memahami kebenaran tersebut.
Sebagai jawaban kepada Manji, berikut
ini adalah sebuah hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang
menjelaskan kepada kita hakikat kesombongan,
لاَ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ
رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ
حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya ada kesombongan meskipun hanya sebesar biji dzarrah,”
seseorang berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang ingin
pakaian dan sandalnya bagus,” Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
menegaskan, “Seseungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan,
(kesombongan bukanlah itu) tetapi kesombongan adalah menolak kebenaran
dan menganggap remeh manusia.” [HR. Muslim][5]
Maka silakan Anda gunakan akal sehat
Anda, apakah masuk akal jika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
mengabarkan bahwa orang yang menolak kebenaran adalah orang yang sombong
dan dia tidak akan masuk surga padahal dia tidak dapat mengenali
kebenaran tersebut!?
Apakah orang yang berakal sehat dapat
menerima sesuatu sebagai kebenaran sementara dia tidak mampu
mengenalinya dan tidak meyakini hal itu sebagai kebenaran yang hakiki!?
Kedua: Uraian
di atas dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat dipahami
oleh akal manusia tanpa membutuhkan penafsiran yang rumit sekaligus
menunjukkan bahwa tidak ada agama yang benar di muka bumi ini selain
Islam. Sebab hanya Islam satu-satunya agama yang mengajarkan tauhid dan
melarang syirik. Oleh karena itu Allah ta’ala menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” [Ali Imron: 19]
Juga penegasan Allah jalla wa ‘ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين
“Barangsiapa yang mencari selain Islam
sebagai agama baginya maka sekali-kali tidak akan diterima dari padanya
dan dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali Imron: 85]
Mungkin Anda dapat mengatakan bahwa yang
dimaksud Islam dalam ayat di atas adalah berserah diri kepada Allah
ta’ala sehingga bisa jadi maknanya termasuk Yahudi dan Nasrani jika
mereka juga berserah diri kepada Allah ta’ala. Maka kami katakan, akal
sehat memahami bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang yang
lebih memahami Al-Qur’an dibanding manusia yang lainnya, sebab beliau
diajari Al-Qur’an secara langsung oleh Allah ta’ala melalui perantara
malaikat Jibril ‘alaihissalam yang terpercaya, yang hanya menyampaikan
sesuai perintah Allah ta’ala kepadanya.
Dalam hadits berikut terdapat penjelasan
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa siapapun termasuk Yahudi dan
Nasrani yang tidak beriman dengan risalah Islam yang beliau bawa maka
dia akan termasuk penghuni neraka,
وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di
tangan-Nya, tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang mendengar
tentang aku, baik Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati sebelum
beriman dengan risalah yang aku diutus membawanya, kecuali dia termasuk
penghuni neraka.” [HR. Muslim][6]
Ketiga: Pandangan
liberal bahwa manusia tidak dapat mengetahui kebenaran adalah tidak
masuk akal, sebab jika demikian adanya maka tidak perlu Allah ta’ala
menurunkan wahyu-Nya sebagai kebenaran jika memang tidak dapat
diketahui. Pandangan tersebut juga sama saja dengan melecehkan tugas
para Rasul ‘alaihimussalam untuk menyampaikan kebenaran, karena percuma,
ternyata kebenaran yang disampaikan para Rasul tersebut tidak dapat
diketahui oleh manusia.
Allah ta’ala menegaskan bahwa wahyu yang diturunkannya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam itulah kebenaran:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ
“Dan orang-orang yang beriman (kepada
Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada
wahyu yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah kebenaran dari Rabb
mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki
keadaan mereka.” [Muhammad: 2]
Dalam ayat yang mulia ini juga, Allah
ta’ala berjanji kepada orang-orang yang beriman dengan kebenaran yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam bahwa akan
dihapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan diperbaiki keadaan mereka.
Maka apakah ini hanyalah sebuah janji kosong belaka sebab ternyata
manusia tidak mampu mengetahui kebenaran tersebut!? Mungkinkah manusia
mengimani sesuatu yang tidak mungkin dia ketahui!?
Keempat: Allah
ta’ala telah mengabarkan kepada kita hakikat sesungguhnya bahwa
sebetulnya manusia mampu mengenal kebenaran yang hakiki, bahkan oleh
orang-orang kafir sekalipun, hanya saja sebagian diantara mereka
menyembunyikan kebenaran tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ
الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ
فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Nabi Muhammad
(shallallahu’alaihi wa sallam) seperti mereka mengenal anak-anaknya
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan
kebenaran, padahal mereka mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Rabbmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [Al-Baqorah: 146-147]
Dalam ayat yang mulia ini Allah ta’ala
dengan jelas sekali mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani
telah mengetahui kebenaran, sebab dahulu Allah ta’ala telah menurunkan
Taurat dan Injil yang telah mengabarkan kepada mereka akan kebenaran
Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima setelah diutusnya Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam.
Akan tetapi sebagaimana kata Allah jalla
wa ‘ala, mereka menyembunyikan kebenaran tersebut. Walaupun begitu
nampaknya mereka masih lebih baik dari orang-orang liberal yang sama
sekali tidak mampu mengenal kebenaran dan menganggap manusia seluruhnya
seperti mereka.
Dalam ayat yang mulia ini juga terdapat
perintah Allah ta’ala agar kita tidak meragukan kebenaran yang berasal
dari-Nya, maka apakah mungkin kita tidak meragukan sesuatu yang tidak
mungkin kita kenali dengan baik!?
Kelima:
Sesungguhnya kerancuan liberal bahwa tidak boleh menyalahkan ajaran
agama apapun yang dipahami oleh setiap orang adalah sesuatu yang tidak
masuk akal, sebab hal itu tidak mungkin diaplikasikan dalam kehidupan
nyata.
Karena jika mereka jujur
mengaplikasikannya maka pertama sekali yang melanggar kerancuan ini
adalah mereka sendiri, sebab konsekuensinya mereka tidak boleh
menyalahkan siapapun termasuk kaum muslimin yang menyalahkan mereka
bahkan mengkafirkan mereka, toh mereka sendiri juga tidak peduli jika
mati sebagai muslim ataupun kafir sama saja bagi mereka.
Namun ternyata dedengkot mereka, sebagaimana dalam web
pribadinya, menyatakan kejengkelannya ketika ditanya, “Anda agamanya
apa?” dan “Anda Muslim bukan?” Padahal seharusnya, sebelum dia jengkel
dan menegur penanya dengan sebuah artikel khusus, adalah mengoreksi
dirinya terlebih dahulu, “Mengapa Anda sampai ditanya demikian? Mengapa
pula Anda harus jengkel? Bukankah Anda yang mengajarkan untuk tidak
saling menyalahkan? Mengapa Anda jengkel ketika orang lain menyalahkan
Anda!?”
Demikian pula, kaum liberal tidak boleh
mengklaim bahwa keyakinan liberal itu sebagai kebenaran, sebab
konsekuensinya akan menyalahkan keyakinan orang lain yang meyakini
pemikiran liberal itu salah. Dan juga akan berbenturan dengan keyakinan
mereka sendiri bahwa manusia tidak mampu mengenali kebenaran, berarti
pemahaman liberal bukan pemahaman yang benar sebab dia adalah hasil dari
usaha manusia. Oleh karena itu ucapan Manji di atas lebih tepat
diarahkan kepadanya,
“Melarang mereka (Ahmadiyah, pen) adalah suatu bentuk kesombongan kalangan Muslim mainstream yang mengambil alih peran Tuhan…”
Maka Anda pun tidak boleh melarang
orang-orang yang menyalahkan Ahmadiyah ataupun menyalahkan orang yang
menyalahkan Anda. Jika Anda masih melakukannya berarti Anda telah
melakukan suatu bentuk kesombongan.
Alhamdulillah, ini yang bisa
kami tulis, semoga dengan membaca dalil-dalil agama dan logika-logika
ini mereka dapat tersadar dari penyimpangan-penyimpangannya dan kaum
muslimin terselamatkan dari kerancuan-kerancuan pemikiran mereka. Allahumma amiin.
[1] Dikutip melalui perantara sebuah web berpemahaman Khawarij, sehingga saya tidak mencantumkan alamatnya, karena khawatir menjadi ta’awun menyebarkan web menyimpang tersebut. Dan sebagai peringatan kepada sebagian Ikhwan yang insya Allah termasuk Ahlus Sunnah, “Takutlah kepada Allah ta’ala dari turut andil menyebarkan web-web
berpahaman Khawarij seperti Voa-Khawarij, Era-Ikhwani, Tidak-Rahmah,
dll. Janganlah engkau tertipu dengan permusuhan mereka terhadap Liberal
dan Syi’ah sehingga engkau tidak waspada dengan pemahaman Khawarij yang
ada pada mereka.”
[2] Dinukil dari status FB seorang Kiai Liberal pendukung Manji si Lesbi
[3] Jika diperhatikan syubhat mereka ini semisal atau bahkan lebih dahsyat dari syubhat yang dibantah oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah Al-Ushulus Sittah keenam yang telah kami bahas dalam sebuah kajian, silakan download rekamannya di http://rizkytulus.wordpress.com/2012/01/19/download-kajian-ushul-sittah-ustadz-sofyan-chalid-ruray/
[4] HR. Al-Bukhari no. 4477 dan Muslim no. 267 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu.
[5] HR. Muslim, no. 275 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu.
[6] HR. Muslim, no, 403 dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.sumber:http://nasihatonline.wordpress.com/2012/05/08/mengkritisi-pemahaman-islam-liberal-menyingkap-akar-kerancuan-pemikiran-irshad-manji/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar