Kamis, 14 Februari 2013

Agama adalah perkara tauqifiyyah




بسم الله الرحمن الرحيم
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6NwUIqlRUwfhJX_BG0I3xDlCbuFxKcRxEWonpa_bOFGE6uNhiuznE2xq3aBk-J4Lea3xVGQoURnZpYsZM-Ed-tEHWZ6YJXSHIzmeqOrZA479hFXFmVaK0IUwPZNr7NwvQivBrCp5ZSd8/s200/ah.jpgPertanyaan :
"Mengapa ALLOH  melakukan pembelahan melalui Malaikatnya kepada Rosululloh ?? Klo hnya tuk mmbersihkan  kotoran-kotoran non fisik, knapa kok tidak cukup diminta melakukan TAUBATAN NASUHA saja seperti hal-nya TAUBATnya Nabi Adam 'alaihi salam ?? Jadi tidak perlu pakai pembelahan dada?? kenapa kotoran non fisikal kok dibersihkannya bisa secara fisik ??

Jawab :

Agama ini adalah wahyu dan bukan hasilnya akal.

Alloh Ta'ala berkata kepada NabiNya :

قُلۡ إِنَّمَآ أُنذِرُڪُم بِٱلۡوَحۡىِ

“Katakanlah (wahai, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (QS.Al-Anbiya: 45)

Dan Alloh 'azza wa jalla berkata :

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ * إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡىٌ۬ يُوحَىٰ

“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Alloh Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun mengotak-atik dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shohih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu berkata:

“Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rosulullah mengusap bagian atas khufnya.” (Abu Dawud dishohihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud 162).

Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khufnya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih.  jadi disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitroh yang selamat. Terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini dan tentang dibelahnya dada Nabi kemudian timbulnya isykal  "kenapa kotoran non fisik kok dibersihkannya cara fisik ?"

Alloh Subhanahu berkata :

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

" dan Alloh mengetahui dan kalian tidak mengetahui "(QS.Al-Baqoroh : 232).

Adalah syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti, itulah keterbasan akal manusia tidak mampu meliputi ilmunya Alloh Ta'ala.

Jangan sampai ketidak mengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shohih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Alloh Ta'ala  yang pasti membawa kebaikan pada makhlukNya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Tholib di atas.

Abul Mudhoffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah :

“Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Alloh Ta'ala  yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishor li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim rohimahulloh menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:

a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.

b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.

c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Alloh, sifat-sifat dan perbuatanNya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.

d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.

e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishoar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu).

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahulloh Ta'ala berkata :

" dan demikian juga keberadaan suatu amalan yang telah shohih dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam yaitu dengan cara membenarkan khobar (berita) dan mengerjakan hukum-hukumnya, apabila telah datang suatu khobar dari Alloh dan RosulNya maka benarkanlah dan ambilllah dengan cara menerima dan berserah diri, jangan engkau mengatakan, kenapa? dan bagaimana ?

Maka sesungguhnya dengan adanya pertanyaan ini adalah suatu jalan selain dari jalannya orang-orang yang beriman, maka sungguh Alloh Ta'ala mengatakan :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

" Dan tidaklah pantas bagi mukmin laki-laki dan mukmin wanita apabila Alloh dan RosulNya telah mnetapkan suatu perkara ada bagi mereka pilihan yang lain dari urusan mereka, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Alloh dan RosulNya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata ".(QS. Al Ahzab : 36).
Dan para sahabat, Adalah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada mereka sesuatu yang terkadang sesuatu yang beliau ceritakan  adalah perkara yang sangat asing dan jauh dari pemahaman mereka, akan tetapi mereka (para sahabat) adalah orang-orang yang mengambil yang demikan itu dengan menerimanya, tidaklah mereka lantas mengatakan : kenapa ? dan bagaimana ? 

Berbeda dengan orang-orang zaman sekarang dari umat ini, kita mendapati salah seorang dari mereka apabila diceritakan suatu hadits dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, seketika itu akalnya terasa heran terhadap hadits tersebut, kita dapati dia adanya suatu maksud-maksud tertentu atas  perkataan Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallam dimana didalam ucapan (pendapat mereka) ada kerancuan-kerancuan, yang bahwasannya sebenarnya dia bermaksud berpaling, bukan untuk diambil sebagai bimbingan, oleh sebab inilah terhalangilah antara dia dan antara taufiqnya Alloh Ta'ala, sehingga dia menolak perkara-perkara yang dibawa oleh Rosulloh shollallohu 'alaihi wa sallam, dikarenakan dia mengambil khobar dari Nabi tidak dengan sikap berserah diri ".(Kitabul Ilmi : 26).

'ala kulli hal agama adalah tauqifiyyah, dimana hanyalah Alloh Ta'ala yang mengetahui jawabannya..

wallohu a'lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar