بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ
بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا
هادي له, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا الله الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ
فَوْزاً عَظِيماً
أما بعد:
Ini adalah risalah
singkat mengenai As-Sunnah yang menjadi sandaran kedua dalam hukum Islam
setelah Al-Quran Al-Karim. Kami sarikan dari apa yang telah dituliskan dalam
kitab-kitab ulama serta para peneliti Islam dalam bidang As-Sunnah
An-Nabawiyyah.
Pada pembahasan ini,
akan dipaparkan mengenai pengertian As-Sunnah, kedudukannya dalam syariat
Islam, wajibnya berpegang teguh dengannya, peranannya dalam mendampingi
Al-Quran, kemudian diakhiri dengan pembagian As-Sunnah menjadisunnah qouliyyah,
fi’liyyah dan taqririyyah disertai dengan contoh-contohnya.
Semoga risalah ini
bermanfaat bagi diri penulis sendiri serta para pembaca sekalian, sehingga kita
dalam beragama ini berada di atas ilmu dan bashiroh serta terhindar dari jalan setan dan
kesesatan.
PENGERTIAN AS-SUNNAH
Istilah As-Sunnah yang
sering digunakan dalam pembahasan syariat Islam memiliki beberapa makna,
diantaranya:
1.
Seluruh perkara yang datang dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- secara khusus yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Quran, baik sebagai penjelasan
dari ayat-ayat Al-Quran tersebut maupun tidak. Juga masuk di dalamnya sejarah
perjalanan hidup beliau, baik sebelum diutus sebagai Rosul maupun sesudahnya.
2.
Lawan dari bid’ah, seperti perkataan
seseorang: “Si Fulan berada di atas sunnah,” yaitu jika ia beramal sesuai
dengan tuntunan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Jika tidak demikian, maka dikatakan sebaliknya: “Si Fulan di
atas kebid’ahan.”
3.
Apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-, baik dalam rangka
mengamalkan Al-Quran, sunnah Nabi ataupun kesepakatan mereka (ijma’sahabat).
4.
Dalam istilah fiqih, bermakna mustahab atau mandub (tidak wajib/fardhu), yaitu jika dikerjakan dengan ikhlas
dan mengharap ridho Alloh, maka akan diberikan pahala dan jika ditinggalkan,
maka tidak berdosa.
Adapun pembahasan kita
kali ini adalah tentang As-Sunnah yang bermakna: segala apa yang telah dinukilkan dari
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, berupa ucapan (qoul), perbuatan (fi’il) atau persetujuan (taqrir) beliau, yang dijadikan sebagai dasar hukum Islam.
(Rujukan: Syarh Mukhtashor
Ar-Roudhoh, 1/61-62, karya
Ath-Thufiy -rohimahulloh-,As-Sunnah
An-Nabawiyyah wa Makanatuha,
hal. 7-10, oleh Muhammad bin Abdillah Ba Jam’an)
Contoh As-Sunnah
berupa ucapan (sunnah qouliyyah) adalah sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niat-niatnya.”
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»،«خُذُوا عَنِّي
مَنَاسِكَكُمْ
“Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat.” “Ambilah dariku
manasik haji kalian.”
Contoh As-Sunnah
berupa perbuatan (sunnah fi’liyyah) adalah perbuatan-perbuatan beliau dalan melakukan sholat, haji
dan sebagainya seperti: mengangkat tangan ketikatakbirotul ihrom, ruku’, i’tidal atau
lari-lari kecil (sa’i) antara Shofa dan
Marwa ketika berhaji dan sebagainya.
Contoh As-Sunnah
berupa persetujuan beliau (sunnah taqririyyah) adalah seperti perkataan sahabat ketika mereka melakukan
sholat sunnah dua rokaat selepas adzan Maghrib di masjid, kemudian ditanya:
“Apakah Rosululloh dahulu juga melakukan sholat ini?” Mereka menjawab: “Dahulu
beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melihat kami melakukannya. Beliau tidaklah memerintahkan dan
tidak pula melarangnya.”
Maka secara
umum, As-Sunnah An-Nabawiyyah tersebut terdiri dari: qouliyah (ucapan),fi’liyyah (perbuatan) dan taqririyyah (persetujuan) yang –insyaalloh- akan kita bicarakan lebih lanjut pada
kesempatan kali ini secara ringkas. Wallohul muwaffiq.
KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARIAT ISLAM
Diantara perkara yang
yang telah disepakati bersama oleh seluruh kaum muslimin terdahulu adalah
bahwasanya sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- merupakan sandaran kedua dalam syariat Islam pada seluruh
aspek kehidupan, baik dalam perkara aqidah (keyakinan), hukum-hukum agama,
politik maupun pendidikan. Demikian juga, tidak diperkenankan untuk menyelisi
sunnah tersebut sedikitpun, baik dengan buah pemikiran, ijtihad ataupun qiyas. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Asy-Syafi’iy
-rohimahulloh- pada akhir kitab beliau Ar-Risalah: “Qiyas itu tidak diperbolehkan selamakhobar (sunnah Nabi) masih ada.” Demikian juga
yang dikenal oleh para ulama ahliushul fiqh: “Tidak ada ijtihad ketika datang nash (dalil). Jika datang atsar (hadits), maka batallah pemikiran atau
pendapat yang ada.”
DALIL-DALIL TENTANG PERKARA INI
Dalil-dalil dari
Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan hal tersebut, diantaranya adalah
firman Alloh -ta’ala-:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ
يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dalam ayat ini Alloh -ta’ala- menegaskan bahwa tidaklah patut bagi seorang
mukmin dan mukminah, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Siapa
mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
Juga dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ الله
وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا الله إِنَّ الله سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Alloh
dan Rosulnya (dengan menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Alloh
dan Rosul-Nya). Bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh itu Sami’(maha
mendengar) lagi ‘Alim (maha mengetahui).” (QS. Al-Hujurot: 1)
Firman Alloh –ta’ala-:
قُلْ أَطِيعُوا الله وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ الله
لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Alloh dan Rosul-Nya. Jika kalian
berpaling, maka sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32)
Firman Alloh –ta’ala-:
وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِالله شَهِيدًا * مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ الله وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
”Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rosul kepada segenap manusia
dan cukuplah Alloh menjadi saksi. Siapa yang mentaati Rosul itu, sesungguhnya
ia telah mentaati Alloh dan siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (yaitu bahwa Rosul tidak
bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar
mereka tidak berbuat kesalahan).” (QS. An-Nisa’: 79-80)
Firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah
Rosul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Quran) dan
Rosul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Alloh dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Alloh berfirman:
وَأَطِيعُوا الله وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا
وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ الله مَعَ الصَّابِرِينَ
“Taatlah kepada Alloh dan Rosul-Nya dan janganlah kalian
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan
kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Firman-Nya juga:
وَأَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ
تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Taatlah kalian kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul-Nya dan
berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kewajiban Rosul Kami hanyalah menyampaikan amanat Alloh dengan terang.” (QS. Al-Maidah: 92)
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ
بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ الله الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah kalian jadikan panggilan Rosul di antara kalian seperti
panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. Sesungguhnya Alloh telah
mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan
berlindung kepada kawannya. Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah-Nya merasa takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ الله يَحُولُ بَيْنَ
الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan
Rosul apabila Rosul tersebut menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kalian (berupa keimanan, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya
dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allohlah yang menguasai hati manusia dan sesungguhnya kepada-Nyalah
kalian akan dikumpulkan.” (QS.
Al-Anfal: 24)
Firman Alloh –ta’ala-:
وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ * وَمَنْ
يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا
وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Siapa taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh akan memasukkannya
ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. Siapa yang mendurhakai Alloh dan
Rosul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang
menghinakan.” (QS. An-Nisa’:
13-14)
Firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا * وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا
أَنْزَلَ الله وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ
صُدُودًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelummu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thoghut itu dan syaitan bermaksud menyesatkan
mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka:
“Marilah kalian tunduk kepada hukum yang Alloh telah turunkan dan kepada hukum
Rosul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi manusia dengan
sekuat-kuatnya dari mendekatimu.”(QS. An-Nisa’ : 60-61)
Alloh berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ الله
وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka diseru kepada
Alloh dan Rosul-Nya agar Rosul tersebut menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan: “Kami mendengar dan Kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Siapa yang taat kepada Alloh dan Rosul-Nya serta takut kepada Alloh
disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya dan bertakwa kepada-Nya, maka
mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nur: 51-52)
Alloh berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا الله إِنَّ الله شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Alloh.
Sesungguhnya Alloh amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Alloh –ta’ala- berfirman:
﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا﴾
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan yang
baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Alloh dan kedatangan hari
kiamat dan ia banyak menyebut Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 21)
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى * مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى *
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan
tidak pula keliru. Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 1-4)
Firman Alloh:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (berupa perintah-perintah,
larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al-Quran tersebut)
dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Ayat-ayat yang
diberkahi seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an.
Adapun hadits-hadits
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tentang seruan untuk mengikuti beliau dalam segala aspek
kehidupan, diantaranya sebagai berikut:
Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-:
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى، قالوا: ومن يأبى؟ قال: من أطاعني
دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
“Seluruh umatku akan memasuki jannah, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang
enggan itu?” Beliau menjawab: “Siapa yang menaatiku, maka akan masuk jannah
dan siapa yang menentangku, maka telah enggan.”(HR. Bukhori dari Abu Huroiroh –rodhiyallohu ‘anhu-)
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
فمن أطاع محمداً – صلى الله عليه وآله وسلم – فقد أطاع الله، ومن عصى
محمداً – صلى الله عليه وآله وسلم – فقد عصى الله، ومحمد – صلى الله عليه وآله
وسلم – فرق بين الناس
“Siapa yang mentaati Muhammad –shollallohu ‘alaihi wa sallam-,
maka ia telah mentaati Alloh dan siapa yang menentangnya, maka ia telah
menentang Alloh. Muhammad –shollallohu ‘alaihi wa sallam- itu telah memisahkan
manusia (antara yang mukmin dengan yang kafir).” (HR. Bukhori dari Jabir bin Abdillah –rodhiyallohu ‘anhu-)
Sabda beliau juga:
إنما مثلي ومثل ما بعثني الله به كمثل رجل أتى قوماً فقال: يا قوم
إني رأيت الجيش بعيني، وإني أنا النذير العريان، فالنجاء النجاء، فأطاعه طائفة من
قومه فأدلجوا، فأنطلقوا على مهلهم فنجوا، وكذبت طائفة منهم فأصبحوا مكانهم فصبحهم
الجيش فأهلكهم واجتاحهم، فذلك مثل من أطاعني فاتبع ما جئت به، ومثل من عصاني وكذب
بما جئت به من الحق
“Sesungguhnya permisalanku dengan apa yang aku diutus oleh Alloh
untuk membawanya adalah seperti seseorang yang mendatangi suatu kaum, kemudian
ia berseru: “Wahai kaum, sungguh aku telah melihat sepasukan datang. Sungguh
aku ini seorang pemberi peringatan kepada kalian, maka carilah tempat
keselamatan. Lalu sebagian kelompok dari kaumnya itu mentaatinya, sehingga
mereka bertolak pada malam harinya. Sedangkan sebagian yang lain
mendustakannya, sehingga mereka tetap di tempat itu dan datanglah pasukan itu
membinasakan mereka. Itulah permisalan orang yang mentaatiku, sehingga ia
mengikuti petunjukku dan permisalan orang yang menentang dan mendustakan
kebenaran yang aku diutus dengannya.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari –rodhiyallohu ‘anhu-)
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
لا ألفين أحدكم متكئاً على أريكته، يأتيه الأمر من أمري، مما أمرت به
أو نهيت عنه، فيقول: لا أدري، ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه
“Tidaklah aku menemui salah seorang di antara kalian sedang
bertelekan di atas ranjangnya. Akan datang kepadanya perkaraku, baik perintah
maupun larangan, kemudian dia berkata: “Aku tidak tahu hal itu, apa yang kami
temukan dalam kitab Alloh, maka kami ikuti. (Jika tidak, maka tidak kami
ikuti).” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi dan selain mereka dengan sanad shohih dari Abu Rofi’ -rodhiyallohu ‘anhu-)
Beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- menegaskan:
ألا إني أوتيت القرآن ومثله معه، ألا يوشك رجل شبعان على أريكته
يقول: عليكم بهذا القرآن، فما وجدتم فيه من حرام فحرموه، وإن ما حرم رسول الله كما
حرم الله
“Ketahuilah, sungguh aku diberi Al-Quran dan yang semisalnya
bersamanya. Ketahuilah hampir-hampir seseorang yang telah kenyang di atas
ranjang mengatakan: “Ambillah Al-Quran itu. Apa yang kau temukan di dalamnya
berupa pengharaman, maka haramkanlah hal itu. (Jika tidak kau temui, maka
jangan kau haramkan).” Sungguh, apa yang diharamkan oleh Rosululloh itu sama dengan
apa yang diharamkan oleh Alloh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan selainnya dengan sanad
shohih, dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib -rodhiyallohu ‘anhu-)
Sabda beliau:
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهم: كتاب الله وسنتي، ولن يتفرقا حتى
يردا على الحوض
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, tidaklah kalian akan
tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabulloh dan
sunnahku. Keduanya tidak akan terpisah sampai kembali ke telaga (di akhirat)” (HR. Hakim dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)
Dalil-dalil tersebut
menunjukkan kepada kita beberapa perkara yang sangat penting, yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Tidaklah berbeda antara keputusan Alloh dengan Nabi-Nya. Semuanya tidaklah ada
pilihan bagi seorang mukmin untuk menyelisihinya. Penentangan
(bermaksiat) terhadap Rosul sama dengan bermaksiat kepada Alloh dan semuanya
itu merupakan kesesatan yang nyata.
2.
Dilarang untuk mendahului Rosul –shollallohu ‘alaihi wa sallam- (dengan menetapkan sesuatu hukum, sebelum
ada ketetapan dari Rosul) sebagaimana tidak diperkenankannya mendahului Alloh –ta’ala-. Ini menunjukkan tidak bolehnya menyelisihi
sunnah beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Imam Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- mengatakan dalam I’lamul Muwaqqi’in (1/58): “Yaitu janganlah kalian
mendahului untuk mengatakan sampai beliau mengatakannya. Janganlah
memerintahkan sampai beliau memerintahkannya. Janganlah berfatwa sampai beliau
berfatwa dan janganlah memutuskan suatu perkara sebelum beliau memutuskan dan
memberlakukan hukumnya.”
3.
Lari dari mentaati Rosul –shollallohu ‘alaihi wa sallam- hanyalah perbuatan orang-orang kafir.
4.
Orang yang mentaati Rosul –shollallohu ‘alaihi wa sallam- berarti mentaati Alloh –ta’ala-.
5.
Wajibnya mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan dari perkara agama
kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Imam Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- berkata (1/54): “Alloh –ta’ala- memerintahkan untuk taat kepada-Nya dan
Rosul-Nya dan ketaatan terhadap Rosul tersebut merupakan perintah tersendiri
tanpa melihat kepada perintah yang ada dalam Al-Qur’an. Akan tetapi jika beliau
–shollallohu
‘alaihi wa sallam- memerintahkan, maka
wajib untuk ditaati secara mutlak, baik perintah itu terdapat dalam Al-Qur’an
ataupun tidak. Hal itu karena beliau telah diberikan Al-Kitab dan yang
semisalnya (As-Sunnah) dan Alloh tidak memerintahkan untuk mentaati pemerintah
(penguasa) secara tersendiri, tetapi menjadikan ketaatan terhadapnya berada di
bawah ketaatan terhadap Rosul. Merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh
para ulama, bahwasanya mengembalikan suatu perkara kepada kitab Alloh dan
Rosul-Nya itu berarti mengembalikan urusannya kepada diri beliau ketika masih
hidup dan kepada As-Sunnah sepeninggal beliau. Hal itu termasuk syarat sah
keimanan.”
6.
Sikap menerima perselisihan dan meninggalkan untuk kembali kepada As-Sunnah
guna menyelesaikan perselisihan itu merupakan sebab asasi di mata syariat untuk
menggagalkan jerih payah kaum muslimin dan menghilangkan kekuatan mereka.
7.
Peringatan kepada umat dari penyelisihan terhadap Rosul -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-, karena hal itu
berakibat buruk baik di dunia maupun akhirat.
8.
Orang-orang yang menyelisihi perintah Rosul pantas untuk terjatuh dalam
kesesatan di dunia dan mendapatkan adzab yang pedih di akhirat.
9.
Wajibnya memenuhi seruan Rosul dan mentaati perintahnya. Hal itu merupkan sebab
mendapatkan kehidupan yang baik dan kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat.
10. Ketaatan
terhadap Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- merupakan sebab seseorang memasuki jannah dan mendapatkan
kemenangan yang besar. Sebaliknya, bermaksiat terhadap beliau dan melanggar
batasan beliau merupakan sebab seseorang masuk neraka dan mendapatkan adzab
yang menghinakan.
11. Termasuk
sifat orang-orang munafik yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan
kekufuran adalah merasa enggan jika mereka diseru untuk berhukum kepada Rosul
dan sunnah beliau. Bahkan mereka berusaha menghalang-halangi manusia dari hal
itu.
12. Sebaliknya
keadaan orang-orang mukmin, jika mereka diseru untuk berhukum kepada Rosul,
mereka bersegera menyambutnya, dengan mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.”
Dengan itulah mereka menjadi orang-orang yang mendapat kemenangan dan
keberhasilan dengan memperoleh jannah yang penuh kenikmatan.
13. Segala apa
yang diperintahkan oleh Rosul, maka wajib atas kita untuk mengikutinya,
sebagaimana wajibnya kita untuk meninggalkan setiap perkara yang dilarang.
14. Beliau –shollallohu ‘alaihi wa
sallam- adalah teladan kita
pada setiap perkara agama, jika kita termasuk orang yang mengharapkan wajah
Alloh dan hari akhir.
15. Setiap
perkataan Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang tidak berhubungan dengan perkara agama dan
perkara-perkara ghoib yang tidak
diketahui oleh akal dan percobaan (eksperimen) merupakan wahyu dari Alloh,
tidak mengandung kebatilan sama sekali.
16.
Sunnah-sunnah beliau merupakan penjelasan dari apa yang telah diturunkan Alloh
kepada beliau berupa Al-Quran.
17. Tidak cukup
semata-mata dengan Al-Quran tanpa As-Sunnah, karena keduanya sama saja dalam
wajibnya mentaati dan mengikutinya. Siapa yang mencukupkan dengan Al-Quran
tanpa As-Sunnah, maka ia telah menyelisihi Rosul –‘alaihis sholatu wa
sallam- dan tidak mentaati
beliau, sehingga dengannya ia telah menyelisihi ayat-ayat tersebut di atas.
18. Apa yang
diharamkan oleh Rosul, seperti apa yang telah diharamkan oleh Alloh. Demikian
juga segala perkara yang datang dari Rosul dan tidak terdapat dalam Al-Quran,
maka itu sama hukumnya dengan apa yang datang dari Al-Quran. Hal ini
berdasarkan keumuman sabda beliau: “Sungguh aku telah diberi Al-Quran dan yang
semisalnya (As-Sunnah).”
19. Sesungguhnya
keselamatan dari penyimpangan dan kesesatan hanyalah diperoleh dengan berpegang
teduh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal itu berlaku sampai datangnya hari
kiamat. Tidak boleh membedakan antara kitab Alloh dan sunnah Rosul-Nya –shollallohu ‘alaihi wa
sallam-.
(Rujukan: Al-Hadits Hujjah
Binafsihi, hal. 25-34 karya
Imam Al-Albani –rohimahulloh- sebagaimana tersebut dalam Mausu’ah Al-Albani fil
Aqidah, jilid 1 hal.
273-280)
WAJIBNYA MENGIKUTI AS-SUNNAH DALAM AQIDAH DAN HUKUM
Dalil-dalil yang telah
termaktub di atas, baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah, sebagaimana telah
menunjukkan secara pasti tentang wajibnya mengikuti As-Sunnah secara mutlak
pada setiap apa yang datang dari Nabi –shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan siapa yang tidak ridho (menerima) untuk
berhukum dan tunduk kepadanya, maka bukanlah seorang mukmin, demikian juga yang
perlu dicermati oleh para pembaca bahwa As-Sunnah tersebut
secara umum dan mutlak juga menunjukkan dua perkara yang penting, sebagai berikut:
Pertama: bahwasanya
dalil-dalil tersebut mencakup semua orang yang telah sampai kepadanya dakwah,
baik ketika itu sampai hari kiamat. Hal ini jelas pada firman-Nya:
لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“…supaya dengannya (Al-Quran) aku (Rosul) memberi peringatan
kepada kalian dan orang-orang yang sampai Al-Quran kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 19)
Juga firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Saba’: 28)
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- menafsirkan ayat ini
dengan sabda beliau:
… وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة، وبعثت إلى الناس كافة
“Dahulu Nabi diutus khusus kepada umatnya saja, sedangkan aku
diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Juga sabda beliau:
والذي نفسي بيده لا يسمع بي رجل من هذه الأمة ولا يهودي ولا نصراني
ثم لا يؤمن بي إلا كان من أهل النار
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang
mendengar perihalku, baik dari umat ini, Yahudi ataupun Nasrani, kemudian tidak
beriman kepadaku, melainkan termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Kedua: bahwasanya
dalil-dalil tersebut mengandung seluruh perkara dari perkara-perkara agama
tanpa terkecuali, baik itu berupa perkara ilmu aqidah ataupun hukum amali dan
sebagainya. Sebagaimana wajib atas para sahabat untuk mengimani hal tersebut
setelah datangnya berita Rosul, demikian juga para tabi’in dan orang-orang
setelah mereka diwajibkan pula untuk mengimaninya dan tidak diperbolehkan untuk
menolaknya selama berita (hadits) itu shohih, dibawa oleh orang yang
terpercaya. Demikianlah hendaknya hal tersebut terus berlangsung sampai Alloh
mewarisi dunia dan seisinya ini.
(Rujukan: Al-Hadits Hujjah
Binafsihi, karya Imam
Al-Albaniy -rohimahulloh-,
hal. 34-35 sebagaimana dalam Mausu’ah Al-Albaniy: 1/280-281)
PERANAN AS-SUNNAH BERKAITAN DENGAN AL-QURAN
Sesungguhnya Alloh –tabaroka wa ta’ala- telah memilih Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- sebagai Nabi-Nya dan
mengkhususkan beliau untuk mengemban risalah. Alloh juga menurunkan kepada
beliau kitab-Nya yang mulia dan memerintahkan beliau untuk menerangkannya
kepada manusia. Alloh –ta’ala- berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ
“Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (yakni: perintah-perintah,
larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al-Quran
tersebut).” (QS. An-Nahl:
44)
Ayat yang mulia ini
mengandung dua macam keterangan yang dituntut untuk disampaikan kepada manusia:
Pertama: keterangan
tentang lafadz dan susunan kalimat dalam Al-Quran. Yaitu penyampaian Al-Quran
secara lengkap tanpa menyembunyikannya sedikitpun serta membacakannya kepada
umat sebagaimana diturunkan. Inilah maksud dari firman Alloh –ta’ala-:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ
“Wahai rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Robb-mu.”(QS. Al-Maidah: 67)
‘Aisyah –rodhiyallohu ‘anha- mengatakan:
ومن حدثكم أن محمدا كتم شيئا أمر بتبليغه فقد أعظم على الله الفرية
“Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad telah
menyembunyikan suatu perkara yang diperintahkan untuk disampaikan, maka dia
telah melakukan kebohongan yang besar terhadap Alloh.” Kemudian beliau -rodhiyallohu ‘anha- membaca ayat tersebut di atas. (HR. Bukhori
dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim
beliau –rodhiyallohu ‘anha- mengatakan:
لو كان رسول الله – صلى الله عليه وآله وسلم – كاتما شيئا أمر
بتبليغه لكتم قوله تعالى: ﴿وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ الله عَلَيْهِ
وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ الله وَتُخْفِي في
نَفْسِكَ مَا الله مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَالله أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ
“Sekiranya Rosululloh
-shollallohu
‘alaihi wa sallam- telah menyembunyikan
suatu perkara yang diperintahkan untuk disampaikannya, niscaya beliau akan
menyembunyikan ayat ini (karena berisi teguran Alloh kepada beliau):
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ الله عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ
عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ الله وَتُخْفِي في نَفْسِكَ مَا
الله مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَالله أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ
“Ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Alloh telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus
isterimu dan bertakwalah kepada Alloh”, sedang kamu menyembunyikan di dalam
hatimu apa yang Alloh akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang
Alloh-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Kedua: keterangan
tentang makna lafadz, kalimat ataupun ayat yang dibutuhkan oleh umat. Hal itu
pada ayat-ayat yang sifatnya global, umum ataupun mutlak yang kemudian
datanglah sabda-sabda Rosul, perbuatan-perbuatan serta persetujuan beliau
(As-Sunnah) sebagai penjelas maksud sebenarnya yang terkandung dalam ayat-ayat
tersebut.
(Rujukan: Manzilatus Sunnah Fil
Islam, karya Imam
Al-Albaniy -rohimahulloh-
, hal. 6-8 sebagaimana dalam Mausu’ah Al-Albaniy: 1/281-282)
CONTOH-CONTOH PENERAPAN AS-SUNNAH DALAM MEMAHAMI AL-QURAN
Pertama: firman Alloh -ta’ala- dalam ayat tayammum merupakan contoh yang tepat guna
menunjukkan fungsi As-Sunnah di samping Al-Quran:
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
“…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik lagi suci; usaplah muka dan tangan kalian.” (QS. An-Nisa’: 43)
Maka As-Sunnah
menjelaskan tentang tangan yang diusap dalam ayat, bahwasanya yang dimaksud
hanyalah dua telapak tangan. Hal ini berdasarkan sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-:
التيمم ضربة للوجه والكفين
“Tayammum itu dengan sekali tepukan (ke tanah) untuk wajah dan dua
telapak tangan.” (HR. Bukhori dan
Muslim dari hadits ‘Ammar bin Yasir –rodhiyallohu ‘anhuma-)
Jikalau tidak datang
penjelasan dari As-Sunnah, niscaya kita akan beranggapan bahwa yang diusap
adalah seluruh bagian tangan semata-mata berdasarkan ayat tersebut.
Contoh lain yang
menunjukkan bahwa tidaklah mungkin memahami maksud Al-Qurankalamulloh dengan benar, kecuali dengan jalan
As-Sunnah adalah sebagai berikut:
Kedua: firman Alloh –ta’ala-:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ
أُوْلَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka
dengan kedzoliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
Para sahabat dahulu
memahami makna kedzoliman pada ayat ini secara umum, mencakup segala bentuk
kedzoliman meskipun sekecil apapun. Oleh karena itu, mereka mempermasalahkan
ayat tersebut dan mengatakan: “Wahai Rosululloh, siapa di antara kami yang
tidak mencampur keimanannya dengan kadzoliman?!” Maka beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- bersabda:
ليس بذلك إنما هو الشرك ألا تسمعوا إلى قول لقمان: إن الشرك لظلم
عظيم؟
“Bukan itu maksudnya. Yang dimaksud (dalam ayat ini) hanyalah
kesyirikan. Bukankah kalian telah mendengar perkataan Luqman (QS. Luqman: 13):
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzoliman yang besar.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Pada contoh ini dapat
kita lihat, bahwa para sahabat -rodhiyallohu ‘anhum- yang keadaan mereka itu sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu-: “Mereka adalah seutama-utama umat ini, baik dalam kebaikan
hati, kedalaman ilmu dan paling tidak memberatkan diri,” telah salah memahami
ayat tersebut. Kalaulah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak memperbaiki kesalahan dan membimbing
mereka kepada makna kedzoliman yang benar yaitu kesyirikan, niscaya kita juga
akan mengikuti kesalahan mereka. Akan tetapi Alloh –tabaroka wa ta’ala- telah menghindarkan kita dari kesalahan
tersebut dengan bimbingan dan sunnah Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-.
Ketiga: firman Alloh –ta’ala-:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ في الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ
“Apabila kalian bepergian di muka bumi (safar), maka tidaklah
mengapa kalian men-qoshor sholat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101)
Yang nampak dari ayat
ini, bahwa meng-qoshor sholat
dalam safar (bepergian jauh)
itu disyaratkan ketika merasa takut diserang orang-orang kafir. Oleh karena
itulah, para sahabat bertanya kepada Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa
sallam-: “Untuk apa kita
sekarang meng-qoshor sholat, padahal
kita sudah merasa aman?” Maka beliau bersabda:
صدقة تصدق الله بها عليكم فاقبلوا صدقته
“Itu adalah shodaqoh dari Alloh kepada kalian, maka terimalah
shodaqoh itu dari-Nya.” (HR.
Muslim)
Kalulah bukan karena
hadits ini dan amalan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- meng-qoshor sholat dalam safar ketika aman, maka kita akan terus merasa ragu tentang
disyariatkannya meng-qoshor sholat
dalam safar pada keadaan
aman, sebagaimana yang dipertanyakan oleh para sahabat tersebut.
Keempat: firman Alloh –ta’ala-:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ
“Diharamkan bagi kalian memakan bangkai, darah…” (QS. Al-Maidah: 3)
Maka As-Sunnah
menerangkan bahwa bangkai belalang dan ikan serta hati dan limpa termasuk yang
halal. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dari hadits Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma-:
أحلت لنا ميتتان ودمان: الجراد والحوت والكبد والطحال
“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah:
belalang dan ikan serta hati dan limpa.” (HR. Baihaqiy dan yang shohih adalah dari perkataan Ibnu
Umar (mauquf), tetapi mengandung
hukum marfu’ (dari Nabi),
karena hal itu tidaklah dikatakan semata-mata dari akal pikiran)
Kalaulah bukan karena
hadits tersebut, niscaya kita akan mengharamkan apa yang halal dan baik bagi
kita, yaitu: bangkai belalang dan ikan serta hati dan limpa.
Kelima: firman Alloh -ta’ala-:
قُل لاَّ أَجِدُ في مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi -karena
sesungguhnya itu najis- atau binatang yang disembelih atas nama selain Alloh.”(QS. Al-An’am: 145)
Kemudian datanglah
As-Sunnah mengharamkan apa yang belum disebutkan dalam ayat ini, seperti sabda
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
كل ذي ناب من السباع وكل ذي مخلب من الطير حرام
“Diharamkan setiap hewan buas bertaring (untuk memangsa) dan
setiap burung yang bercakar (untuk mencengkeram mangsanya).”
Juga sabda beliau pada
perang Khoibar:
إن الله ورسوله ينهيانكم عن الحمر الإنسية فإنها رجس
“Sesungguhnya Alloh dan Rosul-Nya melarang kalian untuk memakan
keledai jinak, karena itu adalah najis.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Demikian juga pada
contoh ini, kalaulah bukan karena hadits tersebut, maka kita akan tetap memakan
apa yang telah diharamkan oleh syariat: hewan buas yang bertaring dan burung
yang bercakar tajam untuk memangsa buruannya.
Keenam: firman Alloh –ta’ala-:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Alloh yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pulakah yang mengharamkan
rezki yang baik?” (QS. Al-An’am:
32)
Maka As-Sunnah
menerangkan juga bahwasanya diantara macam perhiasan tersebut ada yang
diharamkan, sebagaimana yang telah shohih dari beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- bahwa suatu hari
beliau keluar menemui para sahabat sambil memegang kain sutra dan emas. Maka
beliau bersabda:
هذان حرام على ذكور أمتي حل لإناثهم
“Dua perhiasan ini haram bagi laki-laki umatku, halal bagi
perempuan mereka.” (HR. Hakim dan
beliau menshohihkannya)
Demikian juga pada
contoh ini, jikalau tidak datang kepada kita keterangan dari As-Sunnah, maka
kita akan menghalalkan apa yang sebenarnya haram bagi kita.
Inilah diantara contoh
yang menggambarkan tentang pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam tersebut
dan masih banyak lagi contoh-contoh semisal yang telah diterangkan oleh para
ulama hadits dan fiqih dalam kitab-kitab dan fatawa mereka.
Dari apa yang telah
lalu, maka jelaslah bagi kita akan pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam.
Maka tidak ada jalan lain untuk memahami Al-Quran Al-Karim dengan sebenarnya,
kecuali diiringi dengan As-Sunnah yang shohih.
Sungguh sangat
disayangkan, telah ditemui beberapa orang yang menafsiri Al-Quran dan para
penulis masa kini yang berpendapat akan halalnya memakan binatang buas
tersebut, memakai emas dan kain sutra bagi laki-laki dengan berpegang kepada
Al-Quran saja! Bahkan ada kelompok yang menamakan dirinya Al-Qur’aniyun, mereka menafsirkan Al-Quran dengan hawa
nafsu dan akal-akal mereka tanpa merujuk kepada As-Sunnah yangshohih. As-Sunnah tersebut menurut mereka hanyalah
dijadikan sebagai pemuas hawa hafsu; yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka
diterima dan sebaliknya jika tidak sesuai, maka dilemparkan ke belakang
punggung-punggung mereka!
Sepertinya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- telah mengisyaratkan
akan adanya kelompok ini dalam sabdanya yang shohih:
لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو
نهيت عنه فيقول: لا أدري ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه
“Tidaklah aku temui salah seorang di antara kalian sedang
bertelekan di atas ranjangnya. Ketika datang kepadanya perkaraku dari apa yang
kuperintahkan dan larang, maka dia mengatakan: “Aku tidak tahu, apa yang
kutemukan pada kitab Alloh, maka aku ikuti!” (HR. Tirmidzi)
Dalam riwayat lainnya
ia mengatakan:
ما وجدنا فيه حراماً حرمناه ألا وإني أتيت القرآن ومثله معه.
“Apa yang kutemui di dalamnya (Al-Quran) bahwa hukumnya haram,
maka aku haramkan!” Lalu beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- menegaskan: “Ketahuilah,
sesungguhnya aku diberi Al-Quran dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya.”
Dalam riwayat lain
beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ألا إن ما حرم رسول الله مثل ما حرم الله
“Ketahuilah, sungguh apa yang diharamkan oleh Rosululloh itu
seperti apa yang telah Alloh haramkan.”
Juga termasuk perkara
yang disayangkan adalah ada sebagian penulis tentang syariat dan aqidah Islam
menyebutkan pada mukaddimah kitabnya, bahwa tidaklah dia menggunakan rujukan
dalam tulisannya, kecuali Al-Quran saja!
Maka hadits yang
shohih mengandung dalil yang pasti bahwa syariat Islam itu bukan Al-Quran saja,
tetapi Al-Quran dan As-Sunnah. Siapa yang hanya berpegang pada salah satunya,
berarti sama sekali dia belum berpegang dengan salah satunya. Hal itu karena
keduanya telah memerintahkan kita untuk berpegang dengan Al-Quran dan
As-Sunnah, sebagaimana firman Alloh –ta’ala-:
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
“Siapa yang mentaati Rosul itu, maka sesungguhnya ia telah
mentaati Alloh.”(QS. An-Nisa: 80)
Firman Alloh:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ في أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Robbmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu (Rosul) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Firman Alloh:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ
الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi
perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Siapa
mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan
yang nyata.” (QS. Al-Ahzab:
36)
Firman Alloh –ta’ala-:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Berkaitan dengan ayat
ini, telah shohih dari Ibnu Mas’ud
-rodhiyallohu
‘anhu- bahwasanya
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ
وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ
اللهِ
“Alloh melaknat perempuan-perempuan pembuat tatto dan perempuan
yang minta ditatto, perempuan-perempuan yang mencabut bulu di wajahnya dan yang
minta dicabut bulu di wajahnya, perempuan-perempuan yang merenggangkan
gigi-giginya supaya kelihatan bagus dan perempuan-perempuan yang merubah
ciptaan Alloh.”
Setelah mendengar hal
itu, maka seorang perempuan datang kepadanya seraya mengatakan: “Kamukah yang
mengatakan: “Alloh melaknat perempuan yang membuat tatto dan yang meminta untuk
ditatto…” Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Benar.” Perempuan itu berkata: “Sungguh
aku sudah membaca kitab Alloh dari awal sampai akhir, tidaklah kutemukan apa
yang kau katakana itu.” Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Jika engkau telah
membacanya, maka pasti telah kau temukan hal itu. Bukankah engkau telah membaca
ayat:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah?”
Maka perempuan itu
berkata: “Benar.” Kemudian Ibnu Mas’ud mengabarkan: “Sungguh aku telah
mendengar Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda demikian. (HR. Bukhori dan Muslim)
(Rujukan: Manzilatus Sunnah Fil
Islam, karya Imam
Al-Albaniy, hal. 7-12, Mausu’ah Al-Albaniy Fil Aqidah: 1/282-287)
PEMBAGIAN AS-SUNNAH AN-NABAWIYAH (SUNNAH NABI)
Sebagaimana telah kita
ketahui, bahwasanya As-Sunnah itu adalah: apa yang telah shohih dari Rosululloh
-shollallohu
‘alaihi wa sallam-, baik berupa
perkataan (sabda), perbuatan, persetujuan beliau, maka akan diperjelas lebih
lanjut mengenai tiga macam sunnah tersebut:
SUNNAH QOULIYYAH
Adapun ucapan atau
perkataan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka telah banyak kita temukan, yang hal itu mencakup seluruh
berita-berita kenabian, baik yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat Alloh –ta’ala-, tentang malaikat, nabi-nabi,
kejadian-kejadian yang telah lalu maupun yang akan datang, perkara-perkara hari
kiamat, berita-berita ghoib dan
perkara-perkara keimanan lainnya yang semua itu wajib kita benarkan dan imani.
Juga ucapan beliau tersebut mencakup perintah-perintah untuk ditaati dan
larangan-larangan untuk ditinggalkan dan dijauhi, baik yang bersifat umum
maupun khusus, global maupun terperinci.
Pada asalnya perintah
beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tersebut hukumnya adalah wajib untuk dikerjakan selama tidak
ada dalil lain yang memalingkan kewajiban tersebut kepada hukum lainnya. Adapun
larangan beliau pada asalnya adalah haram untuk dikerjakan, kecuali ada dalil
lain yang memalingkan dari hukum asal tersebut. Alloh –ta’ala- berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)
Firman Alloh:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ، فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ
فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang telah kularang, maka jauhilah dan apa yang telah
kuperintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian.”
Contoh perintah beliau
yang wajib untuk dikerjakan: mandi ketika masuk Islam, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- pada kisah masuk Islamnya Tsumamah bin
Utsal, maka Nabi memerintahkannya untuk mandi. (HR. Abdurrozzaq dengan sanad shohih)
Contoh perintah beliau
yang mustahab (tidak
wajib): bersiwak setiap kali berwudhu, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad (shohih):
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan
mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu’.”
Contoh larangan beliau
yang haram dikerjakan: berangan-angan untuk bertemu musuh. Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dalam hadits
Abdulloh bin Abi Aufa -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ العَدُوِّ، وَسَلُوا الله العَافِيَةَ
“Janganlah kalian berangan-angan untuk bertemu musuh, mintalah
kepada Alloh keselamatan.”
Contoh larangan beliau
yang makruh untuk dikerjakan: menyentuh mushhaf Al-Quran tanpa berwudhu’, sebagaimana
sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam surat beliau kepada ‘Amr bin
Hazm -rodhiyallohu ‘anhu- (riwayat Malik dan selainnya, hadits hasan):
أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرَآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al-Quran, kecuali dalam keadaan suci.”
Larangan ini
hukumnya makruh, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- bersabda dalam
hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- riwayat Ahmad (shohih):
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاةِ
“Aku hanyalah diperintahkan untuk berwudhu, jika aku akan
mendirikan sholat.”
SUNNAH FI’LIYYAH
Adapun
perbuatan-perbuatan Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka termasuk bagian dari As-Sunnah An-Nabawiyah yang
merupakan sumber hukum syariat Islam. Perbuatan-perbuatan beliau tersebut
terbagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian mempunyai hukum tersendiri:
Pertama: apa
yang dinamakan dengan sunnah jibilliyah (apa yang biasa dilakukan oleh manusia sesuai dengan
tabiatnya), seperti: makan, minum, tidur dan sebagainya. Maka hal ini tidak
mempunyai hukum secara dzatnya, karena tidak berhubungan dengan perintah dan
larangan. Akan tetapi terkadang dituntut untuk melakukannya dengan tata cara
tertentu, sehingga termasuk perkara yang dianjurkan atau diperintahkan dan
sebaliknya terkadang terdapat perkara tertentu dari hal itu yang terlarang dan
tidak sepantasnya dilakukan.
Sebagai contoh: tidur.
Pada asalnya merupakan perkara tabiat yang tidak mengandung hukum, baik itu
wajib maupun mustahab (sunnah).
Akan tetapi dianjurkan (disunnahkan) untuk miring ke kanan dan didahului dengan
membaca dzikir-dzikir sebelum tidur, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits
Al-Baro’ bin ‘Azib -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Bukhori dan Muslim.
Contoh kedua: makan
dan minum, termasuk kebutuhan semua manusia secara tabiatnya. Akan tetapi
diwajibkan dalam makan ini dengan menggunakan tangan kanan dan membaca bismillah sebelumnya dan dilarang dengan tangan
kiri, sebagaimana sabda beliau dalam hadits Umar bin Abi Salamah -rodhiyallohu
‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:
يَا غُلاَمُ، سَمِّ الله، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai bocah, sebutlah nama Alloh (bismillah), makanlah
dengan tangan kananmu dan mulailah dengan makanan yang dekat denganmu!”
Juga hadits Salamah
bin Akwa’ -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim, dia mengatakan: “Ada seseorang yang makan
dengan tangan kirinya di depan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lalu
beliau mengatakan:
كُلْ بِيَمِينِكَ، قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ، قَالَ: لَا اسْتَطَعْتَ،
مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
“Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang itu berkata: “Aku tidak bisa.”
Lalu beliau mengatakan: “Kamu tidak akan bisa!” Tidaklah ada yang menghalanginya untuk
makan dengan tangan kanan, melainkan kesombongannya. Maka setelah itu orang itu
tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya lagi.”
Demikian juga
dianjurkan untuk membaca hamdalah selesai makan dan minum serta tidak bernafas atau meniup
dalam gelas atau tempat makanan dan minuman tersebut, sebagaimana dalam
hadits-hadits yang shohih. Ini semua merupakan
perkara yang dituntut di dalamnya. Terkadang beberapa macam makanan dan minuman
yang asalnya halal, terlarang dikonsumsi oleh sebagian manusia, karena hal itu
bisa membahayakan jiwanya, contohnya: gula-gula atau makanan yang manis-manis
bagi penderita penyakit gula. Maka secara syariat makanan tersebut haram
baginya. Oleh karena itu, Syaikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan: “Makanan yang asalnya mubah (boleh) menjadi haram jika membahayakan
diri seseorang.” (Lihat Ikhtiyarot Fiqhiyyah, oleh Al-Ba’liy, hal. 351). Sebaliknya makan
atau minuman tersebut diwajibkan atau dianjurkan bagi seseorang jika menunjang
kesehatannya atau jika ditinggalkan menimbulkan penyakit dan sebagainya,
seperti makan sahur bagi orang yang akan berpuasa untuk menjaga kesehatannya
selama bepuasa.
Kedua: perbuatan beliau
-shollallohu
‘alaihi wa sallam- yang dilakukan
menurut adat-istiadat setempat. Maka ini hukumnya mubah (boleh dilakukan) secara dzatnya. Akan
tetapi hukum asal ini bisa berubah menjadi sesuatu yang diperintahkan dan
sebaliknya menjadi terlarang karena sebab-sebab tertentu.
Sebagai contoh:
pakaian, pada asalnya hukumnya mubah, tetapi diwajibkan untuk menutup aurotnya dan dianjurkan yang
berwarna putih (bagi laki-laki) sebagaimana dalam hadits shohih dari Ibnu Abbas
-rodhiyallohu
‘anhu- riwayat Ahmad.
Sebaliknya, dilarang berpakaian yang menyerupai adat orang-orang kafir (seperti
celana pantalon, dasi dan sebagainya) atau terlalu panjang sampai menutup atau
melebihi mata kaki (bagi laki-laki) sebagaimana dalam hadits shohih dari Abu
Sa’id Al-Khudri -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad:
إِزْرَةُ الْمُؤْمَنِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَمَا كَانَ إِلَى
الْكَعْبِ فَلَا بَأْسَ، وَمَا كَانَ تَحْتَ الْكَعْبِ فَفِي النَّارِ
“Pakaian mukmin itu sampai setengah betis. Tidak apa-apa jika
sampai kedua mata kaki. Adapun di bawah mata kaki (menutupi keduanya), maka di
neraka.”
Merupakan suatu perkara yang harus diperhatikan mengenai hal ini: bahwa adat yang haram, maka hukumnya
haram pula dilakukan, meskipun telah tersebar dan sudah biasa dilakukan oleh
manusia. Sesuatu yang haram tidak boleh dilakukan meskipun dengan alasan bahwa
ini sudah merupakan adat atau kebiasaan manusia. Memang benar, bahwa agama
Islam ini merupakan agama yang menyeluruh di setiap tempat dan sesuai dengan
perkembangan zaman. Akan tetapi bukan berarti bahwa agama ini harus tunduk,
diatur dan disesuaikan dengan tempat dan zaman tertentu. Ini adalah pemahaman
yang keliru. Akan tetapi sebaliknya, agama ini mengatur kehidupan manusia di
setiap waktu dan tempat yang itu merupakan kemaslahatan umat. Jika ada orang
yang mengatakan: “Kaum muslimin sekarang sudah terbiasa dengan pakaian model
ini (pakaian orang kafir), maka jadilah ia termasuk pakaian muslim, karena
agama itu cocok untuk setiap waktu dan tempat!” Subhanalloh…!!! Ucapan ini
bagaikan sebuah kampak yang menghancurkan agama ini!! Bahkan mereka jadikan
yang seperti ini sebagai ilmu dan tujuan agama!!! Ini jelas tidak benar.
Hendaknya seorang muslim itu menjauhi perkara yang dilarang oleh syariat dan
merasa cukup dengan apa yang sesuai dengan syariat.Wabillahi-taufiq.
Masalah: apakah seseorang
diberi pahala, jika meniru adat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-, baik dalam
berpakaian dan selainnya?
Jawaban: hendaknya kita
ketahui, bahwa apa yang dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- secara adat, maka
disunnahkan bagi kita untuk melakukannya sesuai dengan adat setempat kita -baik
dalam berpakaian atau selainnya-, selama adat setempat kita tersebut tidak
bertentangan dengan syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan sunnah tersebut adalah
bentuk atau model pakaian itu sendiri misalnya, akan tetapi yang disunnahkan
adalah jenis perbuatan yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-. Adapun jika berniat
ingin meniru adat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam model pakaian dan sebagainya, karena
kecintaan kita kepada beliau, maka diharapkan akan mendapat pahala karena niat
baik tersebut. Contohnya seperti memakai sarung, ‘imamah, gamis, rida’ dan sebagainya yang pernah dipakai oleh
beliau. Hal ini perlu diamalkan, terutama di negeri yang pakaian adat
masyarakat setempat bertentangan dengan syariat Islam, misalnya pakaian yang
menyerupai penampilan orang kafir, kurang menutup aurot atau telah datang dalil
yang melarang untuk memakai pakaian tersebut, maka kita tidak diperbolehkan
memakainya. Akan tetapi, yang dituntut adalah kita tetap memakai pakaian muslim
untuk menampakkan syiar Islam serta sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-.
Ketiga: perbuatan yang
khusus dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, tidak diperbolehkan bagi kita untuk
melakukannya. Untuk menentukan jenis perbuatan ini, diperlukan adanya dalil
yang jelas dan shohih menunjukkan
kalau hal itu merupakan kekhususan beliau. Hal itu karena asal dari perbuatan
beliau adalah untuk ditiru dan diteladani, sebagaimana firman Alloh –ta’ala-:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri teladan yang
baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Alloh dan kedatangan
hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Berdasarkan ayat ini,
maka berlakulah suatu kaedah: bahwa
asal dari perbuatan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- itu adalah dalam rangka ibadah selama tidak ada dalil lain
yang menunjukkan bahwa hal itu sekedar adat-istiadat, tabiat manusia atau
kekhususan beliau. Maka ketika ada dalil tentang kekhususan beliau tersebut,
maka tidak diperkenankan bagi kita untuk melakukannya, walaupun dengan
alasan ittiba’ Rosul.
Contohnya: puasa wishol, yaitu menjamak puasa dua hari atau lebih
tanpa berbuka sama sekali. Puasa ini merupakan kekhususan beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dan melarang para
sahabat untuk melakukannya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- dan selainnya dalam Shohih Bukhori dan
Muslim:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَهَى عَنِ
الْوِصَالِ، قَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ، قَالَ: إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ
إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى
“Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- melarang untuk
berpuasa wishol. Para sahabat
berkata: “Sesungguhnya engkau melakukannya?” Rosululloh menjawab:“Sesungguhnya aku ini
tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum (oleh Alloh).”
Contoh lain yang
merupakan kekhususan beliau: nikah dengan hibah, yaitu seorang perempuan mendatangi beliau
dan mengatakan: “Aku hibahkan diriku kepadamu.” Jika beliau menerima, maka
secara langsung menjadi istri beliau tanpa mahar, wali, akad nikah dan
saksi-saksi. Dalilnya adalah firman Alloh –ta’ala- ketika menyebutkan perkara-perkara yang
dihalalkan Alloh untuk beliau, diantaranya:
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ
أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ
“…dan perempuan mukmin yang menyerahkan (menghibahkan) dirinya
kepada Nabi, jikalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukmin.” (QS.
Al-Ahzab: 50)
Jadi apa yang
dikhususkan untuk Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak berlaku bagi kita, tetapi hal itu
menunjukkan kepada kita akan keutamaan dan kemuliaan yang dikaruniakan oleh
Alloh kepada beliau dan menunjukkan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Alloh
–subhanahu
wa ta’ala-.
Keempat: perbuatan beliau
yang dilakukan dalam rangka ibadah. Maka hal ini hukumnya wajib bagi beliau
pada awalnya, karena kewajiban atas beliau untuk menyampaikan syariat,
sebagaimana firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Wahai rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Robbmu. Jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan itu, berarti kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya.” (QS.
Al-Maidah: 67)
Setelah itu hukumnya
menjadi mustahab (sunnah)
bagi beliau dan umatnya, karena hal itu merupakan bentuk peribadatan.
Sebagai contoh:
bersiwak (menggosok gigi) ketika masuk rumah, sebagaimana dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- dalam Shohih Muslim:
كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ
“Ketika memasuki
rumah, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memulai dengan bersiwak.”
Maka bersiwak
hukumnya mustahab (sunnah),
karena beliau lakukan sebagai bentuk ibadah, sebagaimana sabda beliau dalam
hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Ahmad dan An-Nasa’i (hadits shohih):
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak itu membersihkan mulut dan mendatang keridhoan Alloh.”
Kelima: apa yang
dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam rangka melaksanakan perintah Alloh –ta’ala-. Maka hukumnya adalah sesuai dengan hukum
perintah Alloh tersebut, bisa wajib atau sunnah (mustahab).
Jika perbuatan
tersebut dilakukan dalam rangka menjelaskan perintah Alloh yang sifatnya umum
atau global, maka hukumnya adalah wajib atas beliau, karena suatu perintah
tersebut tidak bisa diamalkan dengan baik dan benar kecuali dengan praktek
beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Setelah itu, amalan tersebut bagi umatnya bisa menjadi wajib,
jika hukum perintahnya wajib atau sunnah, jika hukumnya sunnah (mustahab).
Sebagai contoh adalah:
perintah sholat dan zakat yang wajib secara global, sebagaimana dalam firman
Alloh –ta’ala-:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqoroh: 43)
Kita tidak mengetahui
bagaimana perincian tata cara mendirikan sholat dan menunaikan zakat tersebut,
kecuali setelah datang perinciannya dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-, baik berupa ucapan
ataupun perbuatan beliau.
Contoh lain: firman
Alloh –ta’ala-:
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Jadikanlah sebagian maqom Ibrohim (yaitu tempat berdiri Nabi
Ibrohim ketika mendirikan Ka’bah) sebagai tempat sholat.” (QS. Al-Baqoroh: 125)
Kita tidaklah
mengetahui bagaimana cara mengamalkan ayat ini; apakah yang dimaksud mendirikan
sholat lima waktu, atau yang lainnya? Berapa jumlah rakaatnya; apakah dua, tiga
rakaat atau lebih? Kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- ketika
menyelesaikan thowaf (tujuh putaran),
langsung menuju maqomIbrohim dengan membaca
ayat tersebut, kemudian melakukan sholat sunnah dua rakaat ringan. Pada rakaat
pertama membaca surat Al-Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlash,
sebagaimana dalam hadits Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- yang panjang riwayat Muslim yang berisi
tentang manasik haji.
(Rujukan: Syarh Ushul Min ‘Ilmil
Ushul, bab Al-Akhbar dan Syarh Mandzumah Ushul
Fiqh, bab Aqsam Fi’il Nabi, keduanya karya Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin –rohimahulloh-)
SUNNAH TARKIYYAH
Termasuk As-Sunnah
(sunnah Nabi) adalah apa yang diistilahkan dengan sunnah tarkiyyah, yaitu perkara-perkara yang ditinggalkan oleh
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak dilakukannya. Sunnah ini terbagi menjadi dua macam:
Pertama: perkara-perkara
yang ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dikarenakan tidak adanya hal-hal yang
mendorong untuk dilakukannya hal tersebut pada zaman beliau. Maka meninggalkan
yang seperti ini tidak termasuk sunnah dan jika dilakukan tidaklah dikatakan
sebagai bid’ah.
Contohnya: pembukuan
Al-Quran menjadi sebuah mushaf seperti sekarang ini, penulisan kitab-kitab ilmu agama.
(Rujukan: Al-Muwafaqot: 2/409, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-)
Kedua: perbuatan-perbuatan
yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersamaan dengan adanya faktor pendorong
untuk melakukannya. Meskipun demikian, beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- tetap tidak
melakukannya. Maka hal ini menunjukkan bahwa secara syariat perbuatan tersebut
hendaknya ditinggalkan dan tidak dilakukan.
Contohnya: adzan pada
sholat ‘ied dan ketika menguburkan jenazah, melafadzkan niat dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- telah menerangkan tentang masalah ini, bahwa
adzan pada sholat ied tersebut termasuk perkara yang diada-adakan oleh beberapa
penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin, karena itu merupakan
kebid’ahan. Kalaulah bukan karena itu, maka dikatakan bahwa hal ini termasuk
berdzikir kepada Alloh dan anjuran kepada manusia untuk beribadah kepada Alloh,
sehingga masuk dalam keumuman dalil-dalil seperti firman Alloh:
اذْكُرُوا الله ذِكْرًا كَثِيرًا
“Berdzikirlah kepada Alloh dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzab: 41)
Juga masuk dalam
firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى الله
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Alloh…?” (QS. Fushilat:
33)
Atau hal itu
diqiyaskan dengan adzan sholat Jum’at (karena Jum’at termasuk hari ied
pekanan). Akan tetapi yang benar adalah dikatakan bahwa sikap Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dengan
meninggalkannya bersamaan dengan adanya faktor pendorong dan tidak adanya suatu
penghalang untuk dilakukannya hal itu, merupakan sunnah (tarkiyyah) untuk ditinggalkan, sebagaimana apa-apa yang
beliau lakukan juga merupakan sunnah (fi’liyyah) untuk dikerjakan. Sunnah tarkiyyah ini merupakan sunnah tersendiri yang
lebih dikedepankan daripada keumuman dalil-dalil atau qiyas.
Ketika beliau
memerintahkan adzan dan iqomah pada sholat Jum’at dan bukan pada sholat ied,
maka hal itu adalah sunnah beliau. Kita tidak berhak untuk menambahinya. Bahkan
penambahan dalam hal itu seperti menambah jumlah sholat atau rakaat sholat dan
itu bukanlah amalan sholeh. Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa hal itu
merupakanbid’ah hasanah. Akan tetapi dikatakan bahwa seluruh kebid’ahan itu adalah
sesat, sebagaimana dalam keumuman hadits shohih dari Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad:
وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama) dan
setiap kebid’ahan itu sesat.”
Kita mengetahui hal
itu sebelum datangnya larangan khusus akan hal tersebut atau ditemukannya mafsadah (kerusakan) di dalamnya.
Contoh lain, yaitu
munculnya kebid’ahan disebabkan oleh keteledoran manusia, seperti
dikedepankannya khutbah ied sebelum sholatnya, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh sebagian penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin. Mereka beralasan
bahwa banyak manusia tidak mau mendengarkan khutbah ied, sehingga khutbah
dikedepankan. Maka dikatakan kepadanya bahwa sebab keengganan manusia
mendengarkan khutbah adalah keteledoran atau kesalahan penguasa (khotib) itu
sendiri, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dahulu berkhutbah untuk kemanfaatan dan bimbingan kepada
manusia. Adapun si khotib tersebut berkhutbah dengan tujuan untuk melanggengkan
kekuasaannya saja. Maka ini adalah kesalahan sendiri, tidak bisa dijadikan
alasan untuk memunculkan kesalahan yang lain berupa kebid’ahan. Akan tetapi
hendaknya ia bertaubat kepada Alloh dari kesalahannya dan mengikuti sunnah
Nabi. Jika dengan hal itu belum juga menjadikan keadaan membaik, maka Alloh
tidak akan menuntut pertanggungan jawab selain atas amalanmu sendiri, bukan
atas amalan mereka.
Jika hal ini telah
dipahami, maka akan hilanglah banyak syubhat seputar kebid’ahan yang ada. Wabillahit-taufiq.
Maka hendaknya kita
juga meninggalkan perkara tersebut sebagaimana beliau meninggalkannya, meskipun
dalam pandangan kita bahwa di dalamnya terdapat suatu kemaslahatan yang jelas
atau termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang ada (seperti yang telah
dicontohkan di atas), karena hal itu tidak disyariatkan selama Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- meninggalkannya.
(Rujukan: Iqtidho’ Shirothol
Mustaqim, hal. 279-281, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh-; Irsyadul Fuhul, hal. 42, karya Imam Asy-Syaukaniy -rohimahulloh-)
Dari sini berlaku sebuah kaedah: bahwa diamnya pembuat syariat (Alloh dan
Rosul-Nya) pada hukum tertentu atau meninggalkan suatu perkara bersamaan dengan adanya
faktor pendorong dilakukannya hal tersebut pada waktu itu tanpa adanya tambahan
syariat baru, jika hal
tersebut dilakukan, maka ia termasuk perkara bid’ah dalam agama yang tercela,
bertentangan dengan maksud Alloh dan Rosul-Nya yaitu menuruti apa yang telah
digariskan oleh keduanya tanpa menambahi atau mengurangi sedikitpun.
(Rujukan: Al-I’tishom: 1/361, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-)
Imam Al-Albaniy -rohimahulloh- mengatakan: “Termasuk ketetapan dari para
ulama ahlitahqiq (mujtahid), bahwasanya setiap bentuk peribadatan yang
tidak disyariatkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak pernah beliau lakukan dalam rangka
ibadah, maka hal itu termasuk penyelisihan terhadap sunnah beliau. Hal itu
karena sunnah beliau terbagi menjadi: sunnah fi’liyyah (perbuatan yang dilakukan) dan sunnah tarkiyah (sesuatu yang ditinggalkan). Apa yang
ditinggalkan oleh beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berupa perkara ibadah, maka disunnahkan atau disyariatkan bagi
kita untuk meninggalkannya pula… Hal ini telah dipahami oleh para sahabat,
sehingga banyak muncul peringatan terhadap kebid’ahan dari mereka, baik secara
umum maupun khusus, sampai-sampai Hudzaifah bin Yaman -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Setiap ibadah yang tidak diamalkan
oleh para sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka janganlah kalian mengamalkannya!” Ibnu
Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Ikutilah (sunnah Rosul) dan jangan berbuat
kebid’ahan, maka hal itu cukuplah bagi kalian. Pegangilah perkara yang telah
terdahulu!”
(Rujukan: Hujjatun Nabi
-shollallohu ‘alaihi wa sallam-, hal. 100-101, karya Imam Al-Albaniy -rohimahulloh-)
Imam Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/389-391):“Pasal: Penukilan
Sahabat Terhadap Perkara Yang Ditinggalkan Oleh Rosululloh -shollallohu
‘alaihi wa sallam-.
Adapun penukilan
mereka tentang perkara yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-, ada dua macam dan
kedua-duanya disebut sebagai sunnah:
Pertama: pernyataan
mereka secara jelas bahwa hal tersebut telah beliau tinggalkan dan tidak
dilakukannya, seperti pada perang Uhud bahwasanya beliau tidak memandikan dan
mensholati para syuhada’ Uhud.
Demikian juga pada sholat ied: tidak ada adzan dan iqomah serta panggilan
apapun. Juga ketika menjama’ dua sholat:
beliau tidak melakukan sholat sunnah di antara keduanya dan tidak pula pada
salah satu dari keduanya…
Kedua: tidak dinukilkan
sama sekali perkara tersebut. Jikalau hal tersebut telah dilakukan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-, maka tentunya akan
mereka nukilkan dan akan samapai kepada kita (meskipun hanya dengan satu
riwayat). Maka dengan tidak adanya penukilan mereka tersebut, menunjukkan bahwa
hal itu belumlah terjadi.
Hal ini seperti
melafadzkan niat ketika akan mendirikan sholat, do’a secara berjama’ah yang
dilakukan oleh imam dengan menghadapkan dirinya ke makmum dan mereka
mengamininya setiap selesai sholat Shubuh, Ashar atau sholat lima waktu
lainnya. Demikian juga mengangkat kedua tangan setiap selesai ruku’ pada rakaat
kedua sholat shubuh dengan mengatakan: “Allohumahdina fiiman hadait…dst.,” dengan mengeraskannya dan diamini oleh
makmum (qunut shubuh).
Maka merupakan sesuatu
yang mustahil bahwa beliau melakukannya dan tidak dinukilkan kepada kita sama
sekali, padahal dilakukannya secara rutin setiap hari. Demikian juga mandi
sebelum menginap di Muzdalifah, ketika hendak melempar jumroh, ketika thowaf ziaroh (bagi jama’ah haji) serta sebelum
sholat istisqo’ (minta
hujan) dankusuf (gerhana).
Dari sinilah,
diketahui bahwa pendapat yang menganjurkan hal-hal tersebut telah menyelisihi
As-Sunnah, karena perbuatan Rosululloh meninggalkan hal tersebut merupakan
sunnah (tarkiyyah)
sebagaimana perbuatan yang dilakukan oleh beliau adalah sunnah (fi’liyyah). Jika kita menganjurkan (mensunnahkan) untuk
melakukan perkara yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa
sallam-, maka ini sama
seperti kita menganjurkan untuk meninggalkan sesuatu yang telah dilakukan oleh
beliau, tidak ada bedanya sama sekali.
Jika ada yang
mengatakan: “Darimana kalian mengetahui bahwa beliau tidak melakukannya. Tidak
adanya penukilan tentang hal tersebut bukan berarti hal itu tidak ada?”
Ini adalah pertanyaan
yang terlontar dari seseorang yang jauh sekali dari pengetahuan tentang
petunjuk dan sunnah beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Jika pertanyaan ini dibenarkan dan diterima, maka disunnahkan
pula bagi kita untuk melakukan adzan sebelum sholat tarawih, lalu dikatakan: “Darimana kalian tahu kalau
hal ini tidak dinukilkan?!” Demikian juga akan disunnahkan bagi kita untuk
mandi pada setiap melakukan sholat, lalu dia mengatakan hal yang serupa:
“Darimana kalian tahu kalau hal ini tidak dinukil?” Demikian juga seseorang
yang lain akan menganjurkan kita untuk berseru setelah adzan: “Yarhamukumulloh..!” Kemudian ia mengatakan: “Darimana kalian
tahu kalau hal ini tidak ada?” Demikianlah seterusnya…., sehingga terbukalah
pintu kebid’ahan dan setiap yang menyerukan kepada kebid’ahan mengatakan:
“Darimana kalian tahu kalau ini tidak dinukil…?!”
Maka termasuk kebid’ahan adalah:
§ melakukan apa yang belum diizinkan oleh Alloh
dan Rosul-Nya (dalam peribadatan) untuk mengamalkannya, seperti: sujud syukur
di depan penguasa, do’a secara berjama’ah setiap selesai sholat dan sebagainya;
atau:
§ meninggalkan apa yang telah diizinkan untuk
diamalkan dalam rangka ibadah, seperti: tidak mau berbicara ketika berpuasa,
meninggalkan makanan tertentu dan sebagainya; atau:
§ perkara yang keluar dari itu semua, seperti
mewajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang mampu memerdekakan
budak dan sebagainya. Yang terakhir ini telah jelas penyelisihannya terhadap
dalil syar’i dan jelas merupakan bi’dah yang buruk.
(Rujukan: Al-Muwafaqot: 2/410, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-)
DAMPAK BURUK DARI JAHILNYA MANUSIA TERHADAP PERKARA INI
Sesungguhnya kejahilan
manusia terhadap perkara pokok dan penting ini dapat menjatuhkan mereka ke
dalam kebid’ahan. Lihatlah kepada kebid’ahan yang dilakukan oleh manusia
sekarang, maka tampaklah bahwa hal itu termasuk perkara yang telah ditinggalkan
oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersamaan dengan adanya kebutuhan untuk melakukannya di waktu
itu.
Lihatlah ketika
orang-orang suka melafadzkan niat ketika memulai sholat dengan
mengucapkan: “Nawaitu an usholli …dst.,” padahal tidak
pernah diketemukan hal itu satu riwayat pun dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dan para sahabat
beliau. Yang ada hanyalah perintah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits yang berisi kisah
seseorang yang tidak baik sholatnya (hadits shohih dari Rifa’ah -rodhiyallohu ‘anhu- dan selainnya, riwayat ashhabus-sunan):
«إذا قمت إلى الصلاة فكبر .. الخ»
“Jika engkau berdiri memulai sholat, maka bertakbirlah (takbirotul
ihrom) …dst.”
Beliau tidaklah
mengajarkan: “Katakanlah: “Nawaitu an usholli…dst.” Jikalau hal itu disyariatkan, niscaya akan diajarkan pula
oleh beliau kepada orang itu, karena beliau -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- tidaklah menunda
penjelasan ketika dibutuhkan.
Demikian juga membaca
Al-Quran Al-Karim di pekuburan sebagai bentuk rohmat kepada si mayit. Hal itu
tidak dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sama sekali, bersamaan dengan adanya pendorong untuk itu dan
tidak ada penghalang. Maka meninggalkannya termasuk As-Sunnah dan sebaliknya;
mengerjakannya adalah bid’ahtercela.
Apakah masuk akal jika
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- meninggalkan sesuatu yang bermanfaat serta mendatangkan rahmat
bagi umatnya, padahal beliau bersifat amat belas kasihan lagi penyayang
terhadap orang-orang mukmin?! Demikian juga, apakah masuk akal kalau hal itu
merupakan pintu dari pintu-pintu rahmat, kemudian ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- sepanjang hidup
beliau?!
Demikian juga,
peringatan maulid Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh beliau dan juga
para sahabat beliau yang mulia, bersamaan dengan adanya faktor pendorong untuk
melakukannya. Hari itu telah berulang-ulang tiap tahun, tetapi tidak sekalipun
beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memperingatinya dan tidak pernah memerintahkan seorangpun dari
para sahabat untuk memperingatinya, sebagaimana mereka telah diperintahlan
untuk membaca sholawat Nabi. Maka hal ini menunjukkan bahwa acara peringatan
tersebut tidak disyariatkan.
Kalaulah acara
peringatan tersebut disyariatkan, maka para generasi teladan umat ini tentu
telah mendahului kita untuk mengamalkannya, karena merekalah orang-orang yang
lebih mencintai Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan lebih beradab terhadap beliau daripada orang-orang yang
mengadakan peringatan maulid Nabi.
Tidaklah bid’ah peringatan maulid Nabi ini muncul,
kecuali setelah ratusan tahun belakangan (sekitar tahun 630 hijriyah).
Pertanyaannya adalah: dimanakah generasi teladan umat ini dan para ulama kaum
muslimin sebelumnya?! Mengapa mereka tidak memperingatinya?!
Al-Hafidz Ibnu Rojab -rohimahulloh- berkata: “Adapun perkara yang para salaf(generasi pendahulu yang sholeh) telah
bersepakat untuk meninggalkannya, maka tidak diperkenankan bagi kita untuk
mengamalkannya, karena tidaklah mereka meninggalkannya, kecuali telah
mengetahui bahwa perkara itu memang tidak untuk dikerjakan.”
(Rujukan: Fadhlu ‘Ilmis-Salaf
‘Alal-Kholaf, karya Imam Ibnu
Rojab -rohimahulloh-,
hal. 31)
Kesimpulannya, tidak diperbolehkan
bagi siapapun untuk melakukan peribadatan yang tidak dilakukan oleh Rosululloh
-shollallohu
‘alaihi wa sallam- dan para sahabat
beliau, sebagaimana ucapan Hudzaifah -rodhiyallohu ‘anhu- di atas yang maknanya adalah: janganlah
mendekatkan diri kepada Alloh –‘azza wa jalla- dengan hal itu, karena bukan ibadah yang
dituntunkan sebagaimana yang disangkakan. Jikalau hal itu merupakan ibadah yang
disyariatkan, niscaya beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- akan datang dengannya.
(Rujukan: Fatawa Al-Albaniy, hal. 188 dan risalah Ittiba’ Laa Ibtida’,
Qowaid wa Asas fii As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 64-72, oleh Hisamuddin ‘Afanah)
SUNNAH TAQRIRIYYAH
Yang dimaksud
dengan taqrir (persetujuan)
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- di sini adalah diamnya atau tidak adanya pengingkaran dan
sebagainya yang menunjukkan persetujuan beliau ketika melihat atau mendengar
para sahabat -rodhiyallohu ‘anhum- melakukan suatu perbuatan atau mengatakan sesuatu di hadapan
beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Adapun taqrir (persetujuan beliau terhadap sesuatu
tersebut) merupakan dalil akan bolehnya hal tersebut sesuai dengan sisi
persetujuannya, baik berupa perbuatan atau ucapan, baik itu perkara yang
wajib, mustahab ataupun mubah.
Contoh taqrir beliau terhadap suatu ucapan adalah taqrir
beliau terhadap ucapan seorang budak perempuan yang beliau tanyai: “Dimanakah
Alloh?” dia menjawab: “Di atas langit.” Hal ini sebagaimana dalam hadits
Mu’awiyah bin Hakam As-Sullamiy -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim, bahwasanya Rosululloh
-shollallohu ‘alaihi wa sallam- menanyai seorang budak perempuan milik
Mu’awiyah:
أَيْنَ الله؟ فَقَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟
قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Dimanakah Alloh?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya
lagi: “Siapa aku ini?” Dia menjawab: “Engkau adalah Rosululloh.” Maka beliau
berkata kepada Mu’awiyyah: “Merdekakan dia, sesungguhnya ia seorang
mukminah.”
Ini adalah dalil akan
keyakinan bahwa Alloh itu di atas langit dan itu merupakan aqidah yang benar,
tidak diingkari.
Contoh taqrir beliau terhadap suatu perbuatan adalah
ketika seseorang utusan beliau dalam berperang mengimami pasukannya dan selalu
mengakhiri bacaannya dengan surat Al-Ikhlash. Hal ini sebagaimana dalam hadits
Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Bukhori dan Muslim, bahwa ketika beliau mendengar hal
tersebut, lalu berkata kepada para sahabat:
سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقَالَ:
لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ
“Katakan kepadanya, mengapa ia lakukan itu?” Maka mereka bertanya kepadanya, lalu ia
menjawab: “Karena dalam surat itu terdapat sifat Ar-Rohman dan aku suka
membacanya.” Maka Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kabarkanlah kepadanya bahwa Alloh
mencintainya.”
Hal ini menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan baginya, karena jika tidak demikian,
maka tentu beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- akan melarangnya dan tidak menyetujuinya.
Faedah: Adapun
perkara-perkara yang terjadi di zaman Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- (zaman turunnya
wahyu) tanpa sepengetahuan beliau, maka tidaklah dikatakan sebagai sunnah
beliau, karena hal itu tidak diucapkan, dikerjakan dan tidak pula ditaqriroleh beliau. Akan tetapi hal itu
merupakan hujjah (bisa dijadikan
dalil), karena telah mendapatkan taqrir dari Alloh –subhanahu wa ta’ala- yang Dia itu adalah Al-’Aliim, maha mengetahui segala sesuatu yang terjadi
di alam semesta ini.
Contohnya adalah:
pendalilan para sahabat akan bolehnya melakukan ‘azl, yaitu: bahwasanya jika seseorang berjima’ (berhubungan intim) dengan istrinya dan
hampir keluar air maninya, maka ia mencabut zakarnya supaya air mani tersebut tidak masuk dan
keluar dari tempatnya yang semestinya, dengan ridho istrinya, agar tidak
terjadi kehamilan. Hal ini sebagaimana dalam Shohih Bukhori dan Muslim dari
Jabir -rodhiyallohu ‘anhu-, dia berkata:
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Kami dahulu melakukan ‘azl pada zaman Nabi -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dan Al-Quran masih
diturunkan (yaitu pada zaman turunnya wahyu).”
Hal ini menunjukkan
bolehnya hal tersebut, karena jika diperbolehkan, niscaya akan turun wahyu
untuk melarangnya. Alloh –ta’ala- tidak mungkin akan
mendiamkan sesuatu yang tidak diridhoi-Nya dilakukan oleh hamba-Nya, karena
Alloh adalah Al-Qodiir,
maha berkuasa atas segala sesuatu termasuk pengingkaran terhadap perkara yang
mungkar.
(Rujukan: Syarh Ushul Min ‘Ilmil
Ushul, hal. 350-358, oleh
Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin -rohimahulloh-)
Demikianlah sekilas
tentang pembahasan As-Sunnah sebagai pedoman hukum Islam kedua setelah
Al-Quran. Jika ada benarnya, maka itu dari Alloh –tabaroka wa ta’ala- dan jika ada kekeliruan, maka itu dari diri
seorang hamba yang lemah dan bisikan setan yang terkutuk. Kami bertaubat kepada
Alloh atas segala kesalahan yang terjadi.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ألا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
والحمد لله بنعمته تتم الصالحات
Ditulis: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy -ro’ahulloh-