Senin, 12 Maret 2012

HUKUM QUNUT SUBUH

Hukum Qunut Subuh
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Pertanyaan :

Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid'ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?

Jawab :

Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur'an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid'ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ

"Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak". Dan dalam riwayat Muslim : "Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak".

Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.

Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

Uraian Pendapat Para Ulama

Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.

Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi'iy.

Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.

Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa'd, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama

Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

"Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia".

Dikeluarkan oleh 'Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba'in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-'Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama' wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.

Semuanya dari jalan Abu Ja'far Ar-Rozy dari Ar-Robi' bin Anas dari Anas bin Malik.

Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin 'Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : "Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i' bin Anas adalah Abu Ja'far 'Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)". Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : "Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)". Berkata Abu Zur'ah : " Yahimu katsiran (Banyak salahnya)". Berkata Al-Fallas : "Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)". Dan berkata Ibnu Hibban : "Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar"."

Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma'ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ar-Rozy, beliau berkata : "Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja'far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya".

Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja'far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja'far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : "Shoduqun sayi`ul hifzh khususon 'anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).

Maka Abu Ja'far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.

Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :

Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ

"Sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo'a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo'a (kejelekan atas suatu kaum)" . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.

Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja'far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ

"Sesungguhnya Nabi shollahu 'alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh".

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.

emudian sebagian para 'ulama syafi'iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :

Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :

قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ

"Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, dan saya (rawi) menyangka "dan keempat" sampai saya berpisah denga mereka".

Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :

Pertama : 'Amru bin 'Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma'ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan 'Amru bin 'Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu'tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).

Kedua : Isma'il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma'il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.

Catatan :

Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja'far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami 'Abdul Warits bin Sa'id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ

"Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau".

Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja'far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I'tidal 1/418. Karena 'Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari 'Amru bin 'Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu 'Umar Al Haudhy dan Abu Ma'mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari 'Abdul Warits-.

Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ

"Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang 'umar lalu beliau qunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau qunut".

Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja'far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : "Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma'in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma' in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.

Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya "Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia", itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah "beliau (nabi) 'alaihis Salam qunut", dan ini adalah perkara yang ma'ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)".

Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin 'Abdillah dari Anas bin Malik :

مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ

"Terus-menerus Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal".

Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.

Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin 'Abdillah, kata Ibnu 'Ady : "Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)". Dan berkata Ibnu Hibba n : "Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya".

Kesimpulan pendapat pertama:

Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.

Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.

1) Doa

2) Khusyu'

3) Ibadah

4) Taat

5) Menjalankan ketaatan.

6) Penetapan ibadah kepada Allah

7) Diam

8) Shalat

9) Berdiri

10) Lamanya berdiri

11) Terus menerus dalam ketaatan

Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur'an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.

Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Dalil Pendapat Kedua

Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))

"Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I'tidal) berkata : "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakw an dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim". (HSR.Bukhary-Muslim)

Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :

Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.

Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :

وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.

Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : "Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya' dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir".

Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .

Dalil Pendapat Ketiga

Satu : Hadits Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i

قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".

"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)". Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.

Dua : Hadits Ibnu 'Umar

عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".

" Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu 'Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku". Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma' Az-Zawa'id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :"rawi-rawinya tsiqoh".

Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari'atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.

Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa berkata : "dan demikian pula selain Ibnu 'Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid'ah".

Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari'atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :

1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.

2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.

Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari'atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do'a qunut "Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do'a kemudian diaminkan oleh para ma'mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.

Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma'ad.

Kesimpulan

Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid'ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a'lam.

Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma'any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu' 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi' : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u' Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma'ad 1/271-285.

www.an-nashihah.com

Sabtu, 10 Maret 2012

HATI HATI JILBAB SEPERTI PUNUK ONTA

Hati-hati Jilbab Seperti Punuk Unta

Akibat Korban Mode

Sudah berjilbab saja masuk neraka, apalagi yang enggan memakai jilbab.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا


“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:
1. Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan,
2. Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)




Kamis, 08 Maret 2012

MEMBANGUN KUBUR ADLAH LARANGAN NABI BUKAN LARANGAN WAHABI

Membangun Kubur adalah Larangan Nabi, Bukan Larangan Wahabi

Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath 6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.


Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه 
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’ dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
Tepatkah kemudian jika ada orang yang mengatakan larangan membangun kubur merupakan buatan orang-orang Wahabiy ?. Atau, mungkin mulai sekarang orang tersebut harus menyangka bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Abu Haniifah, Maalik bin Anas, Asy-Syaafi’iy, dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah ‘bermadzhab’ dengan madzhabnya orang-orang Wahabiy ? (tentu saja tidak demikian, karena orang-orang Wahabiy justru bermadzhab dengan madzhab mereka)..... Sungguh bahagia orang-orang Wahabiy itu.....
Bandingkan dengan amalan orang-orang non-Wahabiy yang melestarikan beberapa situs berikut :

Gambar 1. Makam Siti Jenar di Tuban, Jawa Timur.

Gambar 2. Makam Habib ‘Aliy Kwitang

Gambar 3. Makam Habib Husain Al-Qadriy di Kalimantan Barat.

Gambar 4. Makam Pangeran Syarif di Lubang Buaya, Jakarta.

Gambar 5. Makam Mbah Priok di Jakarta.
Gambar 6. Makam Guru Ijai atau
H. Muhammad Zaini Abd. Ghani (Guru Sekumpul) di Kalimantan Selatan.

Wallaahul-musta’aan.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciper, ciapus, ciomas, bogor].
Sumber asli :

PERYATAAN TERKINI ASATIDZ TENTAN JA'FAR UMAR THALIB (28/02/2010)+ BARU+ LINK DOWNLOAD

Pernyataan Terkini dari Asatidz tentang Ja’far Umar Thalib(28/02/2010) + Baru !! + Link Download

NASEHAT DAN RENUNGAN
UNTUK SEGENAP SALAFIYYIN DI INDONESIA
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan siapa saja yang berloyalitas kepadanya. Amma ba’du:
Sesungguhnya dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang berkah. Dan di antara nikmat Allah yang besar kepada kita adalah pemberian Allah kepada kita berupa taufiq-Nya untuk menelusuri jalan dakwah ini, hingga kita berjalan di atasnya, di atas manhajnya. Dakwah ini telah mendapatkan sambutan masyarakat, baik di desa maupun di kota. Sungguh, semua itu terwujud dengan taufiq dari Allah dan hidayah-Nya, lalu dengan kuatnya hubungan antara pemeluk dakwah ini dengan para ulamanya, demikian pula dengan kesungguhan para da’i yang istiqamah di atas jalan dakwah ini. Semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan.
Sehingga dakwah ini menyatukan kata salafiyyin di penjuru-penjuru negeri. Terwujudlah saling bantu-membantu di antara mereka dalam hal kebaikan dan ketaqwaan, satu hal yang menyulut kemarahan para musuh dakwah. Dan bertambahlah kebaikan ini dengan berkesinambungannya daurah dan kunjungan para syaikh pada beberapa tahun terakhir ini. Maka, orang-orang pada umumnya dan salafiyyin pada khususnya, dapat mengambil manfaat dari bimbingan dan nasehat para ulama mereka. Semua itu semakin mengeratkan hubungan dan persaudaraan di antara salafiyyin.
Sungguh telah muncul suatu masalah yang mengkhawatirkan atas dakwah yang berkah ini, terpecahnya persatuan mereka dan terobek-robeknya barisan mereka. Sesuatu yang mengharuskan adanya peringatan dan nasehat. Masalah tersebut adalah apa yang diisukan perihal Al-Akh Ja’far bin Umar bin Tholib dan taubatnya, serta perbedaan menyikapinya.
Kami, insya Allah, termasuk orang yang paling dekat dengannya, paling mengerti tentang keadaannya dan paling berharap akan taubatnya. Namun di sisi kami ada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta pengarahan para ulama, yang dengannya kami berjalan.
Maka dari itu, kami nasehatkan kepada segenap salafiyyin dan semua orang yang menjunjung tinggi dakwah salafiyyah dengan beberapa hal. Diantaranya adalah:
1. Bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan diri dari berbagai bentuk perpecahan serta segala sebab-sebabnya.
2. Tidak membuat keresahan dan kebingungan saudara-saudara kita dalam bentuk penyebaran SMS dan yang semisalnya, yang menimbulkan fitnah di antara mereka. Juga untuk selalu berhati-hati dari semua pihak yang ingin menggunakan kesempatan ini untuk memecah-belah barisan salafiyyin.
3. Membiarkan Al-Akh Ja’far pada keadaannya yang semula sebagaimana sikap kita sebelumnya berupa pemutusan hubungan apapun dengannya, sampai dia tampakkan taubatnya serta membaik taubatnya tersebut.
Hal ini sebagaimana difatwakan oleh syaikh-syaikh kita yang mulia,
Ayahanda Asy-Syaikh yang mulia Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali,
Ayahanda Asy-Syaikh yang mulia Ubaid Al-Jabiri dan
Asy-Syaikh yang mulia Muhammad bin Hadi Al-Madkhali,
serta yang selain mereka. Semoga Allah menjaga mereka semuanya.
Adapun yang terkait dengan masalah taubatnya, maka kami para da’i, para ustadz dan para penuntut ilmu berpegang teguh dengan kewajiban syar’i, yaitu tidak mendahului ulama dan mengembalikan urusan kepada mereka, serta tidak menyibukkan diri dengan menyebarkan atau menerima isu-isu seputar masalah ini. Inilah yang kami wasiatkan kepada diri kami dan seluruh salafiyyin, dalam rangka mengharap wajah Allah. Juga dengan mengharap dari semua pihak untuk merasakan besarnya tanggung jawab ini dalam rangka menjaga nama baik dakwah kita dan menjaga persatuan pemeluknya.
Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami bila kami lupa atau kami salah, dan janganlah Engkau jadikan dalam qalbu kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Dan kami memohon kepada Allah agar mengokohkan kami di atas kebenaran dan menyatukan kami di atasnya. Kabulkanlah, wahai Dzat yang mengabulkan permintaan hamba-hamba-Nya yang meminta.
Ahad, 14 Rabi’ul Awwal 1431 H
28 Februari 2010 M
Dikeluarkan oleh :
Al-Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed
Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh
Al-Ustadz Usamah bin Faishol Mahri
Al-Ustadz Abdush Shomad Bawazir
Al-Ustadz Hamzah Abu Sa’id
Al-Ustadz Salman bin Utsman
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
Al-Ustadz Askari bin Jamal
Al-Ustadz Afifuddin
Al-Ustadz Ayip Syafruddin
Al Ustadz Ahmad Khodim
Al-Ustadz Qomar
Al-Ustadz Muhammad bin Abdullah Barmim
DENGAN BIMBINGAN ASY-SYAIKH ABDULLAH BIN UMAR BIN BURAIK MAR ‘ I , SEMOGA ALLAH SENANTIASA MENJAGANYA .
PDF:
PernyataanAsatidzTentangJUT280210.pdf
LINK Download :
1. Oleh-oleh Umrah th 1431 Al Ustadz Abu Ahmad Ali Surahman bertemu masyayikh, Syaikh Rabi’ ibn Hadi hafidhahullah membahas Ja’far Umar Thalib
http://upload.ugm.ac.id/689slf-07052010-084700.mp3
http://www.2shared.com/audio/lOUOlP9s/slf-07052010-084700.html
http://www.4shared.com/audio/3B9Lzbis/oleholeh_umrah_ust_abuahmad_al.html
2. Oleh-oleh Umrah th 1431 Al Ustadz Askari bertemu masyayikh, membahas Ja’far Umar Thalib
Solo :
http://upload.ugm.ac.id/602Salahkaprahsalafi_04_hari_ke_1_sesi%204_Al_Ustadz_Abu_Karimah_Askari_oleh-oleh_umroh.mp3
http://www.4shared.com/audio/ovkIIw-J/u_askari_solo.html
Jogja :
http://upload.ugm.ac.id/38604-tanya%20jawab.mp3
http://www.4shared.com/audio/VheZ6PYz/uaskari_jogja_tj.html

Rabu, 07 Maret 2012

KESEMPURNAAN ISLAM DALAM ADAB DAN AKHLAK

Kesempurnaan Islam dalam Adab dan Akhlaq

Pendahuluan: Kesempurnaan Islam dalam Adab dan Akhlaq
Oleh: Abu Umar Al Bankawy
Islam adalah agama yang sempurna. Ajarannya meliputi segenap aspek kehidupan manusia. Dari perkara yang besar sampai perkara yang paling kecil. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, dari sahabat Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau pernah ditanya oleh kaum musyrikin.
قَالُوا لِسَلْمَانَ : قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخَرَاءَةَ. فَقَالَ : أَجَلْ ، قَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ ، وَنَهَانَا أَنْ يَسْتَنْجِىَ أَحَدُنَا بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ ، وَنَهَانَا أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ. رَوَاهُ مُسْلِم
Mereka bertanya kepada Salman, “Sungguh nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatunya sampai-sampai cara buang hajat?”
Salman menjawab, “Benar! Beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat baik ketika buang air besar maupun buang air kecil dan melarang kami untuk beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan batu kurang dari tiga biji, dan melarang kami beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan tentang sempurnanya ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh Allah ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya tentang pokok dan cabang dari agama ini.  Allah  ta’ala  telah menjelaskan tentang tauhid, kewajiban untuk mengesakan-Nya serta segala macam adab, etika dalam perikehidupan manusia.
Ketika bermajelis Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk berlapang-lapang sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
“Hai orang orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.” (Al Mujadalah: 11 )
Ketika ingin memasuki rumah seseorang, Allah perintahkan kita untuk meminta izin dan memberi salam terlebih dahulu kepada penghuninya. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum kamu minta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat. Jika kamu tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin, dan jika dikatakan kepadamu: ‘Kembalilah’, maka hendaklah kamu kembali, itu lebih bersih bagimu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (An Nur: 27–28)
Adapun tentang akhlak, Islam telah mengajarkan semua karakter terpuji. Sebagai contoh, tentang penunaian amanah. Di dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk menunaikan amanah. Allah berfirman,
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah itu memerintahkan kepada engkau semua supaya engkau semua menunaikan amanat kepada pemiliknya.” (An Nisa’: 58)
Contoh yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membimbing kita untuk senantiasa bersikap dan berucap jujur serta menjauhi dusta. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ ، وإنَّ الرَّجُلَ لَيَصدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقاً . وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكتَبَ عِنْدَ الله كَذَّاباً )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa surga dan sesungguhnya seorang itu berlaku jujur hingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu membawa kepada neraka dan sesungguhnya seorang berdusta hingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang  pendusta.” (Muttafaqun ‘alaih).
Dan masih banyak lagi ayat dan hadits seperti ini. Dengan demikian jelaslah, bahwa Islam itu sempurna, mencakup segala aspek kehidupan.
Namun sungguh disayangkan, kaum muslimin di masa kita sangat jauh dari adab dan akhlaq Islami. Mereka lebih suka mengadopsi etika dan norma dari Barat yang justru banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, insya Allah melalui artikel berseri di situs www.salafy.or.id ini kami akan coba jelaskan beragam adab dan akhlak yang diajarkan di dalam Islam agar bisa diamalkan oleh setiap muslim.  (bersambung)
Referensi:
  • Muhadharah Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang berjudul “Al Ibda’ fi Bayani Kamaalisy Syar’I wal Khuthratil Ibtida’”
  • Syarah Riyadhis Shalihin karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalihin

TIGA LANDASAN AKHLAK MULIA TERHADAP SESAMA

Tiga Landasan Akhlaq Mulia terhadap Sesama



Oleh: Abu Umar Al Bankawy
Setelah kita mengetahui bagaimana berakhlaq yang baik terhadap Sang Khaliq, sekarang kita akan beralih ke pembahasan bagaimana berakhlaq baik kepada sesama makhluq.
Para ulama, di antaranya Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa akhlaq yang baik terhadap mahluk berputar pada tiga perkara pula, yaitu:
كَفُّ اْلأَذَى ، وَبَذْلُ النَّدَى، وَطَلاَقَةُ الْوَجْهِ
1. Menahan dari gangguan (Kafful Adzzaa)
2. Suka membantu (Badzlun Nada)
3. Wajah yang berseri (Thalaqatul Wajh)
Pertama: Menahan dari gangguan (Kafful Adzzaa)
Maknanya adalah bahwa seseorang menahan dirinya dari mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, maupun kehormatan. Orang yang tidak bisa menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlaq yang baik, dan ia berakhlaq jelek.
Ketika berlangsungnya Haji Wa’da (Haji Perpisahan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sejumlah besar umat beliau,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا وفِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian serta kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah, maka hal ini tidak termasuk berakhlaq baik kepada manusia, karena ia tidak menahan diri dari mengganggu orang lain. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakukan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar dari Anda.
Misalnya jika seseorang berbuat jahat kepada kedua orangtua, maka dosanya lebih besar, dan akan lebih besar daripada dosa perbuatan jahat kepada selain mereka. Perbuatan jahat kepada karib kerabat lebih besar dosanya daripada dosa perbuatan jahat kepada orang yang lebih jauh hubungan kekerabatannya. Perbuatan jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari perbuatan jahat kepada selain tetangga. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَاللهِ لاَ يُؤْمِن، وَاللهِ لاَ يُؤْمِن ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِن
“Demi Allah, tidaklah beriman! Demi Allah, tidaklah beriman! Demi Allah, tidaklah beriman!”
Para sahabat bertanya, “Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بِوَائِقِهِ
“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya”.
2. Suka Membantu/Dermawan (Badzlun Nada)
Makna “Badzlun Nada” adalah bersikap dermawan dan suka membantu. Kedermawanan di sini tidaklah seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa terbatas pada harta saja. Tapi yang dimaksud kedermawanan di sini adalah mendermakan jiwa, kedudukan, dan harta.
Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, menyebarkan ilmu di antara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kita pun akan mensifati orang tersebut sebagai orang yang berakhlaq baik, karena ia adalah seorang yang dermawan dan suka menolong. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
<اتقِّ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنة تمحُها، وخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertaqwalah kepada Allah di manapun engkau berada. Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jelek. Dan bergaul-lah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ad Darimi)
Dan termasuk dalam sifat ini adalah jika Anda dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk, maka Anda pun memberi maaf. Sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134)
Allah ta’ala berfirman,
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan jika kalian memaafkan maka itu lebih dekat kepada takwa.” (Al Baqarah: 237)
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا
“Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.” (An Nur: 22)
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” (Asy Syuura: 40)
Dalam berhubungan dengan sesama manusia, seseorang pasti akan mengalami suatu gangguan. Maka dalam menghadapi menghadapi seperti ini, hendaknya dia memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia berkeyakinan kuat bahwa sikap pemaaf dan lapang dada serta berharap untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat bisa merubah permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan.
Allah ta’ala berfirman,
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman setia.” (Al Fushilat: 34)

Ketiga: Wajah yang Berseri (Thalaqatul Wajh)

Yaitu seseorang selalu berwajah ceria, tidak bermuka masam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا تَحْقِرنَّ مِنَ المَعرُوفِ شَيئاً وَلَوْ أنْ تَلقَى أخَاكَ بِوَجْهٍ طَليقٍ
“Janganlah meremehkan sesuatu kebaikan sekecil apapun, walaupun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang apa itu kebaikan. Beliau menjawab, “Kebaikan itu adalah wajah yang ceria dan lisan yang lembut.”
Berwajah ceria akan memasukkan kegembiraan pada manusia, mendatangkan rasa kasih sayang dan cinta, mendatangkan kelapangan dalam hati, bahkan mendatangkan rasa lapang dada bagi Anda sendiri dan orang-orang yang Anda temui.
Sebaliknya, jika Anda bermuka masam, maka manusia akan menjauh dari diri Anda. Mereka tidak akan suka untuk duduk bersama dan bicara dengan Anda. Dan bisa jadi karena ini Anda ditimpa stress dan tekanan jiwa. Wajah yang ceria dan berseri adalah obat yang mencegah dari penyakit stress atau tekanan jiwa.
Tahukah Anda kalau para dokter menasehati orang yang ditimpa penyakit stress untuk untuk menjauhi dari perkara-perkara yang bisa memicu amarah, karena amarah hanya akan menambah tekanan jiwanya? Sebaliknya wajah yang ceria akan mengobati penyakit ini, karena orang-orang di sekitar Anda akan mencintai Anda dan Anda menjadi mulia di sisi mereka.
Ini adalah tiga landasan akhlaq mulia, di mana pada tiga hal inilah berkisar sikap berakhlaq baik dalam bermuamalah dengan mahluk yaitu:
1. Menahan dari gangguan (Kafful Adzzaa)
2. Suka membantu (Badzlun Nada)
3. Wajah yang berseri (Thalaqatul Wajh)
Semoga bisa bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. (bersambung)
Referensi:
- Makaarimul Akhlaq karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

MERAIH PAHALA YANG TAK TERBATAS DENGAN SABAR

Meraih Pahala yang tak Terbatas dengan Sabar


Oleh: Abu Umar Al Bankawy

Sabar adalah salah satu karakteristik yang wajib dimiliki oleh seorang muslim. Di dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk bersabar. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200)
Apa itu sabar? Apa saja keutamaan sabar? Bagaimana pula cara agar bisa bersabar ketika mendapatkan musibah? Secara bahasa, makna sabar adalah menahan. Adapun secara syar’i, sabar bermakna menahan diri dalam tiga perkara:
1. Ketika menjalankan ketaatan kepada Allah.
Seseorangnya hendaknya bersabar, sampai dia menunaikan apa yang Allah ta’ala perintahkan.
2. Dari bermaksiat kepada Allah
Yaitu dengan tidak mengerjakan segala sesuatu yang Allah larang serta menjauhinya.
3. Ketika menghadapi musibah yang Allah takdirkan
Yaitu dengan menahan diri untuk tidak murka atau menggerutu terhadap musibah yang menimpa baik dengan lisan, maupun dengan perbuatan.

Keutamaan Sifat Sabar

Sabar memiliki banyak keutamaan yang telah Allah ta’ala kabarkan di dalam Al Qur’an dan demikian juga di dalam sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara keutamaan tersebut adalah:
1. Berita gembira berupa pahala yang tak terbatas bagi orang-orang penyabar.
Di dalam Al Qur’an, Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10)
Allah juga berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Kami akan memberikan cobaan sedikit kepadamu semua seperti ketakutan, ketaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 155)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata di dalam tafsir beliau,
“Barang siapa yang Allah beri taufiq untuk bersabar ketika terjadinya musibah-musibah ini maka dia pun menahan dirinya dari kemurkaan baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan dia pun mengharapkan pahala dari sisi Allah. Dia pun mengetahui pahala yang dia peroleh lebih besar daripada musibah yang menimpanya, bahkan musibah tersebut telah menjadi sebuah kenikmatan baginya, karena musibah ini adalah telah menjadi jalan baginya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Sesungguhnya orang yang bersabar telah menunaikan apa yang menjadi perintah Allah dan telah sukses meraih pahala. Oleh karena itu Allah lalu berfirman,
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Yaitu sampaikanlah berita gembira bahwa mereka telah memperoleh pahala yang tak terbatas (atas kesabaran mereka).”
2. Surga bagi orang yang bersabar .
Allah berfirman ;
إِنِّي جَزَيْتُهُمُ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (Al Mu’minum: 111)
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ الله – عز وجل – ، قَالَ : إِذَا ابْتَلَيْتُ عبدي بحَبيبتَيه فَصَبرَ عَوَّضتُهُ مِنْهُمَا الجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla berfirman: “Apabila Aku memberi cobaan kepada hambaKu dengan melenyapkan kedua perkara yang dia cintai (yakni kedua matanya), kemudian ia bersabar, maka untuknya akan Kuberi ganti surga karena kehilangan keduanya.” (HR. Al Bukhari)
3. Sabar adalah sebab pertolongan
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan mengerjakan shalat sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 153)
Kesabaran adalah sebab pertolongan terbesar dalam setiap perkara. Sesorang akan dapat meraih segala sesuatu asal dia bersabar. Dia dapat menjalankan ketaatan yang Allah perintahkan dengan tanpa beban, dan demikian pula dia bisa meninggalkan segala sesuatu yang Allah larang walaupun hal tersebut sangat menggoda hawa nafsunya. Dia tidak akan dapat melakukan ini semua tanpa kesabaran.
4. Sabar adalah Tanda Keimanan
Di dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ
“Amat menakjubkan keadaan orang mu’min itu, sesungguhnya semua keadaannya itu adalah merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang sedemikian itu tidak akan ada lagi seorangpun melainkan hanya untuk orang mu’min itu belaka. Apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, iapun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya. Apabila ia ditimpa musibah, maka iapun bersabar dan hal inipun adalah merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Bagaimana Agar Bisa Bersabar Ketika Mendapatkan Musibah Termasuk pembahasan penting yang berkaitan dengan kesabaran adalah bagaimana caranya agar kita bisa bersabar ketika Allah timpakan musibah kepada diri kita. Beberapa perkara yang perlu dilakukan ketika ditimpa musibah adalah:
1. Menyadari bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah
Di dalam hadits dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ أحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أربَعِينَ يَوماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يُرْسَلُ المَلَكُ ، فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Apabila seseorang memahami betul bahwa musibah yang menimpa adalah takdir yang telah Allah atur, maka akan lapanglah dadanya, dan terhindarlah dia dari kesedihan dan beban.
2. Mengoreksi Dosa-dosa yang telah dilakukan Salah satu perkara yang bisa membuat kita bersabar adalah mengoreksi dosa-dosa yang pernah kita perbuat. karena sesungguhnya musibah yang kita alami adalah buah perbuatan kita sendiri.
sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syura: 30)
Dengan mengoreksi dosa-dosa, seseorang akan tersibukkan untuk bertaubat dan beristighfar, memohon ampunan kepada Allah. Ini semua akan melahirkan kesabaran pada dirinya.
<3. Mengingat-ingat pahala yang Allah janjikan.
bagi orang yang bersabar Hendaknya ketika ditimpa musibah dia mengulang-ngulang firman Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10)
Ini agar dia menyadari bahwa kesabarannya dalam menghadapi musibah akan diganjar kelak oleh Allah subhanahu wata’ala tanpa batas. Demikianlah sedikit pembahasan tentang sabar. Insya Allah pada kesempatan yang akan datang kita akan membahas tentang “kejujuran”, salah satu akhlaq mulia yang diajarkan dalam agama kita.
Wallahu ta’ala a’lam.
Referensi: – Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin – Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di

HADITS INBNU MAS'UD TEENTANG TAHAPAN PENCIPTAAN MANUSIA

HADITS IBNU MAS’UD TENTANG TAHAPAN KEHIDUPAN MANUSIA

oleh : Ustadz Kharisman

(Hadits ke-4 Arbain anNawawiyyah)


عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمن عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدِ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا (رواه البخاري ومسلم)

dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud –semoga Allah meridlainya- beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepada kami dan beliau adalah orang yang jujur dan harus dipercaya: Sesungguhnya (fase) penciptaan kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selama 40 tahun (dalam bentuk) nutfah (sperma), kemudian selama itu (40 hari) menjadi segumpal darah kemudian selama itu (40 hari) menjadi segumpal daging, kemudian diutuslah Malaikat, ditiupkan ruh dan dicatat 4 hal: rezekinya, ajalnya, amalannya, apakah ia beruntung atau celaka. Demi Allah Yang Tidak Ada Sesembahan yang Haq Kecuali Dia, sungguh di antara kalian ada yang beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) hingga antara dia dengan jannah sejarak satu hasta kemudian ia didahului dengan catatan (taqdir) sehingga beramal dengan amalan penduduk anNaar (neraka), sehingga masuk ke dalamnya (anNaar). Sesungguhnya ada di antara kalian yang beramal dengan amalan penduduk anNaar, hingga antara dia dengan anNaar sejarak satu hasta kemudian ia didahului dengan catatan (taqdir) sehingga beramal dengan amalan penduduk jannah sehingga masuk ke dalamnya (jannah) (H.R alBukhari dan Muslim).
TEMA HADITS :
Tahapan penciptaan manusia dalam rahim ibu dan tentang catatan taqdir
MAKNA SECARA UMUM:
Ibnu Mas’ud menyampaikan suatu hadits yang ia dengar langsung dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tentang khabar ghaib. Karena khabar itu menuntut keimanan yang tinggi, beliau mendahului penyampaiannya dengan mengingatkan bahwa Rasul adalah orang yang jujur sekaligus harus dipercaya seluruh khabarnya.
Manusia mengalami 4 fase pertumbuhan dalam perut ibunya: 40 hari pertama dalam bentuk nutfah (sperma), 40 hari kedua dalam bentuk ‘alaqah (segumpal darah), 40 hari kedua dalam bentuk daging.
Setelah itu, Malaikat diutus Allah untuk meniup ruhnya dan mencatat 4 hal: rezeki, ajal, amalan, dan keadaan dia (beruntung atau celaka).
Kemudian Rasul menceritakan adanya keadaan 2 macam orang:
Pertama, seseorang yang hampir seluruh hidupnya diisi dengan amalan penduduk surga (ketaatan), sehingga jaraknya dengan surga sudah satu hasta (ukuran dari siku hingga ujung jari), namun karena catatan taqdir, ia di akhir hayatnya beramal dengan amalan penduduk neraka sehingga masuk ke dalam neraka
Kedua, seseorang yang hampir seluruh hidupnya diisi dengan amalan penduduk anNarr (Neraka), sehingga jaraknya dengan surga sudah satu hasta (ukuran dari siku hingga ujung jari), namun karena catatan taqdir, ia di akhir hayatnya beramal dengan amalan penduduk jannah sehingga masuk ke dalam surga.
PELAJARAN-PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL DARI HADITS INI:
1. Para perawi hadits banyak yang meriwayatkan hadits lafadz haddatsana –mencontoh lafadz yang diucapkan Ibnu Mas’ud dalam hadits ini- untuk menunjukkan bahwa ia hadir dan mendengar langsung dari orang yang menceritakannya.
2. Seluruh berita yang shahih berasal dari Nabi harus diyakini dan dibenarkan meski tidak terjangkau akal karena beliau adalah as-Shoodiqul Mashduuq (yang jujur dan harus dipercaya).
3. Tahapan penciptaan manusia di rahim ibunya:
- 40 hari pertama nutfah
- 40 hari kedua segumpal darah
- 40 hari ketiga segumpal daging
4. Ditiupkan ruh pada janin setelah berusia 3 x 40 hari = 120 hari = 4 bulan.
Setelah 4 bulan inilah berlakulah baginya hukum manusia. Jika terjadi keguguran janin, maka dilihat keadaan:
- sebelum 120 hari: tidak perlu dimandikan, dikafani, dan disholatkan.
- setelah 120 hari: dimandikan, dikafani, dan disholatkan.
Jika janin yang keluar saat keguguran bentuknya sudah seperti manusia, maka berlakulah hukum nifas. Jika tidak, maka hukumnya seperti darah istihadhah (penyakit).
(Penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin).
5. Beriman terhadap Malaikat. Ada Malaikat yang bertugas untuk meniup ruh pada janin dan mencatat 4 hal: rezeki, ajal, amalan, dan keadaannya (beruntung atau celaka).
6. Beriman terhadap catatan taqdir.
Para Ulama menjelaskan bahwa berdasarkan lingkupnya, pencatatan taqdir terbagi menjadi 4:
a) Pencatatan di Lauhul Mahfudzh
Catatan induk. Berisi catatan taqdir segala sesuatu. Ditulis 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Catatan ini tidak ada yang tahu kecuali Allah, dan tidak akan berubah sedikitpun
b) Pencatatan dalam lingkup umur perorangan
Ini adalah catatan Malaikat, seperti yang disebutkan dalam hadits ini tentang 4 hal: rezeki, ajal, amalan, dan keadaannya (beruntung atau celaka) terhadap janin yang masih berada di perut ibunya.
c) Pencatatan dalam lingkup tahunan
Dilakukan setiap Lailatul Qodar, berisi catatan segala sesuatu yang akan terjadi dalam waktu setahun ke depan (hingga Lailatul Qodar berikutnya), disebutkan dalam surat ad-Dukhkhan: 3-4).
d) Pencatatan dalam lingkup harian
Disebutkan dalam surat arRahman ayat
29. Allah meninggikan derajat suatu kaum atau merendahkannya, membentangkan rezeki atau menyempitkannya, dsb. Hal itu berlangsung tiap hari.
Perubahan catatan taqdir yang masih memungkinkan terjadi pada catatan yang ada di Malaikat, sedangkan yang Lauhul Mahfudzh tidak akan pernah berubah.
1) Akhir kehidupan seseorang akan berujung pada dua hal: beruntung atau celaka. Orang yang beruntung adalah yang masuk ke dalam surga, sebaliknya yang celaka adalah yang masuk ke dalam neraka. Tidak ada keadaan ketiga.
2) Seseorang tidak boleh merasa bangga diri ketika ia banyak beribadah dan sering mengisi hari-harinya dengan ketaatan. Harus diiringi dengan perasaan takut dan khawatir jangan sampai mengalami suu-ul khotimah (akhir kehidupan yang buruk).
3) Seseorang yang sedang terjerumus dalam lumpur dosa tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, hendaknya ia bersemangat untuk bertaubat dan memperbanyak amal sholih dengan harapan meninggal dalam keadaan husnul khotimah (akhir kehidupan yang baik).
4) Akhir kehidupan sangat menentukan kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang nanti di akhirat.
KASIH SAYANG ALLAH
Sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah, orang-orang yang berubah dari keadaan baik menjadi buruk lebih sedikit atau jarang dibandingkan orang yang berubah dari keadaan buruk menjadi baik (penjelasan Ibnu Daqiiqil Ied).
Penyebab perubahan dari baik menjadi buruk itupun sebenarnya karena ia hanya menampakkan kebaikan di hadapan manusia. Ia tampakkan seakan-akan ia terus bergelut dengan ketaatan dan sudah dekat dengan surga. Padahal hatinya tidak demikian. amalnya penuh dengan riya’ dan kemunafikan 19 .
Abdul Haq berkata: “Suu-ul Khootimah (akhir kehidupan yang buruk) tidak akan menimpa orang yang istiqomah batinnya dan baik amal perbuatannya…Kebanyakan menimpa orang-orang yang terus menerus dan lancang (tidak mengenal malu) dalam berbuat dosa besar…” (dinukil oleh alHafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (11/489))
KEADAAN PARA SAHABAT NABI
Para Sahabat Nabi adalah orang-orang yang bersemangat melakukan amal sholih yang terbaik dan sempurna diiringi dengan perasaan takut jangan-jangan amalnya tidak diterima. Diiringi perasaan khawatir jangan-jangan mereka termasuk orang munafik.
Ibnu Abi Mulaikah berkata: Saya menjumpai 30 orang Sahabat Nabi seluruhnya mengkhawatirkan kemunafikan dalam dirinya (Shahih alBukhari).
Umar bin al-Khottob pernah menanyakan kepada Hudzaifah bin al-Yaman apakah nama beliau masuk dalam daftar orang-orang munafik yang disebut Nabi.
Para Sahabat Nabi adalah orang-orang dengan amal ibadah berkualitas tinggi, namun mereka tidak ujub (merasa bangga diri) terhadap amal yang telah dikerjakan. Mereka memadukan antara perasaan berharap terhadap rahmat dan ampunan Allah dengan perasaan takut terhadap adzab Allah pada porsi yang tepat dan sesuai.
Jika seseorang terlalu menggantungkan pada luasnya rahmat Allah, ampunan Allah yang berlimpah, dan melupakan bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Maha pedih adzabNya, ia akan bermudah-mudahan. Ia akan merasa aman dari makar Allah.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Apakah kalian merasa aman dari Makar (istidraj dan adzab) Allah? Tidak ada yang merasa aman dari Makar Allah kecuali orang –orang yang merugi” (Q.S al-A’raaf:99).
Sebaliknya, seorang yang dominan membaca dan merasakan ancaman-ancaman Allah, kerasnya siksaan, dan semisalnya, kemudian melupakan rahmat dan ampunanNya akan berputus asa dari rahmat Allah.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah : Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang” (Q.S Az-Zumar:53).
Perasaan berharap di satu sisi, takut di sisi lain. Dua hal ini harus berada pada porsi yang tepat dan sesuai, serta tidak berat sebelah. Dalam alQur’an Allah mengajarkan manusia untuk memiliki dua perasaan itu secara seimbang.
Perhatikan ayat-ayat berikut yang menyebutkan Sifat-Sifat Allah terkait dengan pembangkitan 2 perasaan itu secara berimbang:

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ

“ Khabarkan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwasanya adzabKu sangat pedih “ (Q.S Al-Hijr 49-50)

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

“ Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat adzabNya, dan sesungguhnya Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S AlAn’aam : 165)

اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Keras SiksaNya dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S al-Maidah:98)

غَافِرِ الذَّنبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ

Allah adalah Pengampun dosa dan Penerima taubat, keras siksaNya…. (Q.S Ghofir/ al-Mu’min:3)
CATATAN KAKI :

19 Hal ini diperjelas dengan lafadz hadits lain yang diriwayatkan alBukhari:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ

Sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan penduduk surga sesuai yang nampak pada manusia, padahal ia adalah termasuk penduduk neraka (H.R alBukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Saaidi).