Menepis Syubhat Bahwa Ziarah Kubur Adalah Sarana Ngalap Berkah Yang Syar'i
Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel Meluruskan Kekeliruan Seputar Istighatsah
dalam blog ini yang diambil dari jawaban Abu Hudzaifah Al-Atsary atas
buku Mana Dalilnya 2karya Novel Alaydrus yang ditulis di
www.basweidan.wordpress.com
Ziarah kubur bagi wanita
Ziarah
kubur bagi laki-laki adalah hal yang disunnahkan, sedangkan bagi
wanita masih diperselisihkan hukumnya. Sebagian ulama menganjurkan,
sebagian lagi mengharamkan , sebagian lagi memakruhkan, dan sebagian
lagi membolehkan dengan syarat tidak sering melakukannya. Masing-masing
punya dalil dalam hal ini, dan setelah diamati, agaknya pendapat
terakhirlah yang rajih karena bisa mengkompromikan dalil-dalil yang ada,
wallahu a’lam. Pun demikian, ada syarat-syarat lain yg harus dipenuhi,
yaitu: tidak boleh berhias, tidak boleh meratap, bisa mengendalikan
diri, dan memakai busana muslimah.
Berkaitan
dengan ziarah kubur bagi wanita, Novel mengatakan: “Sebagaimana kaum
pria, para wanita juga diizinkan untuk berziarah, selama tidak
melakukan hal-hal yang dilarang oleh Agama. Bahkan mereka dianjurkan untuk menziarahi kubur para Nabi dan ulama untuk mendapatkan keberkahan mereka” [1].
Saya katakan: Mana
dalilnya yang menyebutkan bahwa tujuan dari ziarah kubur ialah mencari
berkah? Tidak ada satu dalilpun yang mengarah kesana… bahkan ada
sebuah hadits yang berlawanan dengan pendapatnya secara diametral!!
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ.
Dari
Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah e melaknat wanita-wanita yang sering
menziarahi kuburan (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya. Hadits
ini dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani).[2]
Kalau
Novel mengatakan bahwa hadits ini disampaikan oleh Rasulullah e
sebelum beliau mengizinkan dan memerintahkan ziarah kubur, maka saya katakan: Mana dalilnya yang menunjukkan demikian??
Kalau
Novel mengkhususkan larangan tersebut bagi wanita yang meratapi mayit
dan bersolek secara berlebihan hingga menimbulkan fitnah bagi kaum
pria, maka saya katakan: Mana dalilnya yang mengarah kesana?? Nampaknya Novel lupa bahwa judul bukunya suatu ketika menjadi bumerang baginya.
Namun
hal lain yang lebih penting untuk dicermati ialah ketika dia
mengaitkan ziarah kubur dengan berkah, kira-kira apa yang dia maksudkan
sesungguhnya? Adakah dia ingin agar orang-orang meyakini bahwa para
Nabi dan orang shaleh yang telah wafat tadi dapat memberikan berkah
kepada para peziarah? Mengapa dia lebih suka mengaitkan manusia dengan
orang-orang yang telah berkalang tanah, dan tidak mengaitkannya dengan
Dzat yang Maha Hidup dan tidak pernah mati? Apakah dia meyakini bahwa
keberkahan dapat diperoleh dengan cara seperti ini? Mana Dalilnya??
Bisakah
dia mendatangkan satu dalil saja yang menunjukkan bahwa para Nabi dan
orang shaleh dapat memberikan berkah kepada orang yang menziarahi
mereka? Adakah para sahabat berkeyakinan demikian terhadap orang-orang
paling shaleh macam Abu Bakar dan Umar t? Kalaulah Abu Bakar dan Umar
saja tidak diyakini demikian oleh para sahabat –padahal keduanya adalah
manusia paling shaleh setelah para Nabi menurut ijma’ ulama–, lantas
bagaimana Novel dapat menentukan bahwa kuburan wali fulan, atau habib
fulan, atau kuburan siapa pun yang marak diziarahi adalah kuburan
orang shaleh?? Adakah ia mengetahui isi hati seseorang hingga bisa
mencapnya sebagai orang shaleh?
Mengatur waktu ziarah
Adapun
mengatur waktu ziarah, maka tidak ada dalil yang jelas dan tegas dalam
hal ini. Namun yang ada ialah bahwa setiap kali Rasulullah e bermalam
dengan Aisyah t, beliau keluar di akhir malam ke pemakaman Baqi’ dan
mendoakan sahabat-sahabat beliau yang dikubur di sana. Hadits ini
meskipun shahih, tidak berarti bahwa kita disunnahkan untuk mengatur
waktu tertentu dalam berziarah, seperti mengkhususkan hari atau tanggal
tertentu secara rutin untuk ziarah. Namun hadits diatas sekedar
menandakan bahwa ziarah kubur boleh dilakukan kapan saja, baik siang
maupun malam.
Kemudian
Novel menyebutkan sebuah riwayat yang intinya bahwa Siti Fatimah
puteri Rasulullah e senantiasa menziarahi makam Hamzah bin Abdul
Muttalib setiap hari Jum’at dan menandai makamnya dengan batu besar.[3]
Sekarang,
marilah kita cek validitas riwayat ini. Dalam tafsirnya, Al Qurthubi
menukil riwayat ini dari Abu Bakar Al Atsram dengan sanad sebagai
berikut:
حدثنا مسدد حدثنا نوح بن دراج عن أبان بن تغلب عن جعفر بن محمد قال: كانت فاطمة … الحديث
Musaddad mengabarkan kepada kami, katanya: Nuh bin Darraj
mengabarkan kepada kami, dari Aban bin Tighlab, dari Ja’far bin
Muhammad, katanya: Konon Fatimah… dst (seperti yang kami nukil diatas).
Sebagaimana yang pembaca lihat, bahwa dalam sanad ini terdapat perawi yang bernama Nuh bin Darraj, perawi ini oleh Ibnu Hajar dinyatakan matruk[4], bahkan ia dianggap pendusta oleh Imam Ibnu Ma’in [5]. Kemudian sanad hadits ini juga terputus, karena Ja’far bin Muhammad –yang dijuluki As Shadiq– adalah putera dari Imam Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki Al Baqir. Ja’far As Shadiq lahir tahun 80 H dan wafat tahun 148 H [6],
sedangkan Siti Fatimah wafat tahun 11 H, maka jelaslah bahwa riwayat
ini sanadnya terputus karena antara kelahiran Ja’far dan wafatnya
Fatimah t terpaut 69 tahun! Kesimpulannya, hadits diatas derajatnya amat sangat lemah sekali, kalau tidak mau dibilang palsu!
Hadits palsu lainnya yang disebutkan oleh Novel ialah hadits berikut:
مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا
Barangsiapa
menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka pada
setiap hari Jum’at, maka dia diampuni dan dicatat sebagai seorang anak
yang berbakti (kepada orang tuanya). (HR Baihaqi) [7]
Setelah mengecek sumber asalnya, ternyata pada sanad hadits diatas ada perawi yang bernama Muhammad bin Nu’man (majhul/tidak diketahui keadaannya), kemudian Yahya ibnul Ala’ Al Bajali (Kadzdzab/pendusta), dan Abdul Karim Abu Umayyah
(dha’if/lemah). Dari sini jelaslah bahwa hadits diatas adalah hadits
palsu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah
hadits dha’ifnya jilid 1 hal 125.
Lebih dari itu, secara logika hadits ini juga tidak masuk akal. Sebab mafhumnya
menunjukkan bahwa bila ada seorang anak yang selama hidupnya selalu
durhaka kepada orang tuanya, maka setelah orang tuanya mati dia bisa
dianggap sebagai anak yang berbakti. Bagaimana? Mudah, cukup ziarah
setiap minggu ke kuburan orang tuanya… Aneh khan??
Benarkah pemakaman kaum shalihin adalah tempat terkabulnya doa?
Agaknya saudara kita yang satu ini benar-benar Qubury[8].
Dengan cara berdalil yang aneh bin ajaib, dia menyimpulkan bahwa
kuburan merupakan tempat terkabulnya doa. Mana dalilnya? Dalilnya ialah
bahwa dalam doa masuk pemakaman, Rasulullah mengucapkan:
أَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ لَنَا وَلَكُمْ (رواه النسائي)…. يَغْفِرُ اللهُ لَنَا وَلَكُمْ (رواه الترمذي).
Aku
memohon kepada Allah untuk memberikan keselamatan kepada kami dan
kalian semua (HR Nasai)….. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian (HR
Tirmidzi).[9]
Sebenarnya syubhat ini terlalu lemah untuk kita gubris… tapi tak mengapa, agar kita semua tahu bahwa tarekat
yang dibela oleh Novel memang selalu berkutat dengan akal-akalan yang
menggelikan. Karenanya, kita akan jawab secara logika saja.
Novel
mengatakan: “Selain berdoa untuk mereka, dalam salam yang disampaikan
Rasulullah e ketika memasuki pemakaman tertulis jelas bahwa beliau juga
berdoa untuk dirinya (kemudian dia menyebutkan kedua hadits diatas).
Kemudian lanjutnya:
Dua
hadis diatas menunjukkan bahwa pemakaman kaum Shalihin merupakan salah
satu tempat terkabulnya doa. Oleh karena itu ketika berziarah kita
dianjurkan untuk berdoa sebanyak mungkin…” dst.[10]
Saya katakan:
Kalau begitu cara dia berdalil, mestinya di depan WC/toilet juga
merupakan tempat terkabulnya doa, dan dia juga harus banyak-banyak
berdoa disana!! Mengapa? Perhatikan riwayat Anas bin Malik berikut:
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ :
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Adalah Rasulullah e ketika hendak masuk WC/toilet mengucapkan: “Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaithan laki-laki dan perempuan”
(HR Bukhari & Muslim).
Kemudian simaklah riwayat Aisyah yang mengatakan:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ : غُفْرَانَكَ
Bahwasanya Nabi e jika keluar dari tempat buang hajat mengucapkan: “Ya
Allah, ampunilah aku” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Namun
mengapa Novel tidak menjadikan muka WC/toilet sebagai tempat
terkabulnya doa, padahal Rasulullah juga berdoa di sana? Barangkali
jawabannya ialah karena setiap orang punya WC di rumahnya, jadi percuma
saja kalau dia anjurkan orang-orang untuk berdoa di sana… namun jika
dikaitkan dengan kuburan, maka mereka akan rajin berziarah ke makam para
‘wali’, ‘shalihin’ dan ‘haba-ib’, hingga pengaruh spiritual Novel dan orang-orang sepertinya tetap terjaga di masyarakat… atau agar perayaan haul yang mereka adakan tiap tahun semakin ramai, hingga ‘pemasukan’ mereka makin bertambah! Wallahul musta’an…
Melakukan perjalanan khusus untuk ziarah kubur para Nabi dan wali
Sebagaimana
pernah disinggung sebelumnya, penganut tarekat sufi semacam Novel
Alaydrus dalilnya takkan lepas dari dua hal: hadits dha’if/palsu namun
lafazhnya sesuai kemauan mereka, atau hadits shahih yang maknanya
dipelintir kesana kemari.
Jadi, dalam bab ini saya hanya akan menjelaskan validitas (keabsahan) dalil-dalil yang disebutkan oleh si Habib dalam rangka melegitimasi praktik yang berkembang di masyarakat, yang –diakui atau tidak– pasti menguntungkan mereka.
Di
halaman 82 dia menulis sbb: “Melakukan perjalan khusus ke pemakaman
para Nabi dan wali bukanlah suatu hal yang baru bagi umat Islam. Sejak
zaman Nabi e hingga saat ini kaum Muslimin sangat bersemangat untuk
menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.”
Saya
katakan, ini merupakan kedustaan yang dinisbatkan kepada mereka yang
hidup di zaman Nabi e, sebab ia mengatakan bahwa kaum muslimin dari
zaman tersebut –yang berarti para sahabat, tabi’ien, tabi’ut tabi’ien
dst– hinnga zaman ini sangat bersemangat untuk menempuh ribuan kilometer demi sebuah kunjungan ruhani.
Mana Dalilnya Bib?
Pasti
ada dong… (meski haditsnya sangat lemah/palsu, Novel tak ragu-ragu
untuk menisbatkannya kepada Rasulullah e, dia mengatakan — hal 83-84 —
): “Rasulullah e bersabda“:
1- مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
1-
“Barang siapa menziarahi makamku, maka dia pasti akan mendapat
syafa’atku.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Bazzar, Daruquthni dan Baihaqi).
2- مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
2-
“Barang siapa menziarahiku setelah aku meninggal dunia, maka
seakan-akan dia sedang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup.” (HR.
Baihaqi).
3- مَنْ زَارَنِي مُتَعَمِّدًا كَانَ فِي جِوَارِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
3- “Barang siapa menyengaja untuk berziarah kepadaku, maka kelak di hari kiamat dia berada dalam perlindunganku.” (HR. Baihaqi).
4- مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ وَفَاتِي كَانَ كَمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
4-
“Barang siapa menunaikan ibadah haji dan kemudian berziarah ke makamku
setelah aku meninggal dunia, maka dia seperti sedang mengunjungiku
pada saat hidupku.” (HR Thabrani, Daruquthni dan Baihaqi).
5- مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
5-
“Barang siapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahiku, maka
dia telah meninggalkanku.” (HR. Ibnu Hibban dan Daruquthni).
Sekarang, mari kita cek validitas hadits-hadits di atas…
Derajat hadits-hadits di atas secara umum adalah dha’iifah-waahiyah (sangat lemah), bahkan ada pula yang maudhuu’ah (palsu). Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“ليس
في الأحاديث التي رويت بلفظ زيارة قبره -صلى الله عليه وسلم- حديث صحيح
عند أهل المعرفة، ولم يخرج أرباب الصحيح شيئاً من ذلك، ولا أرباب السنن
المعتمدة، كسنن أبي داود والنسائي والترمذي ونحوهم، ولا أهل المساند التي
من هذا الجنس؛ كمسند أحمد وغيره، ولا في موطأ مالك، ولا مسند الشافعي ونحو
ذلك شيء من ذلك، ولا احتج إمام من أئمة المسلمين -كأبي حنيفة ومالك
والشافعي وأحمد وغيرهم- بحديث فيه ذكر زيارة قبره” وقال -أيضاً- : “ليس في
هذا الباب ما يجوز الاستدلال به، بل كلها ضعيفة، بل موضوعة”
“Hadits-hadits
yang diriwayatkan dengan lafazh menziarahi kubur beliau (Nabi e),
tidak ada satu pun yang shahih menurut para ahli hadits. Para penulis
kitab shahih pun tidak ada yang meriwayatkannya, demikian pula penulis
kitab-kitab sunan yang mu’tamad seperti Sunan Abi Dawud,
Nasa’i, Tirmidzi dan yang semisalnya. Bahkan penulis kitab-kitab Musnad
yang sejenis ini pun juga tidak meriwayatkannya, seperti Musnad Ahmad
dan yang lainnya[11].
Hadits-hadits ini sama sekali tidak ada dalam Muwaththa’ Malik, Musnad
Syafi’i dan yang semisalnya; Tidak satu pun dari Imam kaum muslimin
seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad dan lain-lain yang berdalil
dengan hadits yang menyebutkan tentang ziarah kubur Nabi”. Beliau juga
mengatakan: “Dalam bab ini tidak ada yang boleh dijadikan dalil, semua
haditsnya lemah bahkan palsu”.[12]
Sedangkan Imam Ibnu Abdil Hadi dalam bantahannya terhadap As Subki mengatakan:
“جميع الأحاديث التي ذكرها المعترض في هذا الباب وزعم أنها بضعة عشر حديثاً ليس فيها حديث صحيح، بل كلها ضعيفة واهية”
Semua
hadits yang disebutkan si penentang dalam bab ini, yang menurutnya ada
17 hadits, tidak ada satu pun yang shahih, namun semuanya dha’if dan
sangat lemah.[13]
Adapun derajatnya secara khusus, untuk hadits pertama ada dua kekeliruan; Pertama:
Novel menisbatkannya kepada Tirmidzi… siapakah Dia? Dia bukanlah Imam
Muhammad bin Isa At Tirmidzi penyusun Sunan At Tirmidzi yang terkenal
itu, akan tetapi Dia adalah Al Hakiem At Tirmidzi dan hadits tersebut
ada dalam kitabnya Nawadirul Ushuul.[14]
Saya
tidak tahu mengapa Novel tidak menjelaskan hal tersebut, namun
kelihatannya kemungkinannya satu dari dua: ia menukil dari orang yang
bodoh seperti dia dalam ilmu hadits hingga tidak bisa membedakannya, dan tidak mau mengecek kebenaran nukilan tersebut; atau ia sengaja melakukan hal itu (baca: talbis) agar terkesan bahwa hadits tadi disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya yang terkenal itu… laa haula walaa quwwata illa billaah, sungguh memprihatinkan!
Demikian
pula keberadaan hadits ini dalam Sunan Ad Daruquthni dan Al Baihaqi,
sama sekali tidak menunjukkan bahwa hadits ini shahih. Bahkan orang
yang mengamati Sunan Ad Daruquthni secara sepintas akan tahu bahwa
sebagian besar hadits yang ada di dalamnya berkisar antara dha’if-munkar-waahiy dan maudhu’.
Mengapa? Karena tujuan beliau menulis kitab ini ialah untuk
menjelaskan hadits-hadits dha’if yang sering dijadikan dalil oleh para
fuqaha’.
Kedua: dalam sanad yang disebutkan oleh Ad Daruquthni ada perawi yang bernama Musa bin Hilal. Abu Hatim mengatakan bahwa dia itu majhul, lalu Al ‘Uqaili mengatakan: laa yutaaba’u ‘ala hadietsihi[15], sedang Adz Dzahabi mengatakan bahwa dia ini shaalihul hadits (baik haditsnya) dan hadits paling munkar yang diriwayatkannya adalah hadits di atas[16]. Singkatnya, hadits ini munkar (sangat dha’if).
Demikian pula dengan hadits kedua, hadits
ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan Ad
Daruquthni dalam Sunan-nya, namun dalam sanadnya ada perawi yang majhul dan mubham (tidak diketahui identitas dan derajatnya)[17]. Jadi, hadits ini pun lemah.
Hadits ketiga juga sama dengan pendahulunya, dalam sanadnya ada perawi yang majhul[18]. Jadi… simpulkan sendiri.
Adapun hadits keempat & kelima, uff … palsu semua!! Luar biasa, Novel sungguh berani dalam hal ini… sampai berdusta atas nama Nabi segala[19].
Dan lagi-lagi ia mengulangi talbisnya dengan menisbatkan hadits
tersebut kepada Imam Ibnu Hibban, seakan-akan beliau meriwayatkan hadits
tersebut dalam Shahihnya. Padahal hadits tersebut ada dalam kitab
beliau yang berjudul Al Majruhien, alias kitab yang hanya memuat
perawi-perawi dha’if beserta hadits mereka!! Bahkan liciknya, Novel
tidak menukil komentar Ibnu Hibban terhadap perawi hadits ini yaitu
Nu’man bin Syibel, padahal beliau mengatakan:
يَأْتِي عَنِ الثِّقَاتِ بِالطَّامَّاتِ، وَعَنِ الأَثْبَاتِ بِالمَقْلُوبَاتِ
Ia mendatangkan bencana dari para perawi yang terpercaya, dan meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik dari mereka[20]. Kemudian menyitir hadits kelima di atas.
Subhanallah…
beginikah arti sebuah amanah ilmiyah menurut Novel? Memang… kebatilan
tidak akan laku kecuali dengan mempercayai para pendusta, atau
mendustakan mereka yang terpercaya.
Berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau
Dalam
penjelasan berikutnya (hal 84-85), Novel menggunakan qiyas yang serba
rusak untuk membolehkan ziarah ke makam nabi-nabi yang lain, termasuk
para ‘wali’. Ia meng-qiyaskan hal tersebut dengan adanya anjuran untuk
menziarahi makam Nabi Muhammad e, sebagaimana yang tersebut dalam lima
hadits di atas.
Mengapa
qiyas di atas saya katakan serba rusak? Sebelum menjawab, perlu kita
ketahui bahwa qiyas merupakan dalil keempat setelah Al Qur’an, Sunnah
yang shahih dan Ijma’. Mengingat qiyas merupakan hasil ijtihad, para
ulama telah menetapkan kriteria tertentu untuk menilai kebenaran suatu
qiyas. Pertama-tama kita harus tahu bahwa qiyas memerlukan empat unsur,
yang dalam istilah ushul fiqih disebut: ashl, fare’, ‘illah wa hukm. Artinya: sebuah qiyas tidak mungkin terjadi tanpa adanya:
1- Pokok permasalahan yang dijadikan acuan (ashlun),
2- Masalah turunan yang hendak dikiaskan (fare’),
3- Sebab/alasan keduanya bisa disamakan (‘illah), dan
4- Hukum akhir (hukm).
Kemudian,
para ulama menentukan kriteria untuk masing-masing unsur tadi. Mereka
mengatakan bahwa pokok permasalahan yang dijadikan acuan haruslah memiliki nash yang jelas (manshuushun ‘alaih),
artinya ada dalil yang shahih dan sharih dalam masalah itu. Sedangkan
masalah turunannya haruslah masalah baru yang tidak ada dalilnya.
Kemudian adakah alasan yang menyamakan antara pokok permasalahan dengan
masalah turunannya? Kalau memang alasannya ada dan sama, maka qiyas
bisa dilakukan. Namun jika ada tapi tidak sama maka qiyas tersebut
rusak.
Sekarang mari kita cek keabsahan qiyas tersebut. Pertama,
dari pokok permasalahan, dalil yang digunakan semuanya dha’if, berarti
anjuran untuk menziarahi makam Nabi e tidak ada yang sah. Kedua, masalah
turunan yang hendak diqiyaskan –yaitu melakukan perjalanan ziarah ke
makam para Nabi, wali dan orang shalih–, telah memiliki hukum yang jelas
(lihat pembahasan berikutnya). Ketiga, alasan yang
digunakan pun tidaklah sama; karena Nabi Muhammad e tidak sama dengan
Nabi-nabi lainnya, apalagi dengan orang yang dianggap wali atau shalih.
Apalagi julukan ‘wali’ telah banyak disalah gunakan oleh banyak
kalangan dari dahulu hingga sekarang… lantas dari mana kita bisa
mengatakan bahwa si Fulan adalah wali atau orang shalih setelah dia
mati? Apakah kita bisa memastikan bahwa amalan si Fulan diterima Allah
hingga ia layak dijuluki orang shalih? Padahal seseorang tidak bisa
dijuluki shalih kecuali jika beramal dengan ikhlas dan ittiba’, lantas
bagaimana mungkin kita tahu dia ikhlas atau tidak? Itu semua adalah
masalah ghaib yang hanya bisa diketahui dengan dalil qath’iy, lain
tidak.
Singkatnya,
Nabi Muhammad e tidak bisa disamakan dengan siapa pun dalam hal
keshalihan maupun keimanannya. Kalau sudah demikian, jelaslah bahwa
qiyas yang dilakukan Novel tadi serba rusak… rusak dalilnya, rusak
alasannya dan otomatis rusak pula hukum akhirnya.
Memelintir makna hadits
Tak
cukup berdalil dengan hadits palsu dan qiyas yang kacau, Novel bahkan
memelintir makna sebuah hadits yang melarang apa yang sedang dibelanya
mati-matian, yaitu acara ziarah ke makam para wali, dan orang-orang
shalih, termasuk para habib tentunya…
Hadits tersebut adalah hadits muttafaq ‘alaih yang bunyinya:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِى هَذَا وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى
Tidak diikat pelana unta kecuali untuk menuju tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjidil Aqsha.
Novel
mengatakan: “Saudaraku, dalam hadis diatas tidak ada larangan untuk
berziarah kubur, bahkan kata kubur sama sekali tidak disebut. Hadis ini
hanya ingin menjelaskan, bahwa seseorang tidak usah bercapai-capai
melakukan perjalanan ke sebuah masjid demi mencari kemuliaannya,
kecuali menuju tiga mesjid diatas. Nilai ibadah di semua mesjid selain
tiga mesjid diatas adalah sama. Kendati demikian, kita masih boleh
mengunjungi sebuah masjid yang berada jauh dari kita untuk mengenang
sejarahnya dan mencari keberkahan di sana. Buktinya, pada setiap hari
Sabtu, Rasulullah e mengunjungi Masjid Quba’, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Sayyidina Abdullah bin Umar bin Khaththab t berikut:…
dst”, lalu Novel mengutip haditsnya.
Saya katakan, memang
kata kubur tidak disebutkan di situ, tapi mana dalilnya yang
mengkhususkan bahwa larangan tersebut hanya berkaitan dengan perjalanan
menuju suatu mesjid selain mesjid yang tiga, lalu disimpulkan bahwa
perjalanan mengunjungi kuburan tidak dilarang? Jika bercapai-capai
menuju sebuah mesjid –yang merupakan tempat ibadah– saja tidak boleh,
bukankah logikanya menuju kuburan para wali dll –yang sering kali jadi
ajang kemusyrikan– lebih tidak boleh lagi?
Kemudian Novel berdalil dengan perjalanan Nabi ke Mesjid Quba’ setiap hari Sabtu sbb:
كَانَ النَّبِيُّ e يَأْتِي مَِسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا
“Dahulu
pada setiap hari Sabtu, Rasulullah e mengunjungi Masjid Quba’ berjalan
kaki atau berkendaraan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Saya katakan,
yang dilarang bukanlah mengunjungi suatu mesjid secara mutlak, akan
tetapi kunjungan yang mengharuskan seseorang untuk ‘mengikat pelana
unta’ alias safar[21].
Sedangkan perjalanan Rasulullah e dari rumah Beliau –yang berdempetan
dengan Mesjidnya- ke Mesjid Quba’ terlalu dekat untuk disebut safar,
bahkan sekarang pun orang Medinah akan tertawa jika ada yang mengatakan:
“Saya akan safar dari Mesjid Nabawi ke Mesjid Quba’ “. Ya… sebab jarak
antara keduanya tak sampai 10 km.
Lantas
apa makna hadits di atas? Hadits di atas mencakup larangan untuk safar
dalam rangka ibadah ke suatu tempat semata-mata karena tempat itu,
bukan karena hal lain seperti silaturahmi, berdagang, mencari ilmu,
rekreasi dan kegiatan mubah lainnya. Jadi, setiap safar yang dilakukan
dalam rangka ibadah di suatu tempat tertentu adalah terlarang, kecuali
tiga mesjid tadi.
Saudara pasti bertanya: Mana Dalilnya? Simaklah riwayat berikut:
عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ قَالَ لَقِيَ أَبُو
بَصْرَةَ الْغِفَارِيُّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَهُوَ جَاءٍ مِنْ الطُّورِ
فَقَالَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ قَالَ مِنْ الطُّورِ صَلَّيْتُ فِيهِ
قَالَ أَمَا لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهِ مَا
رَحَلْتَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ
مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ
الْأَقْصَى
Dari
Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, katanya: Abu Basrah Al Ghifari
suatu ketika berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari bukit
Thur, maka tanyanya:
“Anda datang dari mana?”
“Dari bukit Thur… aku shalat di sana”, jawab Abu Hurairah.
“Andai
aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, engkau tidak
akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah e bersabda: Tidaklah diikat
pelana… dst”, kata Abu Basrah.[22]
Kita
semua tahu bahwa bukit Thur adalah bukit bersejarah tempat Nabi Musa
diajak bicara oleh Allah pertama kalinya, dan diangkat menjadi Rasul[23]. Allah U pernah mengangkat bukit tersebut ke atas Bani Israel ketika Dia mengambil sumpah setia dari mereka[24]. Di sebelah kanan bukit Thur, Allah mengumpulkan Musa beserta Bani Israel setelah Fir’aun dan bala tentaranya binasa[25].
Di bukit itu, Musa memohon untuk bisa melihat Allah namun kemudian
jatuh pingsan, dan di sanalah jua Allah menurunkan Taurat kepadanya.[26]
Jelas,
bukit ini merupakan bukit yang diberkahi oleh Allah. Dalam menjelaskan
hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Ucapan Abu Hurairah:
‘Aku pergi ke bukit Thur’[27]; jelas sekali dalam hadits ini bahwa di tidak pergi ke sana kecuali demi mencari berkah dan shalat di sana”[28].
Imam Abul Walid Al Bãji ketika menjelaskan dialog antara Abu Basrah dan Abu Hurairah mengatakan: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku datang dari Bukit Thur’
mengandung dua kemungkinan; mungkin dia kesana untuk suatu keperluan,
atau dia kesana dalam rangka ibadah dan taqarrub. Sedang ucapan Abu
Basrah: ‘Andai saja aku sempat menyusulmu sebelum kau berangkat, maka kau takkan berangkat’, merupakan dalil bahwa
Abu Basrah memahami bahwa tujuan Abu Hurairah ke sana ialah dalam
rangka ibadah; dan diamnya Abu Hurairah ketika perbuatannya diingkari, merupakan dalil bahwa apa yang difahami Abu Basrah tadi benar.[29]
Kesimpulannya,
perjalanan jauh atau safar yang dilarang ialah safar untuk mencari
berkah atau ibadah di tempat tertentu, yang semata-mata karena tempat
tersebut. Semua perjalanan yang dilakukan dengan niat tersebut adalah
haram, kecuali ke Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha.
Sedangkan safar yang dilakukan tanpa niat ibadah di tempat tertentu
tidaklah termasuk dalam hadits ini, akan tetapi hukumnya tergantung
tujuan safar itu sendiri, sebab pada dasarnya safar adalah sesuatu yang
dibolehkan dalam agama.
Namun
lucunya, Novel kemudian menulis (hal 85): “Oleh karena itu, sungguh
aneh jika hadis ini dijadikan sebagai dalil yang melarang kita untuk
menziarahi kubur para Nabi dan kaum Sholihin yang berada di luar kota,
sedangkan orang yang pergi ke luar negeri, ke negara-negara kafir pun tidak pernah dilarang.”
Lihatlah
analogi yang kacau tersebut… ia hendak menyamakan antara orang yang
safar untuk ziarah kubur –yang kenyataannya justeru merupakan ajang
berbagai kemunkaran, mulai dari bid’ah hingga syirik akbar–, dengan
orang yang pergi ke luar negeri secara umum. Di mana letak
persamaannya? Hanya Novel yang tahu…
Namun
yang lebih lucu lagi ketika dia mengatakan bahwa pergi ke
negara-negara kafir tidak pernah dilarang, padahal para ulama
menyebutkan bahwa safar ke negara kafir hukumnya haram, kecuali dengan
tiga syarat:
1- Orang tersebut harus berilmu hingga bisa menepis syubhat-syubhat orang kafir.
2- Orang tersebut harus memiliki iman yang kuat untuk menghadapi fitnah syahwat.
3- Dia harus mampu menampakkan syiar-syiar Islam.
Lebih
dari itu, ia hanya boleh safar ke negara kafir dengan alasan yang
dibolehkan oleh agama, seperti mempelajari suatu ilmu yang hanya ada di
negeri itu dan ilmu tersebut sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin,
atau berobat, atau dalam rangka dakwah, jihad, dan semisalnya.[30]
Apalagi Nabi e mengatakan:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْ مُشْرِكٍ أَشْرَكَ بَعْدَ مَا أَسْلَمَ عَمَلاً حَتىَّ يُفَارِقَ المُشْرِكِينَ إِلىَ المُسْلِمِيْنَ.
Allah
tidak akan menerima amalan seorang musyrik -yang berbuat syirik-
setelah dia masuk Islam, hingga dia memisahkan diri dari kaum musyrikin
kepada kaum muslimin.[31]
Dan mengatakan:
أَنَا
بَرِىءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ،
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ؟ قَالَ: لاَ تَرَاءَى نَارَاهُمَا »
“Aku
berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal diantara orang-orang
musyrik”. Kata para sahabat: “Mengapa wahai Rasulullah?”, “Jangan
sampai api keduanya saling terlihat” jawab Beliau.[32]
Al
Imam Ibnul Atsir mengatakan bahwa jawaban Nabi di atas artinya seorang
muslim harus tinggal berjauhan dengan orang musyrik, sampai kalau si
muslim menyalakan api tidak terlihat oleh si musyrik. Dan ini merupakan
anjuran untuk hijrah dan tinggal bersama kaum muslimin.[33]
Betapa
gamblangnya kedua hadits diatas… apakah setelah membaca kedua hadits
di atas masih ada orang yang mengatakan: “pergi ke negara-negara kafir
pun tidak pernah dilarang???”, alangkah bodohnya dia kalau begitu…
[1] Mana Dalilnya 1, hal 70.
[2]
Hadits ini juga disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Hassan bin Tsabit t,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Sunannya,
kitabul Jana-iz, bab ke 49.
[3] Mana Dalilnya 1, hal 74. Novel menukil riwayat ini dari Tafsir Al Qurthubi 3/381.
[4] Yakni julukan untuk rawi yang hadits-nya dianggap dha’if jiddan (lemah sekali) dan tidak boleh dinisbatkan kepada Rasulullah e.
[5] Lihat: Taqribut Tahdzieb hal 567, tahqiq: Muhammad ‘Awwamah, cet. th 1406/1986, Daar Ar Rasyid-Suriah.
[6] Lihat: Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzy 5/97, tahqiq: DR. Basyar Awad, cet. Muassasah Ar Risalah. Lihat juga Taqribut Tahdzieb hal 141, dan hal 751.
[7] Mana Dalilnya 1, hal 74.
[8] Artinya orang yang sangat gandrung kepada kuburan.
[9] Lihat: Mana Dalilnya 1 hal 80 yang kami lampirkan di belakang.
[10] Mana Dalilnya 1, hal 82.
[11]
Ini menunjukkan bahwa para ahli hadits yang mensyaratkan untuk tidak
memasukkan sembarang hadits dalam kitabnya memandang bahwa hadits-hadits
di atas tidak layak dinisbatkan kepada Rasulullah e. Jadi, Syaikhul
Islam seakan mengisyaratkan bahwa kalau dalam kitab-kitab Sunan maupun
Musnad yang mu’tamad saja hadits-hadits tersebut tidak ada –padahal
kitab-kitab ini memuat banyak hadits dha’if lainnya– berarti
hadit-hadits tadi memang terlalu dha’if hingga tidak layak untuk
dinisbatkan kepada Rasulullah.
[12] Lihat: Ar Raddu ‘alal Akhna-iy hal 87-88 dan Majmu’ Fatawa 27/216 dan setelahnya.
[13] Ash Sharimul Munkiy, hal 15.
[14]
Dia adalah Muhammad bin ‘Ali ibnul Hasan bin Bisyr Al Hakiem At
Tirmidzi, seorang Sufi dan ahli hikmah namun akidahnya kacau (lihat: Tarikhul Islam 21/277-278 oleh Imam Adz Dzahabi). Dalam Siyar A’lamin Nubala’ (13/439), Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata berikut: Al Imam Al Hafizh Al ‘Arif Az Zahid… dst. Bila orang yang awam tentang hadits dan kitab rijaal hadits
macam Novel Alaydrus membaca ungkapan ini, pasti ia akan terkecoh dan
menganggap bahwa orang ini memang benar-benar imam! Tapi… jangan
tergesa-gesa, sebab Imam Dzahabi dalam kitab ini sering mengucapkan
kata-kata tersebut lalu menyebutkan dalam biografi yang bersangkutan
hal-hal yang bertolak belakang dengan sederet gelar mulia tadi.
Contohnya lihat biografi Asy Syaadzakuuni (10/679); setelah menggelarinya dengan Al Imam Al Hafizh Al Baari‘ Abu Ayyub, Sulaiman bin… dst beliau mengatakan: “Ahadul Halka”, yang artinya: Salah seorang yang celaka. Karenanya, jangan terkecoh dengan gelar sebelum membaca biografi yang bersangkutan dari awal hingga akhir.
Dalam kedua kitab tersebut Imam Adz Dzahabi menukil sebuah riwayat dari Abu Abdirrahman As Sulami (salah seorang Imam Ahlus Sunnah) bahwa Al Hakiem At Tirmidzi pernah diusir oleh orang-orang dari kota Tirmidz dan mereka bersaksi bahwa dia telah kafir tersebab kitab Khatm al Wilayah dan Milal asy Syari’ah yang ditulisnya. Dalam kedua kitab tadi ia menyebutkan bahwa para wali memiliki khatam (penutup) sebagaimana para nabi memiliki khatam. Ia bahkan menganggap bahwa kewalian lebih mulia dari pada kenabian, dengan berdalil dengan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi iri terhadap para Wali…”. Kemudian di akhir biografinya, Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku memohon keselamatan kepada Allah dari kesesatan orang-orang sufi, dan aku berlindung kepada-Nya dari kekufuran filosof kaum sufi. Mereka berkedok dengan lahiriyah Islam sembari menghancurkannya secara tersembunyi. Mereka mengaitkan orang-orang awam dengan ikatan dan simbol-simbol sufi dengan segala isyarat yang terkesan indah, demikian pula dengan ucapan mereka yang enak didengar, biografi tokoh mereka yang aneh, tata cara mereka yang ajaib, feeling mereka yang keras yang menyeret pada kehancuran dan lain sebagainya…” (Tarikhul Islam 21/278).
Dalam kedua kitab tersebut Imam Adz Dzahabi menukil sebuah riwayat dari Abu Abdirrahman As Sulami (salah seorang Imam Ahlus Sunnah) bahwa Al Hakiem At Tirmidzi pernah diusir oleh orang-orang dari kota Tirmidz dan mereka bersaksi bahwa dia telah kafir tersebab kitab Khatm al Wilayah dan Milal asy Syari’ah yang ditulisnya. Dalam kedua kitab tadi ia menyebutkan bahwa para wali memiliki khatam (penutup) sebagaimana para nabi memiliki khatam. Ia bahkan menganggap bahwa kewalian lebih mulia dari pada kenabian, dengan berdalil dengan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa para Nabi iri terhadap para Wali…”. Kemudian di akhir biografinya, Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku memohon keselamatan kepada Allah dari kesesatan orang-orang sufi, dan aku berlindung kepada-Nya dari kekufuran filosof kaum sufi. Mereka berkedok dengan lahiriyah Islam sembari menghancurkannya secara tersembunyi. Mereka mengaitkan orang-orang awam dengan ikatan dan simbol-simbol sufi dengan segala isyarat yang terkesan indah, demikian pula dengan ucapan mereka yang enak didengar, biografi tokoh mereka yang aneh, tata cara mereka yang ajaib, feeling mereka yang keras yang menyeret pada kehancuran dan lain sebagainya…” (Tarikhul Islam 21/278).
[15]
Artinya tidak ada perawi lain yang meriwayatkan hadits ini dari guru
yang sama. Ini merupakan indikasi bahwa perawi tersebut lemah.
[16] Lihat: Catatan kaki muhaqqiq Sunan Ad Daruquthni 3/334 (hadits no 2695).
[17] Lihat: At Talkhies Al Habier hadits no 1073, oleh Ibnu Hajar.
[18]
Lihat: Syu’abul Iman, hadits no 4152. Dalam hadits itu ada perawi yang
tidak jelas siapa orangnya (mubham), namun sekedar disebutkan bahwa
dia adalah salah seorang keluarga Al Khattab atau Umar.
[19]
Hadits keempat dinyatakan maudhu’ oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah
Adh Dha’iefah no 47, dan Ibnu Thahir Al Maqdisi dalam Dzakhieratul
Huffazh (4/5250). Intinya, para ulama sepakat akan kedha’ifannya,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Ar Raddu ‘alal
Akhna-iy hal 28.
Sedangka hadits kelima dinyatakan maudhu’ oleh As Suyuthi, Ash Shaghani, Az Zarkasyi, Ibnul Jauzy, Al Albani dll (lihat Al Fawaidul Majmu’ah no 35 oleh Asy Syaukani dan Silsilah Adh Dha’iefah no 45).
Sedangka hadits kelima dinyatakan maudhu’ oleh As Suyuthi, Ash Shaghani, Az Zarkasyi, Ibnul Jauzy, Al Albani dll (lihat Al Fawaidul Majmu’ah no 35 oleh Asy Syaukani dan Silsilah Adh Dha’iefah no 45).
[20] Al Majruhien, 3/73. Dalam ilmu jarh wat ta’dil
(kritikan dan pujian) yang kami pelajari selama di bangku kuliah,
ungkapan ini merupakan isyarat bahwa yang bersangkutan tertuduh mencuri
hadits, alias menisbatkan hadits-hadits mungkar ke perawi-perawi tsiqah
agar terkesan sanadnya shahih.
[21] Dalilnya ialah bahwa dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh:
إِنَّمَا يُسَافَرُ إِلىَ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدُ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.
Safar
hanyalah boleh dilakukan ke tiga mesjid: Masjidil Ka’bah (Mesjidil
Haram), Masjidku (Nabawi) dan Masjid Iliya’ (Baitul Maqdis). (HR.
Muslim dalam Shahihnya no 1397). Jadi, jelaslah bahwa ‘mengikat pelana
unta’ sama dengan ‘safar’.
[22]
HR. Ahmad dalam Musnadnya 39/270 hadits no 23850. Hadits ini sanadnya
shahih, Al Haitsami mengatakan dalam Majma’uz Zawa-id (4/3): “Rijaalu Ahmad tsiqaatun atsbaat”
(para perawi hadits Ahmad tsiqah semua dan kuat hafalannya). Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik secara panjang lebar dalam
Muwaththa’nya no 241.
[23] Lihat Surat Al Qashash: 29.
[24] Lihat Surat Al Baqarah: 63, 93 dan An Nisa’: 154.
[25] Lihat Surat Maryam: 52, dan Thaha: 80.
[26] Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Thaha ayat 80.
[27]
Ini menurut riwayat Imam Malik yang lebih panjang dari yang kami nukil
di atas. Dalam riwayat tersebut Abu Hurairah memulai haditsnya dengan
kata-kata tersebut.
[28] Lihat: At Tamhid, 23/28.
[29] Lihat: Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa
[30]
lihat: Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 28/3; Majmu’ Fatawa Syaikh Bin
Baz 4/381, 24/44; Fatawa Lajnah Da-imah 2/107, 26/93, dan lain-lain.
[31] HR. Ibnu Majah (no 2536) dan Ahmad (no 20043) dengan sanad hasan.
[32] HR. Abu Dawud (2647) dan Tirmidzi (1604) dengan sanad yang shahih.
[33] Lihat: An Nihayah fie Ghariebil Hadits 2/177.
Sumber: http://basweidan.wordpress.com/2011/04/24/571/#more-571
Sumber: http://basweidan.wordpress.com/2011/04/24/571/#more-571
Anda mungkin juga meminati:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar