Mengurai Kebid'ahan Al Ma'tsurat Hasan Al Banna
Siapa yang tidak kenal kitab
al-Ma’tsurat Hasan al-Banna? Bahkan wirid-wirid yang terkandung di
dalamnya dijadikan sebagai amalan harian wajib bagi para pengikut
kelompok Ikhwanul-Muslimin dan kebanyakan para aktivis pergerakan Islam
di Indonesia. Perlu dicermati apakah isi kitab ini adalah shahih
sehingga boleh bagi kita untuk mengamalkannya? Mari kita mengupasnya
Siapakah Hasan Al Banna -Penulis Kitab Al Ma'tsurat-?
Nama aslinya adalah Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al-Banna,
pendiri jama’ah Ikhwanul-Muslimin. Ia dilahirkan pada tahun 1906 M di
Mahmudiyyah Buhairah, Mesir, dan meninggal di Kairo, Mesir tanggal 12
Februari 1949 M.
Hasan al-Banna adalah pengikut tarikat shufiyyah Hashshofiyyah
sejak usia muda. Dia mengenal tarikat Hashshofiyyah semenjak duduk di
Madrasah Mu’allimin Ula di Damanhur. Dia kemudian berbai’at di hadapan
mursyid Tarikat Hashshofiyyah, Syaikh Abdul-Wahhab al-Hashshofi, dan
kemudian aktif dalam kepengurusan Jam’iyyah Hashshofiyyah al-Khoiriyyah.
Semasa hidupnya, Hasan al-Banna selalu
mengamalkan ritual-ritual tarikat Hashshofiyyah tersebut seperti
Wadhifah (wirid) Rozuqiyyah tiap pagi dan petang. Nampaknya Wadhifah
Rozuqiyyah ini adalah asal dari Wadhifah Kubra (nama lain dari
al-Ma’tsurat sebagaimana tertera dalam judul cetakannya).
Hasan al-Banna tidak hanya mengamalkan Wadhifah Rozuqiyyah saja, bahkan
dia juga mengikuti ritual Hashshofiyyah di kuburan-kuburan dengan cara
menghadap kepada sebuah kuburan yang terbuka dengan tujuan untuk
mengingat kematian, kemudian ritual Hadhrah setelah sholat Jum’at, dan ritual Maulid Nabi. Abul-Hasan an-Nadwi berkata: “Hasan al-Banna selalu mengamalkan wirid-wirid dan ritual-ritual ini hingga akhir hayatnya.” (Lihat Tafsir Siyasi lil-Islam halaman 83).
Adapun dalam segi aqidahnya, Hasan al-Banna adalah Asy’ari Mufawwidhah sebagaimana nampak dalam kitabnya, Aqa’id (Lihat Mudzakkirat Da’wah wa Da’iyyah karya Hasan Al Banna hal 33, Nazharat fi Manhaj Ikhwanul-Muslimin dan Thoriqoh Hasan al-Hanna wa Ashumul-Waritsin hal 154)
Wirid-Wirid “al-Ma’tsurat” Dhaif dan Maudhu
Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan
do’a termasuk diantara ibadah-ibadah yang paling utama.Sedangkan ibadah
wajib dilandaskan atas dalil yang shahih dan tidak boleh menetapkan
suatu ibadah tanpa dalil atau dengan dalil yang dha’if (lemah). Maka
tidak boleh seorang Muslim mengamalkan suatu dzikir tertentu kecuali
setelah meyakini bahwa dzikir tersebut dinukil dengan dalil yang shahih
dari al-Qur’an dan as-Sunnah (Tamamul Minah Fii Ta’liq Fiqh Sunnah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, hal: 34-38).
[1] Wirid Pertama
“Ashbahnaa wa asbaha al-mulku
lillahi laa syariikalahu wa alhamdu kulluhu lillahi laa syarikalahu laa
ilaha illa allahu wa ilaihi an-nusyuur."
“Sesungguhnya kami terjaga di pagi
hari dengan (kesadaran bahwa)/kerajaan (bumi dan segala isinya) ini
seluruhnya adalah milik Allah. Dan segala puji bagi Allah, tiada sekutu
bagi-Nya, tiada Rabb selain Dia dan kepada-Nya kami akan dibangkitkan.”
Wirid ini datang dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul-Mufrod 1/211
nomor 604 dan, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa Lailah halaman 74 dari
jalan Abu Awanah dari Umar bin Abi Salamah dari bapaknya dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ’anhu.
Riwayat ini dikatakan oleh Syaikh
al-Albani rahimahullah: “Dha’if dengan lafazh ini, di dalam sanadnya
terdapat Umar bin Abi Salamah az-Zuhri al-Qodhi, fihi dha’fun (padanya
terdapat kelemahan).” (Dho’if Adabul-Mufrad halaman 60).
[2] Wirid Kedua
“Allahumma ma ashbaha bii minni’mati faminka wahdaka laa syariika laka falaka alhamdu walaka asy-syukru.”
“Ya Allah nikmat apapun yang
kuperoleh dan diperoleh seseorang di antara makhluk-Mu adalah dari-Mu,
yang Tunggal dan tak bersekutu, maka bagi-Mu segala puji dan syukur.”
Wirid ini terdapat dalam hadits Abdullah bin Ghonam al-Bayadhi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/318, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 3/143, Nasa’i dalam Sunan Kubro 6/5, Abu Bakar asy-Syaibani dalam Ahad wal-Matsani 4/183,
dan Baihaqi dalam Syu’abul-Iman 4/89 dari jalan Rabi’ah bin Abi
Abdirrahman dari Abdullah bin Anbasah dari Abdullah bin Ghonam
al-Bayadhi. Abdullah bin Anbasah dikatakan oleh adz-Dzahabi
rahimahullah: “Hampir-hampir tidak dikenal.”
Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij Kalimu Thoyyib halaman 73 dan Dho’if Jami’ Shaghir : 5730.
[3] Wirid Ketiga
“Yaa rabbi laka alhamdu kamaa yanbagii lijalaali wajhika wali’adhiimi sulthaanika.”
Wirid ini terdapat dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ’anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1249, Thabrani dalam Mu’jam Ausath 9/101 dan Mu’jam Kabir 12/343, dan Baihaqi dalam Syu’abul-Iman 4/94 dari jalan Shadaqah bin Basyir dari Qudamah bin Ibrahim al-Jumahi dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ’anhuma.
Al-Bushiri rahimahullah berkata: “Sanad ini, terdapat kritikan padanya.” (Mishbahu Zujajah
4/130). Shadaqah bin Basyir dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah
dalam Taqrib: “Maqbul (yaitu diterima haditsnya jika ada penguatnya,
kalau tidak ada penguatnya maka haditsnya lemah).” Qudamah bin Ibrahim
dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Taqrib: “Maqbul.”
Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibnu Majah halaman 308 dan Dha’if Jami’ Shoghir : 1877.
[4] Wirid Keempat
“Allahumma sholli ‘alaa Muhammadin
‘abdika wanabiyyika warosuulika an-nabiyyi al-ummii wa ‘alaa aalihi
washohbihi wasallim tatsliimaa ‘adada ma ahaatho bihi ‘ilmuka wakhoththo
bihi qolamuka wa ahshoohu kitaabuka…”
“Ya Allah limpahkanlah shalawat
atas junjungan kami Muhammad hamba-Mu, nabi-Mu, dan rasul-Mu, nabi yang
ummi, dan atas keluarganya; dan limpahkanlah salam sebanyak yang diliput
oleh ilmu-Mu dan dituliskan oleh pena-Mu, dan dirangkum oleh kitab-Mu.”
Shalawat ini adalah shalawat yang
bid’ah yang tidak ada asalnya, tidak ada di dalam kitab-kitab hadits
yang mu’tabar.Wirid-wirid diatas adalah yang lemah atau tidak ada
asalnya.
Di samping itu, di dalam kitab
al-Ma’tsurat ini banyak wirid-wirid lain yang shahih lafazhnya tetapi
bid’ah dari segi kaifiyyat (tatacara)nya karena memberikan bilangan
bacaan-bacaannya yang tidak pernah ada tuntunannya dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Do’a “Rabithah” yang Bid'ah
Pada akhir kitab al-Ma’tsurat ini tercantum Do’a Rabithah yang berbunyi:
“Allahumma innaka ta’lamu anna
hadihi al-quluuba qodijtama’at ‘alaa mahabbatika waltaqot ‘alaa thoo
‘atika watawahhadat ‘alaa da’watika wa ta’aahadat ‘alaa nushroti
syarii’atika fawassiq allahumma roobithhaa wa adim wuddahaa.”
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan
mahabbah (kecintaan) hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu,
bersatu dalam rangka menyeru di (jalan)-Mu, dan berjanji setia untuk
membela syari’at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya ya Allah,
abadikan kasih sayangnya…”
Syaikh Ihsan bin Ayisy al-Utaibi
rahimahullah berkata: “Di akhir al-Ma’tsurat terdapat wirid rabithah,
ini adalah bid’ah shufiyyah yang diambil oleh Hasan al-Banna dari
tarikatnya, Hashshofiyyah.” (Kitab TarbiyatuI-Aulad fil-Islam Ii Abdullah Ulwan fi Mizani Naqd Ilmi halaman 126).
Hukum Wirid-Wirid Bid’ah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do’a
termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling afdhal (utama), dan ibadah
dilandaskan atas tauqif dan ittiba’, bukan atas hawa nafsu dan ibtida’,
Maka do’a-do’a dan dzikir-dzikir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah yang paling utama untuk diamalkan oleh seorang yang hendak
berdzikir dan berdo’a. Orang yang mengamalkan do’a-do’a dan
dzikir-dzikir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
berada di jalan yang aman dan selamat. Faedah dari hasil yang didapatkan
dari mengamalkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa sallam begitu banyak sehingga tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata, Adapun dzikir-dzikir dari selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kadang-kadang diharamkan, kadang-kadang makruh, dan
kadang-kadang didalamnya terdapat kesyirikan yang kebanyakan orang tidak
mengetahuinya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun membuat bagi
manusia dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan, serta
menjadikan dzikir-dzikir tersebut sebagai ibadah rutin seperti shalat
lima waktu, bahkan ini termasuk agama bid’ah yang tidak diizinkan oleh
Allah Azza wa Jalla. Adapun menjadikan wirid yang tidak syar’i maka ini
adalah hal yang terlarang, bersamaan dengan ini dzikir-dzikir dan
wirid-wirid yang syar’i sudah memenuhi puncak dan akhir dari tujuan yang
mulia, tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir dan
wirid-wirid yang syar’i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang
bid’ah melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau
melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa 22/510-511).
Beliau rahimahullah juga berkata:
“Seseorang yang berpaling dari do’a yang syar’i kepada yang lainnya
-walaupun itu adalah hizb-hizb- (wirid-wirid) sebagian masyayikh (para
syaikh)- maka yang paling bagus baginya adalah hendaknya tidak
meluputkan bagi dirinya do’a yang lebih afdhal dan yang lebih sempurna,
yaitu do’a-do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia yang
lebih afdhal dan lebih sempurna dari do’a-do’a yang lainnya dengan
kesepakatan kaum Muslimin, meskipun do’a-do’a yang lain tersebut
diucapkan oleh sebagian masyayikh, apalagi jika do’a-do’a tersebut di
dalamnya terdapat kesalahan atau dosa atau yang lainnya? Diantara
orang-orang yang paling tercela adalah orang yang menjadikan hizb
(wirid) yang tidak ma’tsur (dinukil) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam -walaupun itu adalah hizb-hizb sebagian masyayikh- dan
meninggalkan hizb-hizb Nabawiyyah yang diucapkan oleh Penghulu Bani
Adam, Imam para makhluk, dan hujjah Allah atas para hamba-Nya.” (Majmu’ Fatawa 22/525).
------------------------------------------------------
Pertanyaan:
Apa kita boleh membaca Al-Ma`tsurot?
Jawaban:
Al-Ma`tsurat adalah kitab kecil yang
berisi dzikir-dzikir dan do’a-do’a. Kitab ini ditulis oleh Hasan
Al-Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin yang beraqidahkan shufiyyah.
Di dalam kitab tersebut tidak dijelaskan derajat haditsnya, apakah
shahih, hasan atau dha’if, sehingga kita tidak merasa aman dan tenang
dalam mengamalkannya, walaupun memang di dalamnya disebutkan sebagian
hadits-hadits yang shahih.
Akan tetapi, kita mempunyai kaidah
dalam mengambil ilmu yaitu kita mengambil ilmu dari ahlus sunnah baik
melalui lisannya ataupun kitab-kitab yang telah mereka tulis. Hendaklah
kita hanya mengambil ilmu dari ahlus sunnah.
Adapun dalam mengamalkan hadits, maka harus diperhatikan masalah keshahihannya. Yang shahih/hasan kita amalkan dan yang dha’if kita tinggalkan. Karena kalau kita mengatakan bahwa hadits ini shahih padahal dha’if berarti kita berdusta atas nama Rasulullah, sedangkan Rasulullah sendiri menyatakan:
“Berdusta atas namaku tidak seperti
berdusta atas nama orang lain dan barangsiapa yang secara sengaja
berdusta atas namaku maka bersiap-siaplah tempat duduknya di neraka.” (Hadits Mutawaatir, lihat Muqaddimah Shahiih Muslim)
Banyak kitab yang ditulis oleh para ulama yang jauh lebih baik daripada kitab Al-Ma`tsurot, seperti Hisnul Muslim, karya Asy-Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthaniy, Al-Kalimuth Thayyib, karya Ibnu Taimiyyah dengan tahqiq Asy-Syaikh Al-Albani, Kalimah Thayyibah, karya Ibnul Qayyim dengan tahqiq Asy-Syaikh Salim Al-Hilali, dan kitab-kitab lainnya yang telah ditahqiq oleh para ulama.
Semoga kita selalu ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Wallaahu A’lam.
Sumber : http://fdawj.atspace.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar