Senin, 29 Oktober 2012

Awas ! Jangan remehkan perkara dalam Islam



Dalam masalah penerapan sunnah sering dilontarkan syubhat-syubhat dari ahlul bid’ah yang menyebabkan umat enggan dan tidak bersemangat untuk mengamalkannya.
Diantaranya syubhat-syubhat yang dipropagandakan oleh para politikus yang berbaju da’i. Mereka selalu meremehkan masalah fiqih dan hukum-hukum syari’at dan menganggapnya sebagai perkara remeh dan sepele. Mereka menganggap pelajaran-pelajaran seperti tauhid uluhiyah, fiqih syari’ah dan lain-lainnya sebagai kulit (qusyur) dan bukan inti (lubab) dari ajaran agama ini. Atau mereka menganggapnya sebagai furu’ (cabang) dan bukan perkara ushul (pokok).
Perhatikan perkataan Abdurrahman Abdul Khaliq ketika mengkampanyekan pentingnya mengenali situasi politik (shifatul ashr) dalam kasetnya sebagai berikut: “Sayang sekali pada hari ini kita memiliki syaikh-syaikh para ulama yang hanya mengerti qusyur (kulit Islam) yang sudah lewat masanya…..”
Para ulama yang tidak mengetahui shifatul ashr dianggap sebagai orang-orang yang jumud dan hanya mengerti qusyur atau kulit Islam saja. Ini merupakan bentuk pelecehan dan meremehkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dibawa oleh para ulama tersebut.
Di tempat lain ia menyatakan bahwa para ulama dikatakan sebagai mumi yang badannya hidup di zaman kita, sedangkan akal dan pikiran mereka ada di masa lalu. Atau dengan istilah dia yang lain ‘cetakan lama’, ‘ulama haid dan nifas’, dan seterusnya.
Ucapan-ucapan ini sama dengan ucapan seluruh ahlul bid’ah sejak dahulu, apakah dari kalangan mu’tazilah ataupun yang lainnya. Seperti apa yang diucapkan oleh ‘Amr bin Ubaid: “Ilmunya imam Syafi’i tidak keluar dari celana dalam perempuan”. Atau istilah-istilah lain yang lebih mengerikan dari ini.
Semua perkataan itu bertujuan sama, yaitu merendahkan ilmu-ilmu fiqih seperti hukum haid, nifas, thaharah, mandi junub, dan segala hukum-hukum yang berkaitan dengan fiqih. Mereka menganggap bahwa perkara itu sangat rendah yang seharusnya kita lebih mementingkan perkara yang lebih besar, yaitu wawasan politik, mengenal situasi politik (shifatul ‘ashr), atau menurut istilah Ikhwanul Muslimin tsaqafah islamiyah, atau fiqhul waqi’ menurut istilah sururiyyin, dan sistem kepartaian dan demokrasi serta berbagai macam perkara yang mereka anggap bisa memenangkan mereka dalam percaturan politik dan mencapai puncak kekuasaan yang mereka inginkan.
Para ulama membantah syubhat mereka ini dari beberapa sisi:
1. Jika pembagian tersebut bertujuan hanya untuk mementingkan yang ushul dan meremehkan yang furu’, maka ini adalah pembagian yang batil.
Kita katakan kepada mereka: ”Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh” seperti dikatakan oleh Imam Malik. Pada suatu saat Imam Malik pernah ditanya dengan satu pertanyaan, kemudian beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Mendengar jawaban ini si penanya terheran-heran dan berkata: “Sesungguhnya ini adalah masalah yang sepele, dan aku bertanya tentang hal ini semata-mata karena ingin memberi tahu kepada sang amir (penguasa)”. Melihat hal ini, Imam Malik marah seraya berkata: “Kau katakan ini masalah sepele dan remeh? Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh! Tidaklah kau mendengar ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. (al-Muzammil: 5)
Oleh karena itu seluruh ilmu agama ini semuanya berat, khususnya karena akan dipertanyakan pada hari kiamat (Tartibul Madariq, Qadli ‘Iyadl 1/184; Lihat Dlarurarul Ihtimam bis Sunnatin Nabawiyyah, hal. 118)
Perhatikanlah ucapan Imam Malik di atas, bahwasanya perkara agama ini semuanya penting dan berat karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Ucapan itu cukup sebagai bantahan terhadap syubhat dari ahlul bid’ah yang membagi-bagi agama ini menjadi Qusyur wa Lubab (kulit dan inti), kemudian mereka meremehkan perkara yang mereka anggap qusyur. Demikian pula sebagian yang lain yang membagi agama ini menjadi Ushul wal Furu’ (Pokok dan Cabang), dan menganggap remeh masalah furu’ dengan kalimat-kalimat yang banyak diucapkan seperti: “Inikan masalah furu’, kenapa harus diajarkan?” atau kalimat: “Janganlah kalian disibukkan dengan masalah furu’” dan lain-lainnya.
Ahlul bid’ah selalu sinis terhadap ahlus sunnah yang senantiasa mengkaji, mempelajari, menulis masalah-masalah fiqih seperti gerakan-gerakan shalat atau masalah-masalah fiqih lainnya dan mencemoohkan mereka dengan kalimat-kalimat di atas.
2. Pembagian ini merupakan pembagian bid’ah yang tidak ada asalnya.
Dalam hal ini kita dengarkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Adapun pembagian agama ini dengan istilah masalah ushul dan furu’ adalah pembagian yang tidak ada dasarnya (tidak ada asalnya). Pembagian itu tidak berasal dari para shahabat, para tabi’in maupun yang mengikuti mereka dengan ihsan, dan tidak pula dari para imam kaum muslimin. Istilah ini sesungguhnya diambil dari kaum mu’tazilah dan yang sejenis dengan mereka dari ahlul bid’ah. Kemudian istilah tersebut dipakai oleh sebagian ahlu fiqih dalam kitab-kitab mereka, padahal pembagian ini sangat kontradiktif”. (Masail Maridiniyah, hal. 788; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 111)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika membicarakan pembagian agama menjadi ushul dan furu’: “Semua pembagian yang tidak dapat dibuktikan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta prinsip-prinsip syariat, hal itu adalah pembagian yang batil dan harus dibuang. Karena pembagian seperti ini adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan umat”. (Mukhtashar ash-Shawaiqul Mursalah, 2/415)
3. Tidak ada definisi yang disepakati oleh mereka sendiri, manakah yang dimaksud ushul dan mana yang dianggap furu’.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas, pembagian ini sangat kontradiktif. Ketika kita tanyakan kepada mereka apakah yang kalian anggap sebagai ushul ternyata mereka sendiri berselisih pendapat.
Sebagian mereka menganggap masalah keyakinan (aqidah) sebagai ushul dan masalah amaliyah (ibadah) sebagai furu’. Kalau demikian apakah mereka menganggap bahwa shalat sebagai furu’, padahal seluruh umat Islam mengerti bahwa shalat adalah merupakan salah satu prinsip pokok ajaran Islam?
Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang merupakan ushul adalah perkara-perkara yang meyakinkan (mutawatir), sedangkan yang tidak mutawatir dianggap sebagai perkara furu’ yang meragukan. Ini pun terbantah karena masalah keyakinan itu berkaitan dengan ilmu, sehingga berbeda-beda pada tiap orang. Bagi para ulama yang mengerti ilmu hadits, mereka sangat yakin terhadap seluruh hadits shahih, apakah ia mutawatir ataupun tidak.
Sebagian yang lain menyatakan bahwa perkara ushul adalah perkara-perkara yang wajib, sedangkan perkara-perkara yang tidak wajib dianggap furu’. Kalau begitu apakah boleh kita meremehkan perkara yang tidak wajib?
Sebagian lagi menyatakan bahwa yang merupakan perkara ushul adalah masalah yang disepakati oleh para ulama, sedangkan masalah furu’ adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Bahkan sebagian lainnya menyatakan bahwa seluruh perkara, baik aqidah, ibadah, maupun hukum adalah furu’, sedangkan intinya adalah bersikap baik terhadap sesama manusia (akhlaq kemanusiaan).
Ada pula yang menyatakan seperti apa yang banyak diucapkan akhir-akhir ini bahwa masalah yang merupakan pokok agama ini adalah berjuang mencapai kekuasaan melalui sistem demokrasi, walaupun harus mengorbankan prinsip aqidah, ibadah dan akhlaq, karena mereka anggap sebagai furu’.
Akhirnya setiap aliran sesat yang ingin membuang atau meremehkan suatu masalah akan mengatakan masalah itu adalah furu’.
4. Jika pembagian ini dilakukan bertujuan untuk meremehkan perkara-perkara yang mereka anggap sebagai furu’, maka ini adalah sebesar-besar kebatilan, karena Allah memerintahkan kita untuk memeluk agama ini secara keseluruhan.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (alBaqarah: 208)
Menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas t berkata: “As-Silmi adalah Islam, sedangkan Kaaffah maknanya adalah keseluruhan”. Berkata Mujahid: “Amalkanlah seluruh amalan dan seluruh kebaikan”. Juga berkata Ibnu Katsir: “Allah memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan yang membenarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam agar mengambil seluruh syariat-syariat Islam, mengamalkan seluruh perintah-perintahnya dan meninggalkan seluruh yang dilarangnya”.
Demikianlah para ulama menafsirkan ayat di atas, yakni ambillah dari syariat Islam ini secara keseluruhan. Jangan memilih-milih atau mengambil sebagian dan meremehkan sebagian lainnya. Para ulama tidak membedakan mana yang ushul dan mana yang furu’. Mereka tidak pula membedakan mana yang Qusyur dan mana yang Lubab. Kita wajib mengambilnya secara keseluruhan sebagai agama Allah yang mulia dan kita wajib menghormatinya. Jika hal itu perkara wajib, maka kita harus mengamalkannya. Dan jika hal itu adalah perkara yang mustahab, maka kita dianjurkan untuk mengamalkannya. Kalaupun kita tidak mengamalkannya (karena bukan wajib), kita tetap tidak boleh merendahkannya dan menganggapnya sebagai perkara yang sepele dengan menyebutkan sebagai perkara furu’, qusyur, juziyyat dan istilah-istilah yang lainnya.
4. Kerasnya para shahabat kepada orang-orang yang meremehkan sunnah, walaupun pada perkara-perkara yang dianggap furu’.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar raidyallahu ‘anhu, ketika beliau berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Janganlah kamu cegah perempuan-perempuan kalian (untuk) mendatangi masjid.” (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian berkatalah anaknya: “Demi Allah, aku akan melarang mereka ke masjid”. Mendengar ucapan tersebut Ibnu Umar marah dan memaki anaknya dengan caci makian yang tidak pernah diucapkan sebelumnya, seraya berkata: “Saya katakan ‘Rasulullah berkata’, kemudian kamu mengatakan: “Demi Allah akan saya larang?!”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar bahwasanya ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

Izinkanlah oleh kalian wanita-wanita pergi ke masjid”.
Maka berkatalah anaknya: “Kalau begitu mereka akan mengambilnya sebagai permainan”. Maka Ibnu Umar pun memukul dadanya seraya berkata: “Aku sampaikan kepadamu dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam , kamudian kamu mengatakan: “Tidak?!!””
Berkata Imam Nawawi (mengomentari riwayat di atas): “Padanya ada dalil untuk menghukum orang yang menentang sunnah dan yang membantah dengan akal pikirannya”.
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari Buletin Dakwah MANHAJ SALAF, Edisi: 21/Th. I tgl 20 Muharram 1425 H/12 Maret 2004 M, judul asli “Tidak ada masalah sepele dalam agama ini”, penulis ustadz Muhammad Umar as Sewed,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar