(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu
Abdillah Abdurrahman Mubarak)
Bertambah ataupun berkurangnya
keimanan dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya adalah lingkungan keimanan
itu sendiri. Sudahkah keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat menjadi
tempat yang bisa menyemaikan keimanan anak-anak kita?
Iman adalah nikmat Allah l yang
wajib disyukuri dan dijaga. Sehingga ketika ada orang yang meminta nasihat
kepada Rasulullah n, beliau menasihatkan untuk istiqamah di atas iman.
Dari Abu ‘Amr –ada yang menyatakan
pula Abi ‘Amrah– Sufyan bin Abdillah z:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي
فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ
آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Aku berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku satu perkataan yang aku tidak akan
bertanya lagi setelahnya kepada selainmu.” Rasulullah n bersabda: “Katakanlah
aku beriman kepada Allah kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal
Jamaah, iman seseorang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini berdasarkan banyak
dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah l berfirman:
“Orang-orang (yang menaati Allah dan
rasul), ada yang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia (yakni kaum
musyrikin) telah berkumpul untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada
mereka’. Maka perkataan itu (justru) menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman (dengan iman yang hakiki) ialah mereka yang bila disebut nama Allah,
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Allah lah mereka bertawakal.” (Al-Anfal:
2)
“Dan apabila diturunkan suatu surat,
di antara mereka ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kalian yang bertambah
imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman maka
surat ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 125)
“Dan tatkala orang-orang mukmin
melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’
Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.”
(Al-Ahzab: 22)
“Dia-lah yang telah menurunkan
ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di
samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara
langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(Al-Fath: 4)
“Dan tiada Kami jadikan penjaga
neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan
mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya
orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman
bertambah imannya.” (Al-Muddatstsir: 31)
Adapun hadits-hadits yang
menunjukkan masalah ini banyak sekali. Di antaranya hadits Abu Sa’id Al-Khudri
z, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لـَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian
melihat satu kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu
maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah
selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah n
berkata:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ
وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidaklah aku melihat ada orang yang
kurang akal dan agamanya yang membuat goyah hati lelaki yang kokoh selain salah
seorang kalian (kaum wanita).”
Di antara dalil masalah ini adalah
hadits Jundub bin Abdillah z:
كُنَّا مَعَ النَّبـِيِّ n وَنَحْنُ
فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ
الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا
“Kami bersama Nabi n. Ketika itu
kami para pemuda yang sebaya. Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur`an.
Kemudian kamipun belajar Al-Qur`an dan bertambahlah iman kami.” (HR. Ibnu
Majah)
Asy-Syaikh Al-Hakami t berkata: “Ini
adalah ijma’ para imam yang teranggap ijma’nya. Mereka menyatakan bahwa iman
itu bertambah dan berkurang.” (Ma’arijul Qabul)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Ajurri
bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan
berkurang.” Saudara beliau, Ibrahim bin ‘Uyainah berkata: “Wahai Abu Muhamad
(nama kunyah Sufyan bin Uyainah, red.), jangan engkau katakan bertambah dan
berkurang.” Ibnu ‘Uyainah pun marah dan berkata: “Diamlah wahai anak kecil!
Bahkan iman bisa berkurang hingga tidak tersisa di hatinya sedikitpun.”
Sebagian salaf berkata: “Di antara
wujud pemahaman seseorang adalah senantiasa menjaganya dari kekurangan. Di
antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu apakah imannya bertambah atau
berkurang. Dan di antara wujud pemahaman seseorang adalah dia tahu godaan setan
yang mendatanginya.” (Syarah Nuniyyah)
Bertambahnya Iman dengan Ketaatan
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah,
bertambahnya iman seseorang itu dengan ketaatan kepada Allah l. Semakin dia
taat kepada Allah l, maka semakin kuat keimanannya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata:
“Sebab bertambahnya iman ada empat:
1. Mengenal Allah
l dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Karena, semakin seorang mengenal Allah
l, nama-nama, serta sifat-sifat-Nya akan semakin bertambah keimanannya.
2. Melihat ayat-ayat Allah l yang
kauniyah maupun syar’iyah.
3. Banyak berbuat taat dan kebaikan.
Karena amalan termasuk dalam iman, sehingga banyak melakukan amal baik akan
memperbanyak/meningkatkan keimanan.
4. Meninggalkan maksiat dengan niat
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l.” (Diringkas dari Syarh Al-Ushul
Ats-Tsalatsah)
Sebab Lemahnya Iman
Menurut keyakinan Ahlus Sunnah,
berkurangnya iman disebabkan maksiat yang dilakukan seseorang. Semakin banyak
maksiat dilakukannya, akan semakin mengurangi keimanannya. Allah l berfirman:
“Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
(Al-Muthaffifin: 14)
Setiap kali seseorang berbuat
maksiat, akan dititik hitam di hatinya sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah
n.
Kami akan sebutkan beberapa perkara
yang sangat berpengaruh dalam turunnya keimanan seseorang.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata:
“Sebab berkurangnya iman ada empat:
1. Berpaling dari mengenal Allah l,
nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
2. Berpaling dari melihat ayat-ayat
Allah kauniyah dan syar’iyah, karena hal itu akan menyebabkan kelalaian dan
kerasnya hati.
3. Kurang beramal shalih.
4. Berbuat maksiat.” (Diringkas dari
Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Perlu diketahui di sini, ada
amalan-amalan yang sangat memengaruhi keimanan seseorang namun dianggap sepele
oleh banyak orang. Di antaranya:
1. Jauh dari lingkungan dan suasana
iman.
“Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya. Kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)
Lingkungan merupakan faktor
terpenting dalam memelihara dan memupuk keimanan. Lingkungan yang beriman akan menambah keimanan, dan
lingkungan yang jelek akan merusak keimanan seseorang.
Dalil yang paling menunjukkan akan
hal ini adalah disyariatkannya hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim. Allah
l berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya
(kepada mereka): ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami
orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata:
‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita
ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya serta tidak mengetahui jalan
(untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Namun disayangkan, banyak di antara
kaum muslimin yang tidak mengindahkan masalah ini dan justru melakukan amalan
yang membahayakan iman mereka dan anak-anak mereka, yakni lebih memilih dan
senang tinggal di negeri kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin t menerangkan: “Sesungguhnya tinggal di negeri kafir bahayanya
amatlah besar terhadap agama seseorang. Membahayakan akhlak, tingkah laku, dan
adabnya. Kami dan selain kami telah menyaksikan penyimpangan orang-orang yang
tinggal di negeri kafir. Mereka pulang (dengan aqidah) yang berbeda ketika
berangkat, pulang dalam keadaan sebagai orang fasik. Sebagian mereka pulang
dalam keadaan murtad dari agamanya….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan berkata:
“Diharamkan bagi seorang muslim menjadikan dirinya sebagai pembantu/pelayan
orang kafir, karena dalam amalan tersebut terdapat unsur kekuasaan dan
penghinaan orang kafir atas seorang muslim. Tinggal terus-menerus di negeri
kafir juga haram karena akan membahayakan aqidah seorang muslim.” (Kitabut Tauhid, lishafil awal al-’ali hal.107)
Termasuk dalam masalah ini adalah
bepergian ke negeri kafir untuk berlibur/melancong atau acara hiburan lainnya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Bepergian ke negeri kafir tidak
diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat:
1. Dia mempunyai ilmu untuk menolak
syubhat (pemikiran yang menyimpang).
2. Dia punya agama yang mencegahnya
dari syahwat.
3. Dia membutuhkannya.
Jika syarat-syarat ini tidak
terpenuhi maka dia tidak diperbolehkan bepergian ke negeri kafir. Karena
bepergian ke negeri kafir mengandung fitnah (cobaan), khawatir fitnah dan
menghamburkan harta, karena seorang yang bepergian ke sana akan mengeluarkan
dana yang tidak sedikit.” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
2.Menjauh dari majelis ilmu (syar’i)
Dari Hanzhalah: Abu Bakr berjumpa
denganku dan berkata: “Bagaimana kabarmu, wahai Hanzhalah?” Aku katakan:
“Hanzhalah telah tertimpa kemunafikan!” Beliau berkata: “Subhanallah, apa yang
kau ucapkan?” Aku katakan: “Ketika kita ada di sisi Rasulullah n yang
memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kita melihat dengan mata
kepala kita. Tapi jika kita pulang dari majelis Rasulullah, kita sibuk dengan
istri dan anak serta mata pencaharian, maka kitapun banyak lupa.” Abu Bakr
berkata: “Demi Allah, kitapun merasakan hal tersebut.” Maka akupun berangkat
bersama Abu Bakr hingga masuk menemui Rasulullah n. Aku katakan: “Hanzhalah
telah tertimpa kemunafikan, wahai Rasulullah!” Rasulullah n berkata: “Ada apa
ini?” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, ketika kami ada di sisi Rasulullah n yang
memperingatkan tentang surga dan neraka, sepertinya kami melihat dengan mata
kami. Tapi jika kami pulang dari majelis Rasulullah, kami sibuk dengan istri
dan anak serta mata pencaharian, maka kamipun banyak lupa.” Rasulullah berkata:
“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, jika kalian terus merasakan seperti
keadaan berada di sisiku dan terus berdzikir, niscaya malaikat akan menyalami
kalian di tempat tidur dan jalan-jalan. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat,
sesaat.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Al-Hakami t mengatakan:
“Jika menjauh dari majelis ilmu berpengaruh kepada iman seseorang, lebih-lebih
lagi jika tersibukkan dengan ilmu yang terkontaminasi oleh pemahaman kufur yang
sengaja disusupkan.”
3. Teman yang jelek
Teman sangatlah berpengaruh pada
keimanan seseorang. Karena Rasulullah n berkata:
الْـمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
“Seseorang di atas agama temannya.”
Di antara kesalahan kaum muslimin
adalah menyerahkan pendidikan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga yang tidak
mementingkan aqidah. Bahkan sebagian mereka “menitipkan” anak mereka ke lembaga
pendidikan yang notabene kafir atau mengirim anak mereka belajar di negeri
kafir. Innalillahi wa inna ilahi raji’un. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin t menjelaskan:
“Macam kelima: Tinggal di negeri
kafir untuk belajar. Ini sama dengan tinggal karena suatu kebutuhan, namun
lebih berbahaya dan lebih dahsyat kerusakannya bagi agama dan akhlak pelakunya.
Karena seorang pelajar akan merasa rendah derajatnya dan tinggi kedudukan
gurunya. Sehingga menyebabkan dia mengagungkan guru-guru serta merasa puas
dengan pemikiran, pendapat, dan perilaku guru-guru mereka serta kemudian
mengikutinya, kecuali orang-orang yang Allah l menjaganya dan yang seperti ini
sedikit jumlahnya. Kemudian pelajar merasa butuh kepada gurunya sehingga
menyebabkan dia mencari simpati dan basa-basi dengannya, dalam keadaan gurunya
di atas penyimpangan dan kesesatan. Demikian juga, seorang pelajar di tempatnya
belajar mempunyai teman-teman yang dijadikannya sahabat dekat. Dia mencintai,
loyal, dan mengambil akhlak mereka….” (Syarh Al-Ushul Ats-Tsalatsah)
Demikianlah sebagian sebab
menurunnya iman seseorang. Perlu diketahui pula bahwa berkurangnya iman, jika
sampai menyebabkan meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram,
merupakan keadaan yang berbahaya. Pelakunya tercela dan wajib bertaubat kepada
Allah l dan bersegera untuk mengobati dirinya. Rasulullah n berkata:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً
وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ شِرَّتُهُ إِلَى سُنَّتـِي فَقَدْ
أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
“Setiap amalan ada masa semangatnya,
dan masa semangat ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya dipalingkan
kepada sunnahku berarti dia telah berbahagia, dan barangsiapa yang kejenuhannya
tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa.” (HR. Ahmad,
lihat Shahih At-Targhib)
Mudah-mudahan Allah l senantiasa
menjaga iman kita serta memberi taufiq kepada kita untuk senantiasa beramal
shalih dan istiqamah di jalan-Nya. Allahumma amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar