(oleh : al-Ustadz Ruwaifi’ bin Suimi)
Minimnya
ilmu, tipisnya iman, dan kuatnya dorongan hawa nafsu kerap kali menutup pintu
hati seseorang untuk memahami hakikat kehidupan dunia yang sedang dijalaninya.
Harta yang merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wata’ala tak jarang
menjadi ujian dan sebab jauhnya seseorang dari agama Islam yang suci. Padahal,
agama Islam adalah bekal utama bagi seseorang dalam hidup ini. Dengan Islam,
seseorang akan berbahagia dan terbimbing dalam menghadapi pahit getirnya
kehidupan. Sebaliknya, tanpa Islam, hidup seseorang tiada berarti dan di
akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
Anehnya,
di antara manusia ada yang menggadaikan Islam -agama dan bekal utamanya- demi
kesenangan dunia yang sesaat. Betapa meruginya orang itu. Dia akan menghadap
Allah Subhanahu wata’ala di hari kiamat dengan tangan hampa dan
terhalang dari kebahagiaan yang hakiki.
Hakikat Kehidupan Dunia
Tak
bisa dimungkiri bahwa kehidupan dunia dikitari oleh keindahan dan kenikmatan
(syahwat). Semuanya dijadikan indah pada pandangan manusia, sehingga setiap
orang mempunyai kecondongan kepadanya sesuai dengan kadar syahwat yang
menguasainya.
Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan sesungguhnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala
lah tempat kembali yang baik (al-Jannah). Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada segala apa yang diingini
(syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(al-Jannah).” (Ali Imran: 14)
Namun,
betapa pun menyenangkan kehidupan dunia itu, sungguh ia adalah kehidupan yang
fana. Semuanya bersifat sementara. Tiada makhluk yang hidup padanya melainkan
akan meninggalkannya. Tiada pula harta yang ditimbun melainkan akan berpisah
dengan pemiliknya. Keindahan dunia yang memesona dan kenikmatannya yang
menyenangkan itu pasti sirna di kala Allah Subhanahu wata’ala
menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي
الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ
الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah diantara kalian serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur, dan diakhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ
الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ
الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ
عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا
كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya
perumpamaan kehidupan duniaw itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan
dari langit, lalu tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan suburnya karena air itu,
diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi
itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan
pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (dapat memetik
hasilnya), tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami diwaktu malam atau siang,
lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit,
seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan
tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (Yunus: 24)
Sudah
sepatutnya setiap pribadi muslim memahami hakikat kehidupan dunia, agar tidak
salah jalan dalam menempuhnya. Lebih-lebih, dunia bukanlah akhir seorang hamba
dalam menuju Rabb-nya. Masih ada dua fase kehidupan berikutnya: kehidupan di
alam kubur (barzakh) dan kehidupan di alam akhirat.
Di
alam kubur (barzakh), setiap orang akan mendapatkan nikmat kubur atau azab
kubur, sesuai dengan perhitungan amalnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala.
Setelah itu, di alam akhirat, masing-masing akan menghadap Allah Subhanahu
wata’ala seorang diri, mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang
dikerjakannya selama hidup di dunia, dan akan mendapatkan balasan yang setimpal
(dari Allah Subhanahu wata’ala) atas segala apa yang diperbuatnya itu.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ
كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Wahai
manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berbuat) dengan penuh kesungguhan
menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatan yang dilakukan).” (al-Insyiqaq: 6)
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
خَيْرًا يَرَهُ{}وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa
mengerjakan kebaikan seberat zarrah(semut kecil) pun, niscaya dia akan melihat
balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejelekan seberat zarrah (semut
kecil) pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (az-Zalzalah: 7-8)
Tiada Hidup Tanpa Agama Islam
Demikianlah
kehidupan dunia dengan segala liku-likunya. Kehidupan yang bersifat sementara,
namun sangat menentukan bagi dua kehidupan berikutnya; di alam kubur (barzah)
dan di alam akhirat. Sebab, segala perhitungan yang terjadi pada dua kehidupan
tersebut sangat bergantung pada amal dan bekal yang telah dipersiapkan oleh
setiap hamba pada kehidupan dunianya.
Maka
dari itu, tiada bekal yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki pada
dua kehidupan tersebut selain agama Islam, yang terangkum dalam takwa, iman,
dan amal saleh. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ
الزَّادِ التَّقْوَىٰ
“Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa….” (al- Baqarah: 197)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ
أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman,
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Betapa
pentingnya peran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam dalam kehidupan ini. Agama satu-satunya yang sempurna dan diridhai
oleh Allah Subhanahu wata’ala. Betapa bahagianya orang yang dikaruniai
keteguhan (istiqamah) di atas agama Islam yang mulia; dengan berupaya
memahaminya sesuai dengan pemahaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
dan para sahabatnya, serta menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya.
Sebaliknya,
betapa celakanya orang yang mencari selain agama Islam sebagai bekal hidupnya.
Segala upayanya tidak diterima di sisi Allah Subhanahu wata’ala, dan di
akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ
دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran:
85)
Oleh
sebab itu, tidaklah mengherankan kita apabila Allah Subhanahu wata’ala
mengingatkan orang-orang yang beriman agar berpegang teguh dengan agama yang
mulia ini dan meninggal dunia sebagai pemeluknya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar
takwa dan janganlah sekali-kali meninggal dunia melainkan sebagai pemeluk agama
Islam.” (Ali Imran: 102)
Mengapa Harus Menggadaikan Agama?
Kehidupan
dunia adalah medan tempaan dan ujian (darul ibtila’) bagi setiap hamba
yang menjalaninya. Masing-masing akan mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu
wata’ala sesuai dengan kadar keimanannya. Terkadang dalam bentuk keburukan
dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan (kenikmatan). Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah
kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)
Ujian
dalam bentuk keburukan bermacam-macam. Adakalanya berupa ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta (kemiskinan), kekurangan jiwa (wafatnya orang-orang yang
dicintai), kekurangan buah-buahan (bahan makanan), dan yang semisalnya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ
الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sungguh
akan Kami berikan ujian kepada kalian, dalam bentuk sedikit dari ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar
gembira kepadaorang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 155)
Ujian
dalam bentuk kebaikan juga bermacam-macam. Adakalanya berupa kenikmatan, harta,
anak-anak, kedudukan, dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ
وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Ketahuilah,
sesungguhnya harta dan anak-anak kalian itu (sebagai) ujian, dan di sisi
Allahlah pahala yang besar.” (al-Anfal: 28)
Beragam
ujian itu diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba
tiada lain agar tampak jelas di antara para hamba tersebut siapa yang jujur
dalam keimanannya dansiapa pula yang berdusta, siapa yang selalu berkeluh kesah
dan siapa pula yang bersabar. Demikianlah, Allah Subhanahu wata’ala Dzat
Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
الم, {}أَحَسِبَ النَّاسُ أَن
يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ{} وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif
Laam Miim, apakah manusia mengira untuk dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’
sedangkan mereka tidak diberi ujian? Sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
(al-Ankabut: 1-3)
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu
wata’ala mengabarkan bahwa Dia akan memberikan beragam ujian kepada para
hamba-Nya, agar tampak jelas (di antara para hamba tersebut) siapa yang jujur
(dalam keimanannya) dan siapa pula yang berdusta, siapa yang selalu berkeluh
kesah, dan siapa pula yang bersabar.
Demikianlah
sunnatullah. Sebab, manakala keadaan suka semata yang selalu mengiringi
orang yang beriman tanpa adanya tempaan dan ujian, maka akan muncul
ketidakjelasan (militansi/semangat keislamannya, -pen.), dan ini tentu
saja bukanlah suatu hal yang positif. Sementara itu, hikmah Allah Subhanahu
wata’ala menghendaki adanya sinyal pembeda antara orang-orang yang baik
(ahlul khair) dan orang-orang yang jahat (ahlusy syar). Itulah fungsi
tempaan dan ujian, bukan untuk memupus keimanan orang-orang yang beriman, bukan
pula untuk menjadikan mereka lari dari Islam. Sesungguhnya Allah Subhanahu
wata’ala tidak akan menyia-nyiakan keimanan orang-orang yang
beriman.”(Taisirul Karimirrahman, hlm. 58)
Berbahagialah
orang-orang yang diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala
saat ujian tiba. Manakala ujian keburukan yang tiba, dia hadapi dengan penuh
kesabaran. Manakala ujian kebaikan, dihadapinya dengan penuh syukur kepada
Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun
orang-orang yang tidak diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu
wata’ala saat ujian tiba, agama menjadi taruhannya. Iman dan Islam yang
merupakan modal utama dalam hidup ini digadaikannya demi kesenangan sesaat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا
كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ
كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ
مِنَ الدُّنْيَا
“Bergegaslah
kalian untuk beramal, (karena akan datang) ujian-ujian ibarat potongan-potongan
malam yang gelap. (Disebabkan ujian tersebut) di pagi hari seseorang dalam
keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir, di sore hari dalam
keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya
dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no. 118 dari
sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits
di atas mencakup seluruh pribadi umat ini, baik yang miskin maupun yang kaya.
Yang miskin menjual agamanya dan menggadaikan imannya, karena tak sabar akan
ujian kekurangan (kemiskinan) yang dideritanya. Cukup banyak contoh kasusnya di
masyarakat kita. Terkadang dengan iming-iming jabatan, terkadang dengan
pemberian modal usaha atau pinjaman lunak, terkadang dengan pemberian rumah
atau tempat tinggal, terkadang dengan pembagian sembako, bahkan terkadang hanya
dengan beberapa bungkus mi instan.
Adapun
yang kaya, dia menjual agamanya dan menggadaikan imannya karena kesombongan dan
hawa nafsunya. Ia tidak mau mensyukuri karunia Allah Subhanahu wata’ala
yang diberikan kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa semua itu berkat kepandaian
dan jerih payahnya semata. Ingatkah Anda tentang kisah Qarun, seorang hartawan
dari Bani Israil (anak paman Nabi Musa ‘alaihis salam) yang menggadaikan
agama dan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya? Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ
مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا
إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ
قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْفَرِحِينَ
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ
عِلْمٍ عِندِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ
مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ
ۖ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ
لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِّمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا
يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ
“Sesungguhnya Qarun termasuk dari
kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah
karuniakan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat
dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata
kepadanya, ‘Janganlah engkau terlalu bangga diri (sombong), sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri (sombong). Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’ Qarun pun menjawab, ‘Sesungguhnya
aku dikaruniai harta tersebut dikarenakan ilmu (kepandaian)-ku.’ Tidakkah Qarun
tahu, sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelum dia yang jauh lebih
kuat darinya dan lebih banyak dalam mengumpulkan harta? Dan tak perlu
dipertanyakan lagi orang-orang jahat itu tentang dosa-dosa mereka. Maka (suatu
hari) tampillah Qarun di tengah-tengah kaumnya dengan segala kemegahannya, lalu
berkatalah orang-orang yang tertipu oleh kehidupan dunia‘ ,Duhai kiranya kami dikaruniai
(harta) seperti Qarun, sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.’
Adapun orang-orang yang berilmu, mereka mengatakan, ‘Celakalah kalian,
sesungguhnya karunia Allah Subhanahu wata’ala itu lebih baik bagi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, namun tidaklah pahala itu diperoleh
kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (al-Qashash: 76-80)
Al-Imam
al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala
menerangkan (dalam ayat-ayat tersebut, -pen.) bahwa Qarun telah diberi
perbendaharaan harta yang amat banyak hingga ia lupa diri, dan semuayang
dimilikinya itu ternyata tidak mampu menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu
wata’ala, sebagaimana yang telah dialami (sebelumnya, -pen.) oleh
Fir’aun.” (Tafsir al-Qurthubi)
Al-Imam
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ke-77 dari surat
al-Qashash tersebut, mengatakan, “Pergunakanlah apa yang telah dikaruniakan
oleh Allah Subhanahu wata’ala kepadamu, yaitu harta yang banyak dan
nikmat yang tak terhingga itu, untuk ketaatan kepada Rabb-mu dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya dengan beragam amal saleh, yang diharapkan
dengannya mendapatkan pahala, baik di dunia maupun di akhirat. (Janganlah kamu
melupakan bagianmu dari [kenikmatan] duniawi, -pen.) yang Allah Subhanahu
wata’ala halalkan bagimu, yaitu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
dan menikahi wanita. Menjadi keharusan bagimu untuk menunaikan hak Rabb-mu, hak
dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang mengunjungimu. Tunaikanlah haknya masing-masing. Berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala telah berbuat baik kepadamu. Janganlah
kamu berambisi dengan kekayaan yang ada untuk berbuat kerusakan di (muka) bumi
dan berbuat kejahatan kepada sesama. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Dari
paparan di atas, jelaslah bagi kita bahwa siapa pun yang menjalani kehidupan
dunia ini pasti akan menghadapi berbagai ujian. Saat itulah seseorang akan
mengalami pergolakan dan perseteruan dalam jiwanya. Hasilnya akhirnya, apakah
bisa istiqamah di atas iman dan Islam, ataukah ia justru menggadaikannya demi
kesenangan sesaat.
Maka
dari itu, ketika ujian itu tiba, tiada kata yang indah yang patut diucapkan
selain dzikrullah (berzikir dengan mengingat Allah Subhanahu wata’ala),
karena dengan zikrullah hati akan menjadi tenteram sehingga dimudahkan untuk
memilih jalan kebenaran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ
قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah (zikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.” (ar-Ra’d: 28)
Demikian
pula, tiada perbuatan yang paling berguna bagi keselamatan diri ini selain
kesungguhan dalam beramal saleh (termasuk menuntut ilmu
agama), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
di atas.
Lebih
dari itu, peran doa sangat penting dalam membantu keistiqamahan seseorang di atas
iman dan Islam, kokoh di atas agama Allah Subhanahu wata’ala dan tak
mudah menggadaikannya demi kesenangan sesaat. Di antara doa yang diajarkan oleh
Allah Subhanahuwata’ala dalam al-Qur’an adalah,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus!” (al-Fatihah: 6)
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا
بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“Wahai
Rabb kami, Janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami
hidayah dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu, sesungguhnya
Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 8)
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
juga selalu berdoa,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ
قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai
Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku ini diatas agama-Mu.”
(HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 232 dari Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul
Jannah)
Akhir
kata, semoga taufik dan hidayah Allah Subhanahu wata’ala selalu
mengiringi kita dalam kehidupan dunia ini, sehingga dapat istiqamah di atas
agama-Nya yang mulia serta berpijak di atas manhaj Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dengan satu harapan, mendapatkan
kesudahan terbaik dalam hidup ini (husnul khatimah) dan dimasukkan ke
dalam Jannah-Nya yang dipenuhi dengan kenikmatan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar