Antara Bid’ah dan Mashalih mursalah
Saudaraku seiman, yang akan kita bahas kali ini sangatlah penting, yaitu persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashalih mursalah. Dalam buku Mana Dalilnya 1, si penulis tak bisa membedakan antara bid’ah dan mashalih mursalah, akibatnya ia menggolongkan hal-hal yang merupakan mashalih mursalah ke dalam bid’ah[1]). Seperti ketika menjelaskan bid’ah wajib, ia mengatakan:
Bid’ah
wajib ialah bid’ah yang harus dilakukan demi menjaga terwujudnya
kewajiban yang telah ditetapkan Allah. Diantaranya adalah:
- Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an menjadi satu mushaf demi menjaga keaslian Al Qur’an, karena telah banyak penghapal Al Qur’an yang meninggal dunia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar t.
- Memberi titik dan harakat (garis tanda fathah, kasrah dan dzamma pada huruf-huruf Al Qur’an). Pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin y, Al Qur’an ditulis tanpa titik dan harakat. Pemberian harakat dan titik baru dilakukan pada masa Tabi’in. Tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan baca yang dapat menimbulkan salah pengertian dan penafsiran.
- Membukukan Hadits-hadits Nabi Muhammad e sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli Hadits lainnya.
- Menulis buku-buku tafsir Al Qur’an demi menghindari salah penafsiran dan untuk memudahkan masyarakat memahami Al Qur’an.
- Membuat buku-buku fiqih sehingga hukum agama dapat diterapkan dengan baik dan mudah. [2])
Sebelum menjelaskan kerancuan klasifikasi di atas, ada baiknya kalau kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan mashalih mursalah itu.
Definisi Mashalih mursalah
Istilah di atas merupakan salah satu istilah ushul fiqih yang masyhur, yang tersusun dari dua kata; mashalih (مَصَالِحٌ) dan mursalah (مُرْسَلَةٌ). Kata yang pertama adalah bentuk jamak dari ‘maslahah’ (مَصْلَحَةٌ) yang artinya manfaat/kemaslahatan. Sedangkan mursalah artinya yang diabaikan. Jadi mashalih mursalah secara bahasa artinya ialah kemaslahatan-kemaslahatan yang diabaikan.
Agar lebih jelas, kita harus tahu bahwa setiap kemaslahatan pasti tak lepas dari salah satu keadaan berikut;
- Maslahah mu’tabarah (kemaslahatan yang diperhitungkan)
- Maslahah mulghaah (kemaslahatan yang dibatalkan)
- Maslahah mursalah (kemaslahatan yang diabaikan)
Maslahah mu’tabarah pengertiannya ialah setiap manfaat yang diperhitungkan oleh syari’at berdasarkan dalil-dalil syar’i. Aplikasi dari maslahah mu’tabarah ini biasanya kita temui dalam masalah qiyas.
Misalnya ketika syari’at mengharamkan khamer, sesungguhnya ada suatu
alasan yang selalu diperhitungkan dalam hal ini, yaitu sifat memabukkan.
Rasulullah e bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ (رواه مسلم رقم 2003).
“Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer itu haram” (H.R. Muslim no 2003).
Karenanya, segala sesuatu yang memabukkan -entah itu makanan, minuman, atau apapun- dihukumi sama dengan khamer. Qiyas semacam ini merupakan bentuk pengamalan akan maslahah mu’tabarah [3]).
Karena dengan begitu kita dapat menjaga akal manusia dari segala
sesuatu yang merusaknya, yang dalam hal ini adalah khamer. Sedangkan
menjaga akal merupakan maslahah yang diperhitungkan oleh syari’at [4]).
Kesimpulannya, pengharaman setiap yang memabukkan seperti miras dan narkoba merupakan maslahah mu’tabarah.
Sedangkan maslahah mulghaah,
ialah kemaslahatan yang dianggap batal oleh syari’at. Contohnya ialah
maslahat yang terkandung dalam khamer dan perjudian. Allah U berfirman:
(البقرة: من الآية 219)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (Al Baqarah: 219).
Allah
menjelaskan dalam ayat ini bahwa khamer dan judi itu mengandung
beberapa manfaat bagi manusia, namun demikian hukumnya haram sehingga
manfaatnya dianggap batal oleh syari’at Islam. Inilah yang dinamakan maslahah mulghaah.
Contoh lainnya ialah maslahat mencari kekayaan dengan cara menipu dan
manipulasi. Kekayaan di sini merupakan maslahat, akan tetapi caranya
bertentangan dengan syari’at, sehingga maslahat yang ditimbulkannya
dianggap batal. Demikian pula wanita yang mencari uang lewat melacur
umpamanya.
Adapun maslahah mursalah, maka tak ada dalil dalam syari’at yang secara tegas memperhitungkan maupun membatalkannya. Singkatnya, maslahah mursalah
adalah maslahat-maslahat yang terabaikan –alias tidak ada dalil khusus
yang menetapkan atau menolaknya,– namun ia sesuai dengan tujuan-tujuan
syari’at [5]).
Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, kita tahu bahwa sesungguhnya
syari’at ditegakkan di atas azas mendatangkan manfaat dan menolak
madharat. Karenanya, segala sarana yang bisa mendatangkan
manfaat bagi seorang muslim atau menolak madharat darinya, boleh dipakai
selama cara tersebut tidak bertentangan dengan syari’at[6]). Inilah sebenarnya hakekat mashalih mursalah, dan inilah yang sering dianggap bid’ah hasanah oleh sebagian orang yang tidak faham.
Untuk lebih jelasnya, kami akan menyebutkan beberapa persamaan antara bid’ah dan mashalih mursalah:
No
|
Mashalih Mursalah
|
Bid’ah
|
1
|
Tidak dijumpai di zaman Nabi e
|
Tidak dijumpai di zaman Nabi e
|
2
|
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya
|
Tidak memiliki dalil khusus yang secara tegas berkaitan dengannya
|
Sedangkan perbedaan antara keduanya ialah:
No
|
Maslahah Mursalah
|
Bid’ah
|
1
|
Bisa bertambah dan berkurang atau bahkan ditinggalkan sesuai dengan kebutuhan, karena ia sekedar sarana & bukan tujuan hakiki, alias bukan ibadah yang berdiri sendiri.
|
Bersifat paten dan dipertahankan hingga tidak bertambah atau berkurang, karena ia merupakan tujuan hakiki alias ibadah yang berdiri sendiri dan bukan sarana.
|
2
|
Sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada tapi ada penghalangnya
|
Sebab-sebabnya sudah ada di zaman Nabi dan tidak ada penghalangnya.
|
3
|
Tidak mengandung unsur memberatkan, karena tujuan dasarnya ialah mencari kemaslahatan.
|
Mengandung unsur memberatkan, karena tujuannya dasarnya untuk berlebihan dalam beribadah.
|
4
|
Selaras dengan misi syari’at (maqashidus syari’ah)
|
Tidak selaras dengan misi syari’at, bahkan cenderung merusaknya [7]).
|
Kalau kita merenungi perbedaan-perbedaan di atas, maka kerancuan yang terjadi dalam menentukan mana bid’ah dan mana maslahah mursalah bisa kita hindari. Jika salah satu ciri bid’ah di atas kita temukan dalam suatu masalah, maka ketahuilah bahwa ia termasuk bid’ah, demikian halnya dengan mashalih mursalah.
Kemudian perlu diketahui pula bahwa mashalih mursalah terbagi menjadi tiga: dharuriyyah (bersifat darurat), haajiyyah (diperlukan), dan tahsiniyyah (sekedar tambahan/pelengkap). Contoh yang dharuriyyah ialah pembukuan Al Qur’an dalam satu mushaf, sedangkan contoh yang haajiyyah ialah membuat mihrab di masjid sebagai petunjuk arah kiblat; dan contoh yang tahsiniyyah seperti melakukan adzan awal sebelum adzan subuh[8]). Bertolak dari sini, kita akan menjawab semua yang dianggap bid’ah di atas:
1. Pembukuan Al Qur’an dalam satu Mushaf
Hal ini termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa alasan; pertama:
ia merupakan sarana untuk menjaga keotentikan Al Qur’an dan bukan
tujuan hakiki. Karenanya, sekarang Al Qur’an tidak sekedar berwujud
mushaf, akan tetapi sudah direkam dalam kaset, CD, dan perangkat
elektronik lainnya. Kedua: kendati sebab-sebabnya ada
di zaman Nabi e, tapi ketika itu ada yang menghalangi para sahabat untuk
membukukannya. Karena ketika itu Al Qur’an belum turun seluruhnya, dan
sering terjadi nasekh (penghapusan hukum atau lafazh ayat tertentu). Padahal alasan untuk membukukan sudah ada, dan sarana tulis-menulis pun ada. Ketiga: dengan dibukukan dalam satu mushaf, penjagaan akan keotentikan Al Qur’an jadi lebih mudah.
Lebih
dari itu, penulisan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan sunnah-nya
Khulafa’ur Rasyidin, jadi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah [9]).
2. Pemberian titik dan harakat pada huruf-huruf Al Qur’an.
Sebagaimana pendahulunya, hal ini bukanlah bid’ah namun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah jika dilihat dari tiga sisi. Pertama:
ia merupakan cara/wasilah agar orang tak keliru membaca ayat, tapi
bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya cara
tersebut bisa ditambah/diperlengkap sesuai kebutuhan, seperti
tanda-tanda waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya. Kedua:
sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi e karena para sahabat semuanya
fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka tak perlu pakai titik dan
harakat dalam membaca teks Arab, apalagi sebagian besar mereka masih
mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika banyak
orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tak
mampu membaca huruf Arab yang gundul tanpa titik dan harakat tadi. Maka
diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman membaca. Ketiga: tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an.
3. Membukukan hadits-hadits Nabi.
Ini pun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal. Pertama:
ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi e,
dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan
pun berubah-ubah sesuai kebutuhan[10]). Kedua:
belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi e. Karena
saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di
tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi
fitnah antara Ali t dan Mu’awiyah t, para pendukung dari masing-masing
golongan mulai berani memalsukan hadits atas nama Rasulullah e dengan
tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan
hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur
dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya
para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat
hadits tersebut. Ketiga: tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah e agar mudah dibaca dan diamalkan.
Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at,
jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil
khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras
dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.
Demikian pula dengan contoh keempat dan kelima yang disebutkan oleh Novel di atas. Itu semua termasuk maslahah mursalah yang berkisar antara dharuriyyah atau haajiyyah, dan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah kalau kita terapkan penalaran tadi.
Contoh lain dari maslahah mursalah
yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan mikrofon dan karpet di
masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang, makan dengan
sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang
menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan tahlilan, shalawatan,
peringatan 7 harian, 40 harian, 100 harian, dan bid’ah-bid’ah lainnya.
Sehingga kita jadi serba susah kalau ingin membid’ahkan hal-hal semacam
ini. Untuk itu mari kita bahas permasalahan ini dengan menerapkan
kaidah pembeda antara bid’ah dengan maslahah mursalah.
4. Penggunaan mikrofon di masjid-masjid
Hal ini sama sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa? Pertama:
karena mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan,
ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya
ialah disunnahkannya memilih muadzin yang bersuara lantang. Ini jelas
menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri
sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan
menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali
waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu
apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat. Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i. Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.
5. Berangkat haji dengan pesawat terbang
Hal ini juga sering diidentikkan dengan bid’ah[11]).
Tentunya dengan logika yang dangkal pun kita bisa membantahnya… Memang
apa sangkut-pautnya antara ibadah haji dan kendaraan yang kita naiki?
Adakah seseorang meyakini bahwa dengan naik pesawat hajinya jadi lebih
mabrur? Tentu tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat
jum’at dengan naik mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya.
Sama sekali tak terbetik dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia
tumpangi memberikan nilai plus terhadap ibadahnya. Apa lagi kalau
dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi belum ada sebab-sebab
terwujudnya pesawat terbang. Demikian pula dengan fungsinya yang hanya
sebagai sarana transportasi belaka. Juga dari sifatnya yang mengikuti
perkembangan teknologi. Kalau dahulu kaum muslimin berangkat haji dengan
mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga
kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal
laut, maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang. Entah kendaraan
apa yang akan digunakan seabad kemudian…
Adapun cara makan,
jika dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari
keyakinan tertentu seperti menghindari jenis makanan tertentu yang
dihalalkan dengan niat taqarrub kepada Allah U, padahal tidak ada
anjuran untuk itu; maka ia termasuk bid’ah. Namun jika tidak demikian
maka tidak termasuk bid’ah.
Demikian
pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai
bid’ah selama tidak menyerupai orang kafir, atau dilakukan cara
tertentu yang tidak berdasar kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa
hal tersebut dianjurkan dalam Islam.
[1]) Demikian pula setiap orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, pasti ia mencampuradukkan antara bid’ah dengan mashalih mursalah.
[2]) Mana Dalilnya 1, hal 29.
[3]) Lihat Mudzakkirah fi Ushulil Fiqh hal 201, oleh Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithy, cet Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, Madinah Saudi Arabia.
[4]) Para ulama menyebutkan bahwa misi setiap syari’at (maqashidu asy syari’ah) itu ada lima:
1. Menjaga dien (agama).
2. Menjaga jiwa.
3. Menjaga akal.
4. Menjaga keturunan.
5. Menjaga harta. Ada pula yang menambahnya dengan:
6. Menjaga kehormatan.
(lihat Al Ihkam, 3/274 oleh Al Aamidy, ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al ‘Afify cet. Al Maktabul Islamy; Al Bahrul Muhith (كتبا القياس, تقسيم المناسب) oleh Badruddien Az Zarkasyi; Syarh Al Kaukabul Munier (باب القياس, الرابع من مسالك العلة المناسبة) oleh Al Futuhy.
1. Menjaga dien (agama).
2. Menjaga jiwa.
3. Menjaga akal.
4. Menjaga keturunan.
5. Menjaga harta. Ada pula yang menambahnya dengan:
6. Menjaga kehormatan.
(lihat Al Ihkam, 3/274 oleh Al Aamidy, ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al ‘Afify cet. Al Maktabul Islamy; Al Bahrul Muhith (كتبا القياس, تقسيم المناسب) oleh Badruddien Az Zarkasyi; Syarh Al Kaukabul Munier (باب القياس, الرابع من مسالك العلة المناسبة) oleh Al Futuhy.
[5]) Lihat: Mukhtasar Al I’tisham
hal 101 oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar oleh Sayyid ‘Alawi bin Abdul
Qadir Assaqqaf, cet 1 1418H Daarul Hijrah, Riyadh – Saudi Arabia.
[6]) Lihat: Al Inshaf, 26-28.
[7]) Lihat Qawa’id fi Ma’rifatil Bida’, oleh DR. Muhammad Husein Al Jezany.
[8]) Ibid, hal 29-30.
[9]) Bandingkan dengan bid’ahnya majelis dzikir jama’ah yang sering terlihat di televisi umpamanya. Pertama: hal tersebut adalah tujuan hakiki, bukan sekedar sarana; karenanya ia dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri. Kedua: sebab-sebab untuk mengadakannya sudah ada di zaman Nabi; dan tidak ada yang menghalangi para sahabat untuk melakukannnya. Ketiga: ia mengandung unsur memberatkan karena sifatnya menambah aktivitas ibadah seseorang. Keempat: tidak sesuai dengan misi syari’at dan dalil syar’i, diantaranya firman Allah yang maknanya: “Dan
berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan khusyu’ dan rasa
takut, serta dengan tidak mengeraskan suara, baik di pagi maupun
petang hari…” (Al A’raf: 205).
[10])
Ada yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya
(seperti kitab-kitab musnad); ada pula yang berdasarkan topik-topik
tertentu dengan hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’,
seperti Al Jaami’us Shahih atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim); ada
lagi yang khusus berkenaan dengan masalah fiqih (disebut Sunan, seperti
Sunan Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dll), dan seterusnya. Ini
menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan model tertentu tapi
sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.
[11] Dalam buku Mana Dalilnya hal 31, Novel menggolongkannya dalam bid’ah mubah.
Sumber: http://basweidan.wordpress.com/2011/04/24/ini-dalilnya-4/#more-569
Sumber: http://basweidan.wordpress.com/2011/04/24/ini-dalilnya-4/#more-569
Anda mungkin juga meminati:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar