Menjawab buku Mana Dalilnya 2 (Syubhat2 Seputar Maulid Nabi bagian.1)
Syubhat 1:
Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam Tidak Pernah Melarang Maulid
Dalam buku Mana Dalilnya 2, Ustadz Novel mengakui bahwa peringatan Hari Besar Islam adalah bid’ah hasanah. Ia mendasarkan pendapatnya pada kenyataan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam tidak pernah melarang umatnya untuk merayakan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam, demikian pula para sahabat tidak ada satu pun yang melarang penyelenggaraan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam.
Kemudian Ustadz Novel menganggap bahwa ketika ada orang yang
mengingkari perayaan maulid, maka berarti ia merasa lebih sempurna dari
Allah dan Rasul-Nya! Ia berani mengharamkan sesuatu yang Allah dan
Rasul-Nya shallallaahu ‘alaih wasallam sendiri tidak pernah mengharamkannya… dst? [1])
Untuk menjawab syubhat ini, kita harus mencari akar permasalahannya
terlebih dahulu. Kalau kita perhatikan statemen Ustadz Novel di atas,
kita akan menemukan bahwa argumentasi yang dikemukakannya bertolak dari
dua hal: pertama: Adanya bid’ah hasanah dalam Islam, dan kedua: tidak adanya dalil yang melarang bid’ah-bid’ah tersebut, yang dalam hal ini ialah perayaan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam.
Mengenai alasan pertama, insya Allah akan ada tulisan khusus mengenai
‘Adakah bid’ah hasanah?’. Karenanya, dalam tulisan kami cuma ingin
menitik beratkan pada alasan kedua, yaitu tidak adanya larangan untuk
merayakan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam.
Untuk menepis syubhat seperti ini, kita perlu memahami poin-poin berikut terlebih dahulu.
1. Kesempurnaan Ajaran Islam.
Sebagai seorang muslim, kita semua yakin bahwa ajaran Islam telah
disempurnakan oleh si empunya syari’at. Tak tersisa sedikitpun dari
syari’at ini yang masih disembunyikan oleh Baginda Rasulullah tercinta shallallaahu ‘alaih wasallam.
Semuanya telah beliau sampaikan… yang baik-baik… yang buruk-buruk…
yang menguntungkan diri beliau… bahkan yang menyudutkannya sekali pun.
Hal ini telah Allah tegaskan dalam firman-Nya: “Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al Ma’idah: 3).
Allah ta’ala juga berfirman yang artinya:
“…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan
rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (157) (Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul (Muhammad shallallaahu ‘alaih wasallam), Nabi yang ummi yang (namanya) mereka didapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar. Menghalalkan bagi mereka segala yang baik,
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka
beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al A’raf: 156-157).
Perhatikan, bagaimana Allah menyifati Nabi-Nya yang satu ini: “… yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf… melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar… menghalalkan bagi mereka segala yang baik… mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…”
Subhanallah… alangkah sempurnanya ajaran yang beliau shallallaahu ‘alaih wasallam
bawa: semua yang baik telah beliau halalkan bagi ummatnya, dan semua
yang buruk telah beliau haramkan bagi mereka…. semuanya… ya, semuanya…
sebagaimana hadits berikut:
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ الْكَعْبَةِ قَالَ دَخَلْتُ
الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ
فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ فَأَتَيْتُهُمْ
فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ فِي سَفَرٍ
فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ وَمِنَّا مَنْ
يَنْتَضِلُ وَمِنَّا مَنْ هُوَ فِي جَشَرِهِ إِذْ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ
اللَّهِ الصَّلَاةَ جَامِعَةً فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
فَقَالَ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ
أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ
جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ
وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا … الحديث
Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash ra
sedang duduk berteduh di bawah bayang-bayang ka’bah, sedangkan di
sekelilingnya ada orang-orang yang berkumpul mendengarkan ceritanya.
Lalu aku ikut duduk di majelis itu dan kudengar ia mengatakan: “Pernah
suatu ketika kami bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam
dalam suatu safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat, diantara kami
ada yang sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah, dan
ada yang sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru
Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam berseru lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka segeralah kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
tak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk
menunjukkan umatnya akan setiap kebaikan yang ia ketahui; dan
memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang ia ketahui…” (H.R. Muslim no 1844).
Dalam khutbah wada’nya, yang disaksikan oleh ratusan ribu pasang mata [3]), Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam bersabda:
وَقَدْ
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ
كِتَابُ اللَّهِ وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ
قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ فَقَالَ
بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا
إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ…
(رواه مسلم في صحيحه كتاب الحج, باب: صفة حج النبي, حديث رقم: 1218).
“Telah
kutinggalkan bagi kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh
padanya, kalian tak akan tersesat selamanya: yaitu Kitabullah (Al
Qur’an). (Ingatlah) bahwa kalian akan ditanya tentang aku, maka apa yang
akan kalian katakan nanti? Serempak mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan memberi nasehat (dengan tulus) !!” maka beliau pun mengangkat telunjuknya ke langit kemudian mengarahkannya kepada lautan manusia tadi seraya berucap: “Ya Allah, saksikanlah…Ya Allah, saksikanlah… tiga kali…” (H.R. Muslim no 1218).
Allaahu akbar!!
Alangkah amanatnya engkau wahai Rasulullah…! Tak kau sisakan
sedikitpun dari apa yang mesti disampaikan, melainkan engkau sampaikan
apa adanya…
Saudaraku yang kucintai… demi Allah, ketuklah hati nurani anda masing-masing… tanyalah dengan jujur: masih
adakah di sana satu kebaikan yang belum diajarkan oleh beliau setelah
anda mendengar kesaksian tak kurang dari seratus ribu manusia yang
berkumpul di hari yang paling mulia, bulan paling mulia dan di belahan
bumi paling suci ini?? Mungkinkah mereka semua berbohong dengan kesaksiannya itu…? Layakkah setelah ini semua, jika kita katakan bahwa di sana ada bid’ah hasanah –yang notabene merupakan ibadah yang dianggap baik oleh pelakunya, meski dengan keyakinan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam tak pernah mengajarkannya–?? Siapakah yang lebih jujur perkataannya: Seratus ribu orang yang haji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam,
yang bersaksi di hari, bulan, dan tempat paling mulia; ataukah
perkataan segelintir ulama yang datang sekian abad berikutnya, yang
hidup di zaman penuh fitnah?
Sungguh naif rasanya jika masih ada yang beranggapan akan bolehnya mengadakan bid’ah hasanah… adakah sesuatu yang dianggap hasanah/baik ini belum diketahui oleh Rasulullah dan para sahabat beliau?
Lantas standar apakah yang akan kita gunakan untuk menentukan ini baik
atau bukan? Apa susahnya kalau kita meninggalkan praktek-praktek
ibadah yang tidak beliau contohkan, meski itu kita pandang baik?
Sungguh demi Allah, kalaulah kita menyibukkan diri dengan sunnah-sunnah
yang sampai kepada kita, niscaya umur kita akan habis sebelum kita
berhasil menerapkan semua sunnah tadi… lantas mengapa kita meninggalkan
sunnah tadi dan beralih kepada bid’ah, sekali pun itu bid’ah hasanah??
Lupakah mereka terhadap sabda Nabi berikut, yang senantiasa terdengar di majelis-majelis:
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ…
الحديث (رواه النسائي في سننه كتاب: صلاة العيدين, باب: كيف الخطبة حديث
رقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن باب اجتناب البدع والجدل, حديث رقم
45)
“Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaih wasallam. Sejelek-jelek
perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap
perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang setiap
bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah ra, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73).
2. Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam adalah suri tauladan terbaik, dan para sahabat adalah orang yang paling faham akan makna ittiba’ Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam
Ketahuilah, bahwa setiap tingkah laku Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam adalah panutan bagi umatnya[4]).
Tidaklah beliau meninggalkan tata cara tertentu dalam beribadah,
melainkan dengan meninggalkannya kita mendapat kebaikan di sisi Allah ta’ala.
Tidaklah beliau melakukan ibadah dengan cara tertentu, melainkan
itulah cara terbaik untuk menunaikannya. Tentunya dengan memperhatikan
mana yang merupakan maslahah mursalah dan mana yang bid’ah [5]).
Kalaulah tata cara beribadah itu diserahkan pada keinginan
masing-masing; pokoknya semua yang dianggap baik boleh kita kerjakan
meski tak pernah diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam
maupun para sahabat beliau, maka apa jadinya agama ini?? Cobalah
saudara renungi kisah berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi
dalam muqaddimah Sunan-nya dengan sanad hasan;
عَمْرُو
بْنُ يَحْيَى بْنِ عَمْرِو بْنِ سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ ، فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ
إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِىُّ فَقَالَ :
أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ؟ قُلْنَا : لاَ ،
فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ ، فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ
جَمِيعاً ، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
إِنِّى رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ آنِفاً أَمْراً أَنْكَرْتُهُ ، وَلَمْ
أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْراً. قَالَ : فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ :
إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ – قَالَ – رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ قَوْماً
حِلَقاً جُلُوساً يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ ، فِى كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ ،
وَفِى أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ : كَبِّرُوا مِائَة، فَيُكَبِّرُونَ
مِائَةً ، فَيَقُولُ : هَلِّلُوا مِائَةً ، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً ،
وَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ :
فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئاً انْتِظَارَ
رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ
يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ
حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً
مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى
أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى
نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ :
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ
حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ
هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ
ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى
فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ
مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : وَاللَّهِ يَا
أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ
مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْماً يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ
تَرَاقِيَهُمْ ، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِى لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ
مِنْكُمْ. ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ ، فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلِمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ (أخرجه الدارمي في سننه)
Dari ‘Amru bin Yahya bin ‘Amru bin Salamah, katanya; aku mendengar
ayah bercerita tentang ayahnya (‘Amru bin Salamah), katanya; Suatu
ketika kami sedang duduk di depan rumah Abdullah bin Mas’ud ra
sembari menanti shalat dhuhur. Jika beliau keluar maka kami berniat
untuk berangkat ke masjid bersamanya. Sesaat kemudian, Abu Musa Al
Asy’ari ra datang menghampiri kami seraya bertanya:
“Apa Abu Abdirrahman –julukan Ibnu Mas’ud– sudah menemui kalian?”
“Belum…” jawab kami.
Maka ia pun ikut duduk menunggunya sampai ia keluar. Tatkala Ibnu Mas’ud keluar, kami menghampirinya, lalu Abu Musa mengatakan:
“Hai
Abu Abdirrahman, barusan aku melihat sesuatu yang kuanggap mungkar di
masjid… tapi alhamdulillah, yang kulihat tidak lain adalah kebaikan…”
“Memangnya apa yang barusan kau lihat…?” tanya Ibnu Mas’ud.
“Kalau kau panjang umur, kau akan melihatnya nanti… Kulihat
ada sejumlah orang yang duduk membentuk halaqah-halaqah sambil menanti
shalat… di tiap-tiap halaqah tadi ada seorang laki-laki (yang
memimpin), dan di tangan mereka ada sejumlah kerikil. Lalu lelaki itu
berteriak mengomandoi: “Takbir seratus kali…!!” maka merekapun
bertakbir seratus kali. Kemudian perintahnya lagi: “Tahlil seratus
kali…!!”, maka mereka pun bertahlil seratus kali. “Tasbih seratus
kali…!!”, maka mereka pun bertasbih seratus kali” kata Abu Musa ra.
“Lantas apa yang kau katakan kepada mereka?” tanya Ibnu Mas’ud ra.
“Aku tak mengatakan apa-apa… aku menunggu pendapatmu, atau perintahmu” kata Abu Musa ra.
“Mengapa
tak kau suruh saja mereka menghitung-hitung kejelekan mereka…?
kujamin, takkan ada kebaikan mereka yang disia-siakan…” tukas Ibnu
Mas’ud ra.
Lalu aku berangkat bersamanya ke masjid hingga ia mendatangi salah satu halaqah tadi… kemudian berkata kepada mereka:
“Apa yang sedang kalian lakukan…?”
“Wahai Abu Abdirrahman, ini hanyalah kerikil-kerikil yang kami pakai untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih…” jawab mereka.
“Kalau begitu hitung saja kejelekan-kejelekan kalian, kujamin takkan ada kebaikan kalian yang disia-siakan…” kata Ibnu Mas’ud.
“Celaka
kalian wahai ummat Muhammad! Alangkah cepatnya kalian binasa…? Mereka
sahabat-sahabat Nabimu masih ada di mana-mana… ini pakaian beliau shallallaahu ‘alaih wasallam
belum lusuh… dan ini bejana beliau belum pecah… demi Dzat yang jiwaku
ada di tangan-Nya; kalaulah kalian tidak sedang berada di atas millah
yang lebih benar dari millah Muhammad shallallaahu ‘alaih wasallam, berarti kalianlah pembuka pintu-pintu kesesatan…!!” lanjutnya.
“Demi Allah hai Abu Abdirrahman, kami hanyalah menginginkan kebaikan…” kata mereka.
“Sungguh, betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tak akan mendapatkannya… Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam
pernah bercerita kepada kami bahwa ada suatu kaum yang pandai membaca
Al Qur’an, akan tetapi tak melebihi tulang selangka mereka… mereka
keluar dari Islam seperti anak panah yang keluar menembus binatang
buruan… demi Allah, aku tak tahu pasti, tapi boleh jadi kebanyakan dari
mereka ialah kalian…” kata Ibnu Mas’ud sambil berlalu…
‘Amru
bin Salamah –perawi hadits ini– mengisahkan: “Kulihat kebanyakan
mereka yang ada di halaqah-halaqah itulah yang bersama kaum Khawarij
menikam kami pada hari Nahrawan..!!” [6])
Demikianlah… bermula dari sesuatu yang dianggap baik, kesesatan mereka
semakin menjadi-jadi hingga berani mengkafirkan kaum muslimin dan
memberontak kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra, bahkan membunuhnya…
Siapa yang mengingkari akan disyari’atkannya takbir, tahlil dan
tasbih…?? Kita semua meyakini bahwa itu termasuk dzikir yang paling
afdhal; tapi masalahnya bukan di situ… masalah sesungguhnya ialah cara dan metode mereka yang sama sekali tak pernah diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam… inilah yang sesungguhnya diingkari oleh Ibnu Mas’ud ra.
Kita tak mengingkari sedikitpun bahwa wirid-wirid tersebut pada
dasarnya dianjurkan oleh Islam, namun mengapa mereka menempuh cara baru
seperti itu…?? membuat halaqah-halaqah dan menghitung-hitung dzikir
dengan kerikil?? Sebab itulah Abu Musa mengatakan: “Aku melihat sesuatu yang mungkar di masjid… tapi alhamdulillah, yang kulihat tidak lain adalah kebaikan…”
mengapa beliau menyifati kemungkaran dengan sesuatu yang baik? Tak
lain karena hukum asal dzikir tersebut adalah baik dan dianjurkan, akan
tetapi cara mereka melakukannya yang dianggap mungkar…
3. Syarat-syarat Ittiba’ Nabi yang benar
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya setiap ibadah yang kita lakukan tidak akan diterima di sisi Allah ta’ala sebelum terpenuhi dua syarat minimal, yaitu niat yang ikhlas karena Allah, dan sesuai syari’at Allah serta sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam [7]). Karenanya, ketika ditanya tentang makna firman Allah: (لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً) “Agar Dia (Allah) mengujimu, siapa-siapa di antara kamu yang paling baik amalnya” (Hud: 7 & Al Mulk: 2), salah seorang tabi’in terkenal yang bernama Fudhail bin ‘Iyadh berkata:
أَخْلَصُهُ
وَأَصْوَبُهُ، فَإِنَّهُ إِذَا كَانَ خَالِصاً وَلَمْ يَكُنْ صَوَاباً
لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ صَوَاباً وَلَمْ يَكُنْ خَالِصاً لَمْ
يُقْبَلْ حَتىَّ يَكُوْنَ خَالِصاً صَوَاباً، وَالْخَاِلصُ إِذَا كَانَ
ِللهِ، وَالصَّوَابُ إِذَا كَانَ عَلىَ السُّنَّةِ.
(Yaitu
siapa-siapa) yang paling ikhlas dan benar. Karena amal yang ikhlas
bila tidak benar tidak akan diterima, dan bila benar tapi tidak ikhlas
juga tidak akan diterima. Sampai amal tersebut ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah, dan benar jika dilakukan sesuai sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam.[8])
Setelah Anda mengetahui akan hal ini, maka ketahuilah bahwa mengikuti sunnah haruslah meliputi enam segi. Dengan keenam segi inilah semua yang bid’ah akan nampak jelas. Keenam segi itu ialah:
1. Sebabnya.
2. Jenisnya.
3. Kadarnya.
4. Tata caranya.
5. Waktunya, dan
6. Tempatnya.[9])
Artinya, sebelum kita melakukan sesuatu yang dianggap ibadah,
periksalah terlebih dahulu adakah hal ini disyari’atkan oleh Allah dan
Rasul-Nya ataukah tidak? Kalau memang disyari’atkan, maka terapkanlah
keenam segi tadi. Mulai dari sebabnya; apakah ibadah tersebut dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam dan para sahabatnya karena sebab yang sama? Kalau tidak maka tinggalkanlah. Kalau ya, maka lihat apakah ibadah tersebut sama jenisnya dengan ibadah yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam
karena sebab tadi? Umpamanya ketika seseorang menganjurkan kita untuk
puasa Nisfu Sya’ban. Kita harus teliti terlebih dahulu apakah Nisfu
Sya’ban dijadikan alasan/sebab oleh Nabi untuk melakukan ibadah
tertentu? Kalau ya, maka apakah jenis ibadah yang dilakukan tadi adalah
puasa atau yang lainnya? Kalau jenisnya beda, maka tinggalkan. Namun
kalau jenisnya sama, maka lihat: apakah kadar ibadah itu sesuai dengan yang ditetapkan Beliau shallallaahu ‘alaih wasallam (seperti jumlah roka’at shalat, umpamanya)?
Kemudian periksalah apakah tata caranya juga sesuai dengan tuntunan Beliau shallallaahu ‘alaih wasallam? Kemudian periksa juga apakah waktu dan tempatnya juga sesuai dengan yang diajarkan Beliau shallallaahu ‘alaih wasallam? Kalau ada satu dari enam segi tadi yang tidak sesuai maka ibadah tersebut adalah bid’ah.
Misalnya peringatan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam. Dari segi sebabnya sudah tidak sesuai, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam
tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai alasan untuk melakukan
ibadah-ibadah tertentu. Kalau Ustadz Novel berdalil dengan hadits yang
maknanya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam berpuasa di
hari senin karena itu adalah hari kelahirannya, maka ia harus merayakan
maulid Nabi –sebagai konsekuensinya– setiap hari senin. Karena Nabi
tidak hanya puasa sekali dalam setahun. Lagi pula beliau tidak
menentukan pada bulan apa dan tanggal berapa beliau berpuasa, lalu dari
mana Ustadz Novel bisa mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam menganjurkan umatnya untuk memperingati maulid beliau dari hadits tadi?? Sungguh aneh bin ajaib kan cara dia berdalil…?!
Lebih dari itu, dalam hadits tadi hanya disebut satu jenis ibadah
tertentu yaitu puasa. Lantas dari mana Ustadz Novel bisa menetapkan
disyari’atkannya ibadah-ibadah lain seperti sedekah, dzikir dan membaca
shalawat secara khusus pada hari itu?
Dari sini saja sudah ketahuan bahwa perayaan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam
merupakan bid’ah tulen yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Meski di dalamnya terdapat ibadah-ibadah yang pada
dasarnya dianjurkan, akan tetapi karena ibadah-ibadah tersebut dilakukan
karena alasan yang salah, kemudian jenisnya berbeda dengan yang
diajarkan Rasulullah, maka tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.
4. Mengingkari bid’ah tidak berarti mengingkari hukum asal setiap ibadah yang ada di dalamnya
Kita tak mengingkari bahwa cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam merupakan salah satu konsekuensi keimanan. Tidak berguna iman seseorang bila ia tak mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam
sepenuh hatinya… akan tetapi bagaimanakah kita hendak mewujudkan cinta
kita terhadap beliau? Apakah dengan memegang teguh sunnahnya, atau
dengan mengadakan bid’ah-bid’ah dalam agama? Siapakah yang lebih besar
cintanya kepada beliau shallallaahu ‘alaih wasallam; para
sahabat dan salafus shaleh, ataukah kita? Sungguh tak pantas rasanya
kita menyejajarkan diri kita dengan mereka… sungguh jauh panggang dari
api… tak ada artinya kita di samping mereka.
Lantas mengapa mereka tak merayakan maulid kekasih mereka ini? Ataukah
mereka tak tahu bahwa maulid tadi mengandung banyak manfaat? Bukankah
melalui maulid kita jadi mengenal sejarah hidup Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam? Adakah mereka tak tahu bahwa alam semesta ini diselamatkan oleh Allah dengan terlahirnya Muhammad shallallaahu ‘alaih wasallam –seperti kata ustadz Novel–? Mengapa mereka sampai hati tak memperingati kelahiran Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam??
Tak lain jawabannya ialah karena kecintaan mereka kepada Sunnah Rasulnya… ya, tak mungkin bertemu antara cinta Rasul shallallaahu ‘alaih wasallam
dan cinta bid’ah… kalau salah satunya ada, yang lain harus
dikorbankan… ya, tak mungkin seseorang dapat mengerjakan bid’ah
–sekecil apa pun– melainkan ia harus meninggalkan sunnah yang setaraf
dengannya.
Namun lagi-lagi, Ustadz Novel tak kehabisan akal. Dikumpulkannya
dalil-dalil yang seakan mengisyaratkan bahwa perayaan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam dianjurkan dalam syari’at. Dengan cara istidlal (pengambilan dalil) yang aneh bin ajaib, ia hendak menetapkan bahwa semua yang dilakukan dalam perayaan maulid itu dianjurkan.
Kalau diteliti, sebenarnya Ustadz Novel tak mempunyai dalil yang sharih (jelas maksudnya) dan shahih sebagai acuan dalam membolehkan perayaan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam, apa lagi dalil yang menganjurkannya.
Namun yang ada hanyalah hadits-hadits dan ayat-ayat yang bersifat
umum; yang tidak ada kaitannya dengan praktek perayaan maulid Nabi shallallaahu ‘alaih wasallam,
namun diqiyaskan kepadanya. Inilah kekeliruan pertama yang dilakukan
Ustadz Novel. Ia hendak menetapkan suatu ibadah dengan mengandalkan
qiyas semata… tanpa mengindahkan rambu-rambu qiyas itu sendiri. Kalaulah
manhaj seperti ini kita terima begitu saja, maka tak ada lagi
bid’ah di dunia yang perlu kita ingkari… dan keliru lah sikap Ibnu
Mas’ud ra yang menempatkan mereka sebagai pembuka pintu-pintu kesesatan.
Ustadz Novel mengatakan –setelah menukil hadits mengenai puasa Asyura yang dikaitkan dengan kemenangan Nabi Musa ‘alaihissalaam
terhadap Fir’aun–; “Dalam hadits di atas tampak jelas bahwa
disyariatkannya puasa Sunah tersebut adalah untuk mensyukuri kemenangan
Nabi Musa ‘alaihissalaam. Ini merupakan salah satu bukti bahwa
puasa Sunah Asyura dikaitkan dengan waktu tertentu, yaitu tanggal 10
Muharram, hari kemenangan Nabi Musa ‘alaihissalaam.
Hadis di atas merupakan salah satu dalil penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi. Jika
hari selamatnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun disyukuri dan
diperingati dengan puasa, lalu bagaimana kiranya dengan hari selamatnya
seluruh alam dengan dimunculkannya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaih wasallam ke dunia ini? [10])
Jawabnya; sebagai seorang Nabi dan Rasul akhir zaman, baginda Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam
selama hidupnya banyak mengalami peristiwa-peristiwa besar. Sebut saja
misalnya ketika beliau dibelah dadanya oleh Malaikat sewaktu
kanak-kanak; atau ketika beliau berhasil melerai kaum Quraisy yang
hampir saling bunuh karena berebut Hajar Aswad; atau ketika terjadi
Bai’atul Aqabah pertama dan kedua; demikian pula ketika beliau hijrah ke
Madinah, yang merupakan titik tolak kejayaan dakwah Islam; atau ketika
beliau bersama 314 orang sahabatnya menang dalam perang Badar;
kemudian perang Khandaq; Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah), Perang
Tabuk, dan berbagai peristiwa penting dan besar lainnya…
Pertanyaannya sekarang;
mengapa Ustadz Novel dan orang-orang yang sepaham dengannya tidak
memperingati peristiwa-peristiwa di atas…? Ataukah menurutnya peristiwa
itu tak sepenting dan seagung kelahiran Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam…? Mengapa pula para sahabat melalaikan kemenangan-kemenangan mereka bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaih wasallam dan tidak membuat acara peringatan untuk itu, meski sekali saja?? Alangkah tidak bersyukurnya mereka kalau begitu…?!
Apakah mungkin Ustadz Novel cs lebih paham tentang arti syukur nikmat
yang sesungguhnya dari pada para sahabat?? Bagaimana menurut pembaca…?
Perlu kita ketahui bahwa merayakan hari-hari tertentu merupakan salah
satu ketetapan syari’at yang harus berdasar pada dalil yang shahih dan sharih (jelas) [11]). Tidak cukup hanya dengan main qiyas
seperti itu. Adanya satu atau dua orang –bahkan seratus ulama pun–
yang membolehkan suatu perayaan tidak lantas menjadi dalil bahwa hal
tersebut dibenarkan dalam Islam. Karena jika demikian, kita telah
mengakui adanya pembuat-pembuat syari’at selain Allah ta’ala.
Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh
azab yang amat pedih. (Asy Syura: 21).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-
berkata: Siapa pun yang menganjurkan sesuatu sebagai sarana untuk
bertaqarrub kepada Allah, atau mewajibkannya lewat ucapan maupun
perbuatan, padahal Allah tidak mensyari’atkannya; berarti ia telah
mensyariatkan untuk manusia agama yang tidak diizinkan Allah. Dan siapa
saja yang mengikuti seruan orang itu, berarti telah menjadikannya
sebagai sesembahan selain Allah.
Memang, boleh jadi orang itu memiliki persepsi lain (ta’wil) terhadap
ajarannya, alias tidak berniat menyelisihi ayat di atas. Hingga
karenanya Allah mengampuninya tersebab persepsi kelirunya itu. Yaitu
bila ia melakukannya dalam kapasitasnya sebagai seorang mujtahid. Dengan
ijtihadnya tadi, kesalahannya akan diampuni bahkan ia mendapat pahala
ijtihad. Akan tetapi tetap kesalahan tersebut tidak boleh diikuti.
Sebagaimana kita tidak boleh mengikuti perkataan atau perbuatan siapa
pun, setelah kita mengetahui bahwa kebenaran tidak berpihak kepadanya,
meski yang mengatakan atau berbuat tadi mendapat pahala dan memiliki
udzur.
Memang, asal-usul kesesatan setiap orang yang ada di bumi ini tak lepas dari dua sebab:
1. Karena mengikuti ajaran yang tidak disyari’atkan (diperintahkan) Allah, atau
2. Karena mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah.
Karenanya, pijakan yang dijadikan Imam Ahmad dan para Imam lainnya
dalam merumuskan madzhab mereka ialah bahwa perbuatan manusia selalu
terbagi menjadi:
1. Ibadah-ibadah yang dijadikan ritual agama, dengan harapan mendapat manfaat di akhirat, atau di dunia dan akhirat.
2. Adat istiadat yang melaluinya mereka mencari manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Karenanya, hukum asal setiap peribadatan ialah tidak disyari’atkan sampai Allah sendiri yang mensyari’atkannya. Sedang hukum asal setiap adat istiadat ialah tidak dilarang kecuali bila Allah telah melarangnya.
Karenanya, peringatan-peringatan hari besar yang diada-adakan seperti
ini, sebab dilarangnya tak lain tak bukan ialah karena di dalamnya
terdapat banyak ritual agama yang dijadikan sarana bertaqarrub kepada
Allah, padahal Allah tidak mensyari’atkannya untuk dilakukan dalam
keadaan dan tata cara seperti itu. [12])
[1]) Mana Dalilnya 2, hal 31-32.
[3]) Dalam ‘Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud,
disebutkan bahwa jumlah sahabat yang haji bersama Rasulullah e mencapai
130.000 orang (lihat di: Kitabul Manasik, bab: fi ayyi waqtin yakhtubu
yauman naĥri).
[4])
Tentunya selama hal tersebut bukan khusus bagi beliau, seperti menikah
lebih dari empat, janda-jandanya tak boleh dinikahi, dan lain
sebagainya.
[5])
Agar lantas orang tidak mengatakan bahwa memakai mikrofon untuk adzan,
khutbah jum’at, dan pengajian termasuk bid’ah umpamanya. Sehingga
dengan begitu apa yang kita katakan dinilai kontradiksi dengan
perbuatan kita.
[6]) Lihat; Muqaddimah Sunan Ad Darimi, bab: fi karahiyati akhdzir ra’yi, hadits no 206. Kaum Khawarij
ialah salah satu sekte Islam sempalan yang meyakini bahwa pelaku dosa
besar hukumnya kafir, keluar dari Islam. Mereka juga berkeyakinan bahwa
Ali bin Abi Thalib t, Mu’awiyah bin Abi Sufyan t, dan setiap orang
yang ridha dengan diangkatnya Abu Musa dan Amru bin Al Ash sebagai juru
runding telah kafir dan murtadd dari Islam. Karenanya mereka selalu
mengadakan pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya banyak kaum
muslimin. Dalam sebuah pertempuran di daerah Nahrawan, pasukan Khawarij
berhasil diporak-porandakan oleh tentara kaum muslimin dibawah komando
Sayyidina Ali bin Abi Thalib t. Bahkan ketika itu beliau senantiasa
mengulang-ulang sabda Nabi e yang menyebutkan bahwa diantara ciri
pasukan yang akan diperanginya ialah: di dalamnya ada seorang lelaki
yang tangannya buntung, membentuk sembulan daging mirip payudara
wanita. Julukannya: Dzu Tsudayyah. Seusai peperangan, beliau
perintahkan pasukannya untuk mencari lelaki dengan sifat tadi, dan
tatkala menemukannya beliau bertakbir sembari mengatakan: “Maha benar
Allah dan Rasul-Nya…”. Lihat; Al Muntazhom (باب ذكر خروج الخوارج على أمير المؤمنين). Sedangkan Nahrawan ialah nama daerah luas yang terletak antara Baghdad dan Wasith di sebelah timur Irak (lihat: Mu’jamul Buldan).
[7]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/422 pada tafsir ayat ke 125 surat An Nisa’.
[8]) Diriwayatkan dengan sanad yang bersambung oleh Abu Nu’aim Al Ashbahany dalam Hilyatul Auliya’, pada biografi Al Fudhail bin ‘Iyadh.
[9]) Lihat: Bida’ul Qurra’
hal 7, oleh Al ‘Allaamah Asy Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid.
Cet.III 1416H. Daar Ash Shomay’i, Riyadh – Saudi Arabia. Keterangan ini
beliau nukil dari Fatawa Imam Asy Syathiby hal 198.
[10]) Mana Dalilnya 2 hal 20-21.
[11]) Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- dalam Iqtidha-us Shiratil Mustaqim. Beliau mengatakan:
الأعياد شريعة من الشرائع فيجب فيها الاتباع, لا الابتداع (مختصر الاقتضاء, ص 281-282).
Penetapan
hari raya termasuk bagian dari syari’at, karenanya kita diwajibkan
untuk ittiba’ dalam hal ini, bukan mengada-adakan sendiri (Mukhtasar Iqtidha’us Shiratil Mustaqim, hal 281-282).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar