Kamis, 11 Oktober 2012

Menjawab Tuduhan Idahram: Tentang Julukan Wahabi & Penamaan Salafi



Posted by Abu Umamah
salafi-antara-tuduhan-dan-kenyataan
Add caption
Add caption
salafi-antara-tuduhan-dan-kenyataan
MENGKRITISI ISTILAH WAHABI
Kata Wahabi, Wahabisme ( الوهابي ) adalah sebuah kata yang dimunculkan oleh orang-orang yang tidak menyukai dakwah yang diserukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau sendiri, sebagai orang yang menyerukan dakwahnya, demikian pula murid-murid beliau, tidak pernah menamakan diri dengan Wahabi.
Ini sekaligus sebagai bantahan terhadap saudara Idahram yang taklid buta kepada Al-Buthi (tokoh Ikhwanul Muslimin) yang menuduh bahwa, nama wahabi pada akhirnya diganti menjadi salafi setelah mengalami kegagalan. (Sejarah Berdarah…, hal. 27).
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memang tidak pernah menamakan diri dengan wahabi, terlebih dari sisi bahasa dan istilah penamaan wahabi yang  tidak tepat. Seorang Ulama Al-Azhar Mesir, Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi rahimahullah berkata,
“Penisbatan nama wahabi kepada beliau salah menurut bahasa Arab, yang benar penisbatannya adalah Muhammadiyyah (bukan wahabiyah), karena nama beliau Muhammad bukan Abdul Wahhab.”(Lihat Majmu’atur Rosaail At-Taujihat Al-Islamiyah Li Ishlahil Fardi wal Mujtama’ (3/240))
Lalu siapakah yang pertama memunculkan penamaan ini?
Sejarah mencatat, istilah wahabi pertama kali disematkan kepada dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah oleh penjajah Inggris, ketika mereka mendapatkan perlawanan yang keras dari para mujahid India yang terpengaruh oleh dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Fakta sejarah ini diungkapkan oleh Syaikh Muhammad bin Manzhur An-Nu’mani dalam Di’ayaat Mukatstsafah Diddu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hal 105-106, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 310. Fakta ini juga merupakan bukti permusuhan Inggris terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Penjajah Inggris-lah yang pertama menamakan ulama Doeband di India dengan Wahabi karena kerasnya pertentangan mereka terhadap penjajah dan pengaruh dakwah Syaikh Muhammad bin abdul Wahhab rahimahullah pada mujahidin di India. Fenomena ini juga sekaligus bantahan terhadap tuduhan saudara Idahram bahwa ulama pengikut Wahabi tidak pernah berjihad melawan penjajahan Barat Yahudi dan Kristen (pada hal. 68).
Walhamdulillah, penjajahan Barat tidak pernah benar-benar memasuki daratan Najd, Makkah, Madinah dan sekitarnya yang dikuasai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pengikut-pengikutnya. Sedang pada zaman beliau, kesyirikan dan bid’ah benar-benar tersebar di wilayahnya, beliau pun sibuk memberantas kesyirikan dan bid’ah, karena hal itu akan menghalangi kaum muslimin dari pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka bagaimana mungkin mengajak kaum muslimin berjihad?!
Dan jihad itu sendiri hukumnya bisa fardhu ‘ain dan bisa pula fardhu kifayah. Di antara bentuk jihad yang  fardhu ‘ainadalah kewajiban jihad bagi penduduk suatu negeri apabila musuh telah masuk di wilayah mereka, sedangkan bagi kaum muslimin di wilayah lainnya hukumnya fardhu kifayah. Maka jelaslah tuduhan tidak berjihad melawan Barat hanya sekedar mencari-cari kesalahan tanpa ada penelitian yang mendalam.
Meskipun kenyataan yang  sebenarnya, pada tahun 1806 H, orang-orang Qawasim yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sudah pernah menyerang bahkan mengalahkan serta mengusir pasukan Inggris di perairan Teluk. [Lihat kitab Al-Jadidah fi Tarikh Al-Utsmaniyyin, hal. 158 dan Tarikh Al-Ahsaa As-Siyasi, Dr. Muhammad ‘Araabi, hal. 42-43, sebagaimana dalam Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah, Awamilun Nuyudh wa Asbaabus Suquth, karya Ash-Shalabi, softcopy dari http://www.slaaby.com].
Maka fakta ini juga sebagai bantahan  terhadap tuduhan dusta saudara Idahram bahwa Dir’iyyah bekerjasama dengan Inggris untuk melemahkan khilafah (pada hal. 120). Justru Inggris sangat senang dengan jatuhnya Dir’iyyah (ibukota Saudi yang pertama) ke tangan Turki ketika Ibrahim Basya menyerang Dir’iyyah [lihat fakta sejarah ini dalam kitabDirosat fi Tarikh Al-Khalij Al-‘Arabi Al-Hadits wal Mu’ashir, 1/198, sebagaimana dalam Ad-Daulah Al-Utsmaniyyah, Awamilun Nuhudh wa Asbaabus Suquth, karya Ash-Shalabi, softcopy dari http://www.slaaby.com]. Inilah sesungguhnya sebab terbesar jatuhnya khilafah Turki Utsmani, yaitu kejahatan mereka menyerang ahlut tauhid was sunnah.
Istilah wahabi inipun, segera dijadikan senjata oleh para pelaku bid’ah dan syirik yang gerah terhadap dakwah tauhid dan sunnah yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, tujuan mereka tidak lain untuk menjatuhkan dakwah beliau.
Syaikh Mas’ud An-Nadwi rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya di antara dusta yang paling jelas atas dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah penamaan wahabi. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki kepentingan, telah berhasil mencitrakan penamaan wahabi ini seakan suatu agama di luar Islam. Orang-orang Inggris, Turki dan Mesir (ketika itu) menjadikan istilah wahabi sebagai momok yang menakutkan.
Setiap kali bangkit satu gerakan (perlawanan) Islam di dunia Islam pada dua abad yang lalu, dan orang-orang Eropa melihatnya sebagai sebuah ancaman atas kepentingan mereka, maka dengan segera mereka kait-kaitkan gerakan tersebut dengan wahabi yang berasal dari Najd.”[1]
Istilah wahabi ini memang di telinga orang awam lebih dapat mencitrakan kejelekan dibandingkan istilah muhammadi, walaupun hakikatnya istilah muhammadi yang lebih tepat, karena nama Syaikh adalah Muhammad  sama dengan Nabi kita yang mulia, sedangkan Abdul Wahhab adalah nama bapaknya dan Wahhab (الوهاب ) itu sendiri adalah nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً, إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“(Mereka berdoa): Ya Rabb Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia).” (QS. Ali-Imran: 8)
أَمْ عِندَهُمْ خَزَائِنُ رَحْمَةِ رَبِّكَ الْعَزِيزِ الْوَهَّابِ
“Atau apakah mereka itu mempunyai perbendaharaan rahmat Rabbmu yang Maha Perkasa lagi Maha pemberi?”(QS. Shaad: 9)
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّن بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Ia berkata: Ya Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shaad: 35)
Ayat-ayat di atas jelas, bahwa Al-Wahhab adalah salah satu nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berarti memberi[2]. Hanya karena di kalangan orang awam nama Allah Al-Wahhab kurang begitu diketahui lalu dengan licik dan tanpa adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka gunakan namaNya untuk memberi kesan buruk terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggamanNya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kananNya.Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Shaad: 67)
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah berkata,
“Orang-orang itu telah terbiasa menyebut istilah wahabi bagi setiap orang yang menyelisihi kebiasaan, keyakinan dan bid’ah-bid’ah mereka. Meskipun keyakinan-keyakinan mereka itu rusak, menyelisihi Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadist yang shahih, juga menyelisihi dakwah kepada tauhid dan ajakan untuk berdoa hanya kepada Allah yang satu saja, tidak kepada selain-Nya.
Aku pernah membacakan kepada seorang syaikh (sufi), hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Al-Arba’in An-Nawawiyahyaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِالله
“Apabila kamu mau meminta (doa) maka mintalah kepada Allah.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi)[3]
Sangat mengagumkan penjelasan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika beliau berkata,
‘Kemudian apabila hajat yang diminta oleh seseorang itu bukanlah suatu hajat yang bisa dikabulkan oleh makhluk, seperti meminta hidayah, ilmu, kesembuhan penyakit dan kesehatan, maka hendaklah minta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memintanya kepada makhluk dan bergantung kepadanya adalah suatu yang tercela.’
Maka aku katakan kepada syaikh ini, bahwa hadits ini dan penjelasan Al-Imam An-Nawawi bermakna tidak boleh meminta tolong (doa) kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka Syaikh itu berkata, ‘Bahkan boleh.’
Aku katakan, ‘Apa dalilmu?’
Dia pun marah dan berkata dengan suara keras, ‘Sungguh bibiku telah berdoa, wahai Syaikh Sa’ad (padahal Syaikh Sa’ad sudah dikubur di masjidnya[4], dia minta tolong (berdoa) kepada Syaikh Sa’ad),
Maka aku bertanya kepada bibiku, ‘apakah Syaikh Sa’ad bisa memberi manfaat kepadamu?’
Bibiku berkata, ‘Aku berdoa kepada Syaikh Sa’ad, lalu beliau meneruskannya kepada Allah, hingga menyembuhkan aku.’
Aku katakan kepada Syaikh ini, ‘Sungguh engkau seorang yang pintar, banyak membaca buku, lalu kenapa engkau mengambil aqidahmu dari bibimu yang jahil?’
Dia berkata, ‘Engkau memiliki pemikiran Wahabi, engkau pergi melaksanakan umroh lalu kembali dengan membawa buku-buku Wahabi’.”[5]
Demikianlah, mereka menamakan Wahabi terhadap ajaran tauhid dan sunnah yang menyelisihi kesyirikan dan bid’ah mereka.
مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi: 5)
TENTANG PENAMAAN SALAFI
Saudara Idahram mengklaim nama salafi hanyalah upaya ganti baju para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (pada hal. 27). Menurutnya, penamaan salafi itu sendiri muncul pertama kali di Mesir setelah penjajahan Inggris (pada hal. 29)
Pembaca yang budiman, telah dimaklumi bersama bahwa salafi ( السلفي )itu bermakna pengikut generasi salaf ( السلف ), sedangkan yang dimaksud dengan generasi Salaf adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan ummat Islam tidak berbeda pendapat akan keharusan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sehingga mincul istilah salafi untuk membedakan para pengikut Salaf dengan golongan yang menyimpang dari jalan Salaf.
Sama halnya dengan penamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, penamaan ini secara nash, juga tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Walaupun demikian tidak ada yang mencela penamaan ini, bahkan ulama memunculkan penamaan ini demi untuk membedakan golongan yang benar dan golongan yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Golongan inilah golongan yang selamat (al-firqotun najiyah) yang dimaksudkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits,
و تفترق أمتي على ثلاث و سبعين ملة كلهم في النار إلا ملة و احدة ما أنا عليه و أصحابي
“Dan akan berpecah ummatku menjadi 73 millah, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi)[6]
Dalam riwayat lain,
إن أمتي ستفترق على اثنتين و سبعين كلها في النار إلا و هي الجماعة
“Sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-jama’ah.”[7]
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Risalah Ila Ahlil Qosim,
“Aku berkeyakinan seperti yang diyakini oleh golongan yang selamat (al-firqotun najiyah), yaitu golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aku beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-rasulNya, kebangkitan setelah kematian dan aku beriman kepada takdir Allah, baik dan buruknya.”[8]
Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Mazhab kami dalam ushuluddin adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan jalan beragama kami adalah jalan salaf.”[9]
Pembaca yang budiman, demikian hakikat ajaran Salafi yang mereka namakan Wahabi, sebenarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sama sekali tidak membawa ajaran baru, melainkan ajaran generasi salaf. Adapun klaim saudara Idahram bahwa penamaan salafi baru muncul setelah penjajahan Inggris di Mesir, ini adalah kebohongan publik demi untuk menggiring opini seakan-akan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah ajaran baru.
Mari kita lihat penyebutan nama salafi dari kitab-kitab ulama dahulu.[10]
1. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Al-Imam Ad-Daruquthni, “Orang ini (yaitu, Ad-Daruquthni) tak pernah masuk ke dalam ilmu kalam dan jidal, dan tidak pula terjun ke dalamnya, bahkan ia adalah salafi.” (Siyar A’lam An-Nubala’ (16/457))
2. Al-Imam Ad-Dzahabi berkata tentang Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Bahroni, “Dia adalah seorang yang taat beragama, orangnya baik lagi salafi.” (Mu’jam Asy-Syuyukh (2/280))
3. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Al-Imam Sholahuddin Abdur Rahman bin Utsman bin Musa Al-Kurdi Asy-Syafi’i,“Dia adalah seorang salafi bagus aqidahnya.” (Tadzkiroh Al-Huffazh (4/1431))
4. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Al-Imam Abdullah Ibnul Muzhoffar bin Abi Nashr bin Habatillah, “Dia adalah seorang yang tsiqoh (terpercaya), sholeh, lagi salafi.” (Tarikh Al-Islam (1/4236))
5. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Al-Imam Al-Qodhi Abul Hasan Umar bin Ali Al-Qurosyi Abil Barokat Ad-Dimasyqi,“Dia adalah seorang waro’, sholeh, beragama, lagi salafi.” (Tarikh Al-Islam (1/4849))
6. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Al-Imam Abdur Rahman bin Al-Khodhir bin Al-Hasan bin Abdan Al-Azdi, “Dia adalah seorang sunni, salafi, lagi atsari –semoga Allah merahmatinya-.” (Tarikh Al-Islam (1/4861))
7. Al-Imam Ash-Shofadi berkata tentang Al-Imam Tajuddin At-Tibrizi Asy-Syafi’i, “Dia adalah seorang salafi, lagi tegas menyatakan kebenaran.” (Al-Wafi fil Wafayat (1/2603))
8. Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata tentang gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Beliau senantiasa di atas hal itu (sibuk dengan ilmu) sebagai generasi penerus yang sholeh lagi salafi.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah (ha. 21))
Inilah penukilan terhadap penamaan salafi dari para ulama dahulu dalam memuji seorang yang berpegang teguh dengan ajaran Salaf. Jadi bukanlah suatu yang baru muncul di Mesir setelah penjajahan Inggris seperti yang diklaim oleh saudara Idahram. Agar lebih jelas bagi para pembaca tentang hakikat ajaran Salafi, berikut kami lampirkan fatwa MUI Jakarta Utara.
http://a1.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/226005_262938543718033_100000056680128_1108100_3847886_n.jpg
http://a7.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/223668_262938637051357_100000056680128_1108101_4633800_n.jpg
Download Fatwa MUI Jakarta Utara tentang SALAF/SALAFI: http://www.mediafire.com/file/hpr8q3u0g7oua57/fatwa-mui1.pdf (format pdf)
Footnote:
[1] Muhammad bin Abdul Wahhab Muslihun Mazlumun wa Muftara ‘Alaihi, hal. 193.
[2] Lihat Fiqhul Asmaail Husna, Syaikhuna Prof. Dr. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah, hal. 142.
[3] HR. Al-Imam At-Tirmidzi dan beliau berkata Hadits ini Hasan Shahih dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 7959.
[4] Menguburkan seseorang di masjid termasuk bid’ah dan dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik. Sehingga para ulama melarang sholat di masjid yang dibangun di atas kuburan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sholat di kuburan.
[5] Maj’muatur Rosaail At-Taujihaat Al-Islamiyyah Li Ishlahil Fardi wal Mujtama’, 3/191.
[6] HR. Tirmidzi no. 2641 dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhuma dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shohihul Jami’, no. 9474 dan Al-Misykah, no. 171 pada tahqiq keduanya.
[7] HR. Al-Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no.64.
[8] Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 15-16.
[9] Ad-Durorus Saniyah, 1/126, sebagaimana dalam Min A’lamil Mujaddidin, hal.110.
[10] Dari artikel Al-Ustadz Abdul Qodir, Lc. Hafizhahullah di www.almakassari.com yang berjudul, “Terlarangkah Memakai Nisbah As-Salafiy atau Al-Atsariy”, dengan sedikit perubahan.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. pertama.  Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.
Sumber : Note FB by Rizky Abu Salman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar