Bid’ah tidak sama dengan Mashalih Mursalah maupun Istihsan
Banyak kalangan yang
tergelincir dalam bid’ah karena rancu dalam memahami masalah ini.
Mereka lantas berdalil dengan apa-apa yang tergolong mashalih mursalah
untuk membenarkan amalan-amalan bid’ah. Karenanya, kita harus memahami
perbedaan antara bid’ah, mashalih mursalah, dan istihsan secara fiqih;
supaya jelas mana yang bid’ah dan mana yang bukan bid’ah.
Pertama-tama, kita harus tahu bahwa apa yang namanya ‘mashalih mursalah’ haruslah memperhatikan beberapa hal berikut:
A.
Ia harus sesuai dengan tujuan syari’at (yakni menjaga dien, akal,
jiwa, harta, kehormatan, dan keturunan). Maksudnya, ia tidak boleh
bertentangan dengan salah satu ajaran pokok syari’at, maupun dalil
syar’i.
B.
Menentukan ada tidaknya maslahat -alias menggolongkan sesuatu ke dalam
mashalih mursalah atau bukan- hanya bisa dilakukan pada hal-hal yang
memang bisa dinilai secara logis. Artinya, bila kita renungkan dengan
akal, akal bisa menerimanya.
Dari sini, tidak ada istilah mashalih mursalah dalam hal-hal yang sifatnya ta’abbudiyah
(alias murni ibadah) atau yang berlaku seperti ibadah. Alasannya
karena makna suatu ibadah tidak bisa difahami secara mendetail oleh
akal. Contohnya wudhu’, tayammum, shalat, puasa, haji dan ibadah-ibadah
lainnya. Cobalah Anda perhatikan tata cara bersuci yang berbagai macam
(wudhu’, tayammum, mandi junub, dll). Masing-masing merupakan ibadah
tersendiri dan memiliki cara yang zhahirnya ‘tidak masuk akal’. Kencing
dan kotoran (tahi) adalah benda najis yang keluar dari dubur/kemaluan,
dan keluarnya kedua benda tadi mengharuskan seseorang untuk
membersihkan anggota-anggota wudhu’ (tangan, wajah, kepala dan kaki),
selain membersihkan kemaluan/duburnya. Ia diwajibkan membersihkan
anggota-anggota wudhu’ tersebut meski semuanya bersih dan tidak terkena
kotoran. Namun sebaliknya, ia tidak wajib membersihkan keempat anggota
wudhu’ yang kotor atau berdebu, bila ia tidak berhadats (keluar sesuatu
dari lubang kemaluan/dubur).
Kemudian,
bukankah tanah/debu itu bersifat mengotori? Namun mengapa ia justru
menjadi pengganti air yang bersifat membersihkan dalam tayammum?
Demikian
pula waktu-waktu shalat yang lima… kita tidak bisa menemukan kaitan
yang jelas dan logis, mengapa shalat harus dilakukan di waktu-waktu
tersebut dengan jumlah roka’at tertentu?
Begitu pula dalam ibadah puasa dan haji. Banyak hal yang tidak bisa kita mengerti hikmah/maksudnya.
Demikianlah
sifat kebanyakan ibadah yang tidak bisa dimengerti maksudnya, meskipun
ada juga sejumlah kecil ibadah yang maksudnya jelas dan dapat difahami
melalui syari’at. Ini harus kita renungkan.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali radhiyallaahu ‘anhu: “Andaikan agama harus berdasarkan logika, maka bagian bawah khuff[1] lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya”.
Karenanya, Imam
Malik berprinsip untuk tidak memperhatikan maksud apa yang tersembunyi
di balik ibadah apa pun, meskipun bisa ditangkap dengan jelas. Sikap
ini berangkat dari pemahaman beliau tentang keinginan Allah agar
hamba-Nya pasrah saja dalam melaksanakan ibadah sebagaimana
diperintahkan. Dan ini tidak sama dengan hal-hal yang sifatnya
adat/kebiasaan; yang memang berjalan mengikuti makna-makna yang logis
dan nyata; dan dalam hal ini, madzhab Imam Malik mengembalikan masalah
adat kepada mashalih mursalah dan istihsan.
C.
Mashalih mursalah bertujuan untuk menjaga apa yang dianggap sangat
penting. Artinya, ia termasuk hal-hal yang bersifat sarana, yang mutlak
diperlukan dalam rangka menunaikan kewajiban. Atau bertujuan
menghindari dampak negatif yang pasti terjadi. Alias bersifat
‘meringankan’.
Bila hal ini telah
kita fahami, kita akan tahu bahwa bid’ah bertentangan dengan mashalih
mursalah. Karena topik dari mashalih mursalah ialah apa-apa yang bisa
difahami maksudnya secara rinci. Seperti hal-hal yang bersifat
kebiasaan/adat, yang memang menjadi medan penerapan-nya. Adapun hal-hal
yang sifatnya ibadah, maka hukumnya tidak sama dengan adat. Akal
memang bisa memahami ibadah secara umum, namun tidak bisa memahaminya
sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah[2]. Karenanya, tidak boleh membikin ibadah baru yang tidak ada dasarnya dalam syari’at.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan: “Amalan manusia terbagi menjadi dua: Ibadah yang
diyakini sebagai bagian dari agama dan bermanfaat bagi akhirat, atau
bagi dunia dan akhirat. Dan adat (kebiasaan) yang bermanfaat dalam
kehidupan mereka. Hukum asal dalam ibadah adalah tidak disyari’atkan,
kecuali bila Allah mensyari’atkannya. Sedangkan hukum asal dalam adat
adalah tidak dilarang, kecuali yang dilarang oleh Allah”.
Kita tegaskan
kembali, bahwa mashalih mursalah tujuannya ialah demi menjaga hal-hal
yang sifatnya darurat, alias sebagai wasilah (sarana), bukan sebagai
tujuan. Atau sebagai peringan dampak negatif yang pasti terjadi, bukan
justru memberatkan.
Karenanya, tidak
mungkin ada bid’ah muncul dari arah mashalih mursalah, mengingat bid’ah
tadi dianggap sebagai ibadah, alias bukan sekedar wasilah (sarana).
Bid’ah merupakan tujuan dari pelakunya, dan bid’ah justru membebani.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip mashalih mursalah, sehingga
pelaku bid’ah pada dasarnya tidak membutuhkan mashalih mursalah
tersebut.
Dari semua paparan
tadi, kita jadi tahu bahwa Allah sengaja tidak menyerahkan masalah
ibadah kepada pendapat hamba-Nya. Sehingga yang tersisa hanyalah
mengikuti aturan yang sudah baku dalam ibadah. Setiap tambahan yang
diberikan kepada ibadah berarti bid’ah, sebagaimana menguranginya juga
bid’ah.
Kedua: Masalah
istihsan (menganggap baik) juga menjadi syubhat bagi orang yg hendak
membikin bid’ah. Ia mungkin berkata: “Kalaulah aku menganggap hal ini
dan itu sebagai kebaikan, toh si Fulan yang tergolong ulama juga
menganggapnya baik”
Berangkat dari sini,
harus dijelaskan apakah pengertian istihsan itu menurut ulama yang
menganggapnya sebagai ‘hukum’, agar tidak ada orang jahil yang
terkecoh, dan tidak dijadikan dalil oleh pelaku bid’ah.
Kita katakan: Ada
dua imam yang menganggap istihsan sebagai dalil yang mu’tabar, yaitu
Imam Malik dan Abu Hanifah, rahimahumallaah. Menurut yang telah
dibakukan dari madzhab mereka, istihsan merujuk kepada pengamalan salah
satu dari dalil yang paling kuat, sebagaimana yang ditegaskan oleh
Ibnul Arabi Al Maliki. Ini pula yang bisa ditangkap dari perkataan Al
Karkhi (salah seorang ulama Hanafi), yang berbunyi: “Istihsan adalah
tidak menghukumi suatu masalah dengan hukum yang sama dengan
masalah-masalah semisal, namun beralih ke hukum lainnya karena adanya
alasan yang lebih kuat”. Sedangkan definisi istihsan menurut Ibnul
Arabi adalah: “Mengutamakan untuk tidak mengikuti konsekuensi suatu
dalil, dengan cara mengecualikan atau mencari keringanan, karena adanya
hal-hal yang bertentangan dengan konsekuensi dalil tersebut”.
Ibnul
Arabi lantas membagi istihsan dalam beberapa bagian, di antaranya:
Tidak mengamalkan dalil karena kebiasaan; tidak mengamalkannya karena
suatu kemaslahatan; tidak mengamalkannya dalam hal-hal yang sepele agar
tidak memberatkan, sembari menyebutkan contoh-contohnya.
Sedangkan
Ibnu Rusyd Al Maliki mendefinisikannya sebagai: “Tidak menggunakan
qiyas dalam suatu kasus, karena adanya makna tertentu dalam kasus
tersebut yang mempengaruhi hukumnya”.
Pengertian
istihsan menurut definisi-definisi tadi, tetap tidak keluar dari
cakupan dalil-dalil. Dan dalil-dalil itu saling membatasi dan
mengkhususkan satu sama lain.
Jadi, istihsan tidak
bisa menjadi hujjah (argumentasi) bagi pelaku bid’ah, dan tidak bisa
menjadi pegangan bagi orang yang hendak melakukannya tanpa ada
dalilnya.
Adapun
mereka yang berpegangan dengan istihsan dalam pengertian: “Apa yang
dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya, dan cenderung
kepadanya berdasarkan pendapatnya”, atau dalam pengertian: “Suatu dalil
yang melintas di benak mujtahid, akan tetapi ia tidak bisa
mengungkapkannya dan tidak sanggup menunjukkannya”; maka kita tidak mengenal adanya ibadah
yang bisa dilakukan berdasarkan pengertian tersebut; baik dengan
alasan darurat, dengan alasan pengamatan, maupun karena dalil yang
bersifat qothi’ atau zhanni sekalipun.
Istihsan dalam pengertian inilah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i rahimahullah ketika mengatakan: (مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ), “Siapa yang ber-istihsan, berarti telah membikin syari’at (baru)”.
Sebagaimana
diketahui bersama, para sahabat radhiyallaahu ‘anhum hanya menggunakan
pengamatan (analisa) dalam beberapa kejadian dan peristiwa yang tidak
ada nash (dalil)-nya. Ketika itu mereka ber-istimbath (menyimpulkan),
dan mengembalikan hukum peristiwa tsb kepada dasar-dasar agama yang
mereka fahami. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan: “Aku
memutuskan begini karena akalku menganggapnya baik, atau naluriku
cenderung kepadanya”.
Ya Allah, kami
berlindung kepada-Mu dari setiap bid’ah dan pelakunya. Engkau-lah
satu-satunya yang dapat mengabulkan permintaan ini… dan kami memohon
kepada-Mu agar selalu berada di atas Sunnah dan mendapat ‘afiyah…
Amien.
Disadur dari artikel
berjudul: “Al Bid’ah wa Aatsaaruhas sayyi’ah”, oleh DR. Abdul Karim
Murad, Dekan Fakultas Syari’ah di Univ. Islam Madinah.
Anda mungkin juga meminati:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar